Dua Jubah yang Saling Menyukai
Masih pantaskah bila aku
menyukaimu, itu tidak lebih. Pesan WhatsApp yang di kirim oleh suster Helena
kepadaku. Aku yang duduk santai di depan teras kamar sambil menyerup segelas
kopi pahit dengan sebatang surya 12, sontak kaget. Entah kenapa?, mungkin
karena ini adalah pesan pertama yang
istimewa. Pesan yang tidak biasa dikirim oleh orang yang luar biasa untuk aku
yang dibilang biasa-biasa saja. Lalu dalam guyon aku membalasnya “Heheheh….boleh-boleh
saja sus, tetapi….Lengkap dengan emoticon ketawa yang jumlahnya tak terbilang.
Lalu aku meletakan hp di meja dan melanjutkan menyerup kopi dan mengempul surya
12. Aku menunggu pesan balasan dari Str Helena. Setelah sekian menit, pesan
tersebut tak kunjung datang. Lalu aku kembali meraih hp.
***
Lalu mencoba untuk mengeceknya pada dinding whatsapp dari Str Helema. Ternyata aktif
2 menit yang lalu. Sial…,! cetusku. Aku menunggu tanggapan balik dari kata ‘tetapi’
itu, ehhhh, ia malah offline. Aku
mencoba melihat jam pada hpku, ternyata sekarang pukul 20:00. Lalu aku teringat
pada pesannya dalam chating beberapa
minggu lalu “Fr.. hari Sabtu, Kami Completorium
pukul 20:00, maaf kalau nantinya saya tiba-tiba offline”.
Benar ia pasti berdoa.
Pada saat itu juga aku menyiapkan diri dengan memakai jubah untuk mengikuti Completorium. Bedanya mereka mulai pukul
20:00 tetapi kami mulainya pukul 20:30. Setelah memakai jubah aku langsung
bergegas menuju kapela, sebab hari itu aku dipercayakan untuk memimpian ibadat Competorium.
Aku mengenal Str Helena,
dua tahun yang lalu di salah satu Stasi terpecil di Manggarai. Aku diutus oleh
pimpinan biara untuk melakukan asistensi natal di luar pulau Jawa yakni di
tanah Manggarai. Memang aku juga dari Manggarai sehingga aku sangat senang
dengan perutusan ini. Ini juga mejadi ajang bagiku untuk pulang kampung. Aku
berangkat menuju stasi tersebut dengan menggunakan sepeda motorku. Dalam
perjalanan aku melibat begitu banyak orang berantusias untuk menyambut sang
bayi agung yang terlahir di jerami. Ada yang buat kandang natal sampai pada
pintu bertuliskan merry christmas.
Sampai di stasi aku diterima baik oleh dewan stasi. Sudah pasti lengkap dengan
petuah adat yang kental orang Manggarai.
***
Pada saat perayaan natal,
aku duduk di ujung paling belakang kapela. Sekaligus aku sibuk menghitung umat, berapa banyak yang datang dan mengikuti
perayaan natal. Lagu pembukaan di kidungkan dengan sunyi nan meriah. Barisan
misdinar berjajar rapi layaknya barisan kaum militer. Lalu ujung belakang
seorang pastor barat yang tinggi dan tegap memakai kasula dan stola bermotif Manggarai.
Malam yang begitu kudus,
penuh sunyi sekalian senyap. Sang bayi agung mulai merengek dalam palung hina.
Ia merengek meminta asi dari ibunya yang tergurat lemah di sampingnya. Saat
yang sama juga paduan suara ternama di kampung itu melantunkan nyanyian malam
kudus. Saking kudusnya sampai kelopak mataku mulai memajam dan menyembunyikan
retina agar aku tidak melihat sang bayi
itu dilahirkan. Tepat nyanyian salam dami mataku terbuka lebar dan ikut bersama
umat memberi salam dami serta salam damai kepada sang bayi yang baru datang.
Lalu Anak Domba Alah dinyanyikan, aku beranjak dari tempat aku berdiri untuk
menuju altar suci. Tepat di samping paduan suara, aku berjalan dan mendengar
bagaimana suara bass dari paduan suara yang menggema sekaligus merindungkan
malam.
***
Sesampainya aku di depan
altar, aku melihat Str. Helena berjalan dari belakang dan menuju tempat aku
berdiri yakni altar. Lalu aku sibuk menyikap diri dan berdoa pada saat pastor
mengangkat Tubuh dan Darah Tuhan. Rupanya Str. Helena juga ditugaskan oleh
pimpinannya untuk berasistensi di tempat itu. Pada saat aku mau menerima Tubah Tuhan,
aku sibuk menatap Str. Helana dengan ekor mata yang berdirinya tempat di
sampingku. Sehingga aku lupa menjawab kata “Amin” dari sang pastor.
Setelah perayan ekaristi
aku langsung bersalaman dengan umat. Tidak lupa juga dengan pastor dan Str. Helena. Pada saat yang
sama, ia memperkenalkan dirinya dengan jelas, serta dalam perpisahan ia sempat
menyimpan nomorku dalam hpnya. Dalam nada guyon ia berceloteh “Fr, kalau mau
tanya, silahkan via whatsapp saja”,
aku langsung menganggukkan kepala dan berkata “ok sus”
Kadang pada saat ia tidak
sibuk ia menyempatkan diri untuk menanyakan kabarku. Begitupula dengan aku. Ada
hal yang aku bangga darinya, yakni bagamana ia memberikan wejangan rohani yang
begitu mendalam bagiku. Mungkin karena ia terlalu senior bagiku. Di saat aku
mulai kehilangan harapan pada jalan yang sama, ia selalu meneguhkanku. Bahkan
ia mengajarkan aku untuk berdoa ala biaranya yang kontemplatif. Sehingga dari sinilah
kami berkenalan sampai ada rasa saling menyukai.
“Menyukai boleh-boleh
saja, tetapi jangan sampai mencintai apalagi sampai memiliki. Ingat kita sudah
mencinta Tuhan. Kita telah dimiliki oleh-Nya” pesanku dalam whatsapp beberapa minggu kemudian, lalu
ia teruskan pesanku ini. Dengan menambahkan beberapa kalimat, “Saya hanya
menyukai, itu tidak lebih,. Kita telah mencintai dan memiliki orang yang sama
yakni Tuhan sendiri”.
(Cerpen ini berangakat dari kisah nyata sahabat saya. Tetapi
saya merangkainya memakai sudut pertama “aku”. Dan nama Str. Helena bukan nama
sebenarnya)
Post a Comment for " Dua Jubah yang Saling Menyukai "