Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Untuk Apakah Hidup Ini Tuhan? || Cerpen Yanto

(Sumber gambar: www.istockphoto.com)

 Pada suatu sore aku berdiri di bilik Kapela sembari menatap jingga yang kian menepi ke peraduannya. Tatapan dari koridor mataku itu tak menampik bahwa jingga itu pergi tanpa beban. Ia begitu tulus seakan tahu bahwa esoknya ia kembali. Padahalkan belum tentu. Bisa saja semesta tak mengizinkan ia merekah di saat fajar dan kemudian ia menepi menyisakan semayup angin pada sore hari. Sudahlah, yang pasti jingga berbeda dengan aku dan semua manusia yang rapuh, tidak pernah tulus saat ditinggalkan serentak juga meninggalkan. Iya kan. Kira-kira itulah yang terjadi pada keluargaku.

Di penghujung bulan Mei tahun 2022 kala itu, aku sudah tidak sabar lagi menanti bulan Juni. Bagaimana tidak? Bulan Juni adalah moment bagiku untuk melepaskan segala kepenatan di sela-sela kesibukan di biara. Juga kiranya untuk meluruskan kembali urat-urat dan lutut-lututku yang kram, akibat sering mendaraskan dan melantunkan doa kepada Tuhan. Ahh benarkah untuk Tuhan, bukankah untuk tuhan yang lain? Tanyaku dalam hati.

Hari berganti hari, dan tibalah bulan Juni. Kini bulan Juni tidak lagi jadi alasan untuk menyengarkan seluruh bagian tubuhku yang lelah. Tetapi sebagai moment untuk berpapasan dengan sanak saudaraku di kampung halaman. Karena sudah cukup lama rindu aku tabung dalam celengan hati untuk bersua dengan mereka. Karena itu saatnya aku pecahkan untuk melihat berapa jumlah rinduku. Apakah seratus, lima ratus ataukah satu juta. Soalnya rindu yang kumasukan ke celengan kadang berwarnah hijau, kuning, biru bahkan merah. Akhirnya kupecahkan juga dan ternyata hasilnya: “Tak terhingga.” Ahh masa “Tak terhingga?” Iya dong, namanya juga rindu.

 

 

 

(Baca juga;  Di Palacio Real de Madrid || Kumpulan Puisi Melki Deni)

 

Tapi toh, tiba-tiba perihal rinduku itu menjelma menjadi sukma yang nestapa ketika mendengar kabar nenek sakit. Ia dirawat di rumah oleh ibuku. Ketika aku tiba di rumah, aku pikir mereka semua akan menyambutku dengan suasana riang bak menyambut Yesus di gerbang Yerusalem dengan membentang daun palma di sepanjang jalan. Ehh ternyata…. aku malah disambut dengan suasana yang menyayat hati. Melihat keadaan nenek yang hanya terkapar di atas ranjang membuat hatiku tergurat. Soalnya, satu tahun yang lalu sebelum aku datang kembali ke Maumere, sosok yang berhati pualam itu masih terlihat kuat sehingga dalam benakku aku tak pernah menduga bahwa nenek sakit. Hehehe… rupanya ukuran fisik masih melekat erat dalam pikiranku yang kolot. Padahalkan kuat tak selalu dinilai dari fisik tetapi dinilai dari jiwa, benar bukan? Ahhh sepertinya aku sudah dipengaruhi lingkaran filsafat Plato.

Saat hari pertama aku berlibur di rumah, di lingkunganku (KBG) mengadakan misa syukur panen. Tetapi aku tidak ikut berpartisipasi dalam perayaan kudus itu. Aku malah duduk cuek di beranda rumah sambil bermain gitar. Tak lama berselang, terdengar suara dari kamar nenek, teriak-teriak namaku, “Ito…Ito.” Tanyaku ada apa ini? Aku pun bergegas menyahut sembari melangkahkan kakiku menuju kamar nenek. Pelan-pelan aku masuk ke kamar nenek dan bertanya ada apa nek? Akankah aku mau diinterogasi layaknya Yesus diinterogasi oleh Pilatus, ujarku dalam hati. Nenek menatapku, dan bertanya “misa sudah selesaikah.”

 

(Baca juga: Menunggu Versi Terbaik dari Tuhan || Cerpen Erlin Efrin)

 

Aku pun membisu sembari melihat raut wajahnya yang tampak merindukan Tuhan. Ternyata benar nenek sedang merindukan Tuhan. “Saya mau ikut misa, ingin bertemu Tuhan”, ujarnya dengan suara parau. Mendengar keluhnya itu, lantas aku berpikir bukankah Tuhan itu ada di mana-mana, bersifat imanen, karena itu buat apa mesti pada perayaan ekaristi, di kamar pun Tuhan ada. Namun, ada hal yang tak kumengerti, bagaimanapun itu merupakan kerinduan batin nenek. Sekali lagi nenek bertanya dengan ungkapan dan nada yang sama: misa sudah selesaikah.” Tanpa niat untuk mengecewakannya, aku menjawab dengan suara terbata: sudah nek.

Tiba-tiba ada yang menyela perkataanku, Elvi adikku. “Sonde nek dia tipu, dia sonde pigi misa.” Kendati demikian, jiwaku telah diringkus iblis, sehingga aku tetap bersihkeras menipu nenek. Karena statusku frater maka nenek pun lebih percaya padaku. Alhasil, keyakinan nenek padaku tidak raib. Aku senang nenek lebih percaya padaku. Namun toh, rupanya, malaikat tidak rela aku menipu nenek, sehingga aku berusaha untuk jujur pada nenek bahwa aku tidak ikut misa. Sungguh pristiwa itu telah membuat aku jengah, karena aku telah menipu nenek dan juga menipu Tuhan, gumamku dalam hati dengan nada menyesal.

Aku terdekam perasaan gundah gulana dengan keadaan nenek. Penyakit yang nenek derita cukup mengenaskan sehingga tubuhnya begitu akrab dengan ranjang. Aku pun tidak tega melihat nenek seperti itu. Karena itu, pada satu kesempatan aku mencoba berkelakar dengannya. Nenek mungkin ingin tertawa dengan kelakarku, tapi ia tidak bisa mengekspresikannya dengan ketawa yang membuncah. Ia malah menatapku dengan rona wajahnya yang sedih sehingga membuat airmataku pun luruh. Sakit nenek makin parah. Kondisi itu memaksa kami sekeluarga berkumpul di rumahku untuk menghibur dan menjaga nenek. Itu dilakukan hampir tiap malam.

 

 

 

(Baca juga: Optimalisasi Peran Kaum Muda dalam Digital Talent Guna Menanggulangi Resesi Ekonomi Indonesia)

 

Upaya kami sekeluarga itu barangkali hanya untuk menghilangkan kepedihan di dalam kalbu nenek. Atau barangkali juga bisa membuat nenek makin merasa kesepian karena ia merasa hari-hari bersama kami sekeluarga sudah direnggut perlahan oleh deritanya, itulah mengapa kami berkumpul, tafsirku. Dan pada tanggal 9 juli malam, sakit nenek berada di ambang pintu kematian. Kami seisi rumah cemas seraya membawa nenek ke rumah sakit. Di rumah sakit ia dirawat selama tiga hari tiga malam. Dalam proses perawatan di rumah sakit, kami sekeluarga silih berganti menjaga dan merawat nenek.

 

“Tuhan lebih baik panggillah Dia daripada Dia menderita” kata ibuku dengan nada pasrah ketika ia duduk bersamaku di undakan teras rumah sakit. Sepertinya ibuku sedang menggugat Tuhan, karena tidak tahan melihat kondisi nenek yang sangat memprihatinkan. Menyimak seruan ibu, aku pun bertanya, sebenarnya untuk apakah hidup ini Tuhan, apakah untuk bahagia ataukah untuk menderita? Entah. Tapi satu hal yang pasti hidup berarti siap untuk menderita. Setelah dirawat selama tiga hari di rumah sakit, nenek meminta untuk pulang karena tidak sanggup lagi dengan rasa sakitnya. Ia berkata: “Antar saya pulang ke rumah,” kami sekeluarga pun mengamini permintaan nenek, yang mungkin permintaan terakhir kalinya.

 Keesokan Sorenya kami pun kembali ke rumah. Setelah tiba di rumah, malamnya mendung menyaput wajah nenek. Barangkali itu bertanda bahwa hujan di dalam rumah akan tiba. Benar, hujan akhirnya membasahi sebagian kecil bumi, yakni di rumah nenek, tepatnya pada jam satu subuh setelah mendung panjang. Nenek akhirnya menghembuskan nafas terakhirnya. Sedih, Sudahlah. Pada hari ketiga setelah kematian nenek pasti bangkit.

Post a Comment for " Untuk Apakah Hidup Ini Tuhan? || Cerpen Yanto"