Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Dua Jubah yang Saling Menyukai


 

(https://www.istockphoto.com/photo/nun-folding-hands-holding-a-rosary-praying-gm465973776-59508912?)

 "Jalan terbaik disaat kita telah saling menyukai adalah membiarkannya dalam ceceran doa. Hanya dengan itu kita mampu mencintai dengan sungguh, sebab kita telah berada pada jalan yang sama. Jalan mencintai sesama lebih utama dari pada jalan mencintai secara personal"(Bung Donttel)

Masih pantaskah bila aku menyukaimu, itu tidak lebih. Pesan WhatsApp  yang di kirim oleh suster Helena kepadaku. Aku yang duduk santai di depan teras kamar sambil menyerup segelas kopi pahit dengan sebatang surya 12, sontak kaget. Entah kenapa?, mungkin karena ini adalah pesan pertama  yang istimewa. Pesan yang tidak biasa dikirim oleh orang yang luar biasa untuk aku yang dibilang biasa-biasa saja. Lalu dalam guyon aku membalasnya “Heheheh….boleh-boleh saja sus, tetapi….Lengkap dengan emoticon ketawa yang jumlahnya tak terbilang. Lalu aku meletakan hp di meja dan melanjutkan menyerup kopi dan mengempul surya 12. Aku menunggu pesan balasan dari Str Helena. Setelah sekian menit, pesan tersebut tak kunjung datang. Lalu aku kembali meraih hp.

***

 Lalu mencoba untuk mengeceknya pada dinding whatsapp dari Str Helema. Ternyata aktif 2 menit yang lalu. Sial…,! cetusku. Aku  menunggu tanggapan balik dari kata ‘tetapi’ itu, ehhhh, ia malah offline. Aku mencoba melihat jam pada hpku, ternyata sekarang pukul 20:00. Lalu aku teringat pada pesannya dalam chating beberapa minggu lalu “Fr.. hari Sabtu, Kami Completorium pukul 20:00, maaf kalau nantinya saya tiba-tiba offline”.

Benar ia pasti berdoa. Pada saat itu juga aku menyiapkan diri dengan memakai jubah untuk mengikuti Completorium. Bedanya mereka mulai pukul 20:00 tetapi kami mulainya pukul 20:30. Setelah memakai jubah aku langsung bergegas menuju kapela, sebab hari itu aku dipercayakan untuk memimpian ibadat Competorium.

Aku mengenal Str Helena, dua tahun yang lalu di salah satu Stasi terpecil di Manggarai. Aku diutus oleh pimpinan biara untuk melakukan asistensi natal di luar pulau Jawa yakni di tanah Manggarai. Memang aku juga dari Manggarai sehingga aku sangat senang dengan perutusan ini. Ini juga mejadi ajang bagiku untuk pulang kampung. Aku berangkat menuju stasi tersebut dengan menggunakan sepeda motorku. Dalam perjalanan aku melibat begitu banyak orang berantusias untuk menyambut sang bayi agung yang terlahir di jerami. Ada yang buat kandang natal sampai pada pintu bertuliskan merry christmas. Sampai di stasi aku diterima baik oleh dewan stasi. Sudah pasti lengkap dengan petuah adat yang kental orang Manggarai.

***

Pada saat perayaan natal, aku duduk di ujung paling belakang kapela. Sekaligus aku sibuk menghitung  umat, berapa banyak yang datang dan mengikuti perayaan natal. Lagu pembukaan di kidungkan dengan sunyi nan meriah. Barisan misdinar berjajar rapi layaknya barisan kaum militer. Lalu ujung belakang seorang pastor barat yang tinggi dan tegap memakai kasula dan stola bermotif Manggarai.

Malam yang begitu kudus, penuh sunyi sekalian senyap. Sang bayi agung mulai merengek dalam palung hina. Ia merengek meminta asi dari ibunya yang tergurat lemah di sampingnya. Saat yang sama juga paduan suara ternama di kampung itu melantunkan nyanyian malam kudus. Saking kudusnya sampai kelopak mataku mulai memajam dan menyembunyikan retina  agar aku tidak melihat sang bayi itu dilahirkan. Tepat nyanyian salam dami mataku terbuka lebar dan ikut bersama umat memberi salam dami serta salam damai kepada sang bayi yang baru datang. Lalu Anak Domba Alah dinyanyikan, aku beranjak dari tempat aku berdiri untuk menuju altar suci. Tepat di samping paduan suara, aku berjalan dan mendengar bagaimana suara bass dari paduan suara yang menggema sekaligus merindungkan malam.

***

Sesampainya aku di depan altar, aku melihat Str. Helena berjalan dari belakang dan menuju tempat aku berdiri yakni altar. Lalu aku sibuk menyikap diri dan berdoa pada saat pastor mengangkat Tubuh dan Darah Tuhan. Rupanya Str. Helena juga ditugaskan oleh pimpinannya untuk berasistensi di tempat itu. Pada saat aku mau menerima Tubah Tuhan, aku sibuk menatap Str. Helana dengan ekor mata yang berdirinya tempat di sampingku. Sehingga aku lupa menjawab  kata “Amin” dari sang pastor.

Setelah perayan ekaristi aku langsung bersalaman dengan umat. Tidak lupa juga  dengan pastor dan Str. Helena. Pada saat yang sama, ia memperkenalkan dirinya dengan jelas, serta dalam perpisahan ia sempat menyimpan nomorku dalam hpnya. Dalam nada guyon ia berceloteh “Fr, kalau mau tanya, silahkan via whatsapp saja”, aku langsung menganggukkan kepala dan berkata “ok sus”

Kadang pada saat ia tidak sibuk ia menyempatkan diri untuk menanyakan kabarku. Begitupula dengan aku. Ada hal yang aku bangga darinya, yakni bagamana ia memberikan wejangan rohani yang begitu mendalam bagiku. Mungkin karena ia terlalu senior bagiku. Di saat aku mulai kehilangan harapan pada jalan yang sama, ia selalu meneguhkanku. Bahkan ia mengajarkan aku untuk berdoa ala biaranya yang kontemplatif. Sehingga dari sinilah kami berkenalan sampai ada rasa saling menyukai.

“Menyukai boleh-boleh saja, tetapi jangan sampai mencintai apalagi sampai memiliki. Ingat kita sudah mencinta Tuhan. Kita telah dimiliki oleh-Nya” pesanku dalam whatsapp beberapa minggu kemudian, lalu ia teruskan pesanku ini. Dengan menambahkan beberapa kalimat, “Saya hanya menyukai, itu tidak lebih,. Kita telah mencintai dan memiliki orang yang sama yakni Tuhan sendiri”.

(Cerpen ini berangakat dari kisah nyata sahabat saya. Tetapi saya merangkainya memakai sudut pertama “aku”. Dan nama Str. Helena bukan nama sebenarnya)

Post a Comment for " Dua Jubah yang Saling Menyukai "