Pemberdayaan terhadap Remaja Korban Cyberbullying melalui Pendekatan Pastoral Konseling - Nerapost
(Sumber gambar: digitalmama.id)
Abstrak:
Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji bagaimana pemberdayaan terhadap
remaja korban cyberbullying melalui
pendekatan pastoral konseling untuk menemukan kembali makna hidupnya. Remaja
sebagai kelompok usia yang sedang berada pada tahap pencarian jati diri
sehingga sangat rentan mengalami tekanan psikologi akibat cyberbullying. Dalam hal ini, pendekatan pastoral konseling hadir
tidak hanya memperhatikan aspek psikologis tetapi juga nilai-nilai spiritual
yang diyakini dapat memberikan dukungan emosional bagi remaja yang mengalami cyberbullying. Guna mendalami kasus cyberbullying, penulis melibatkan
beberapa remaja yang menjadi korban cyberbullying
di media sosial. Penelitian ini menggunakan metode deskriptif kuantitatif dengan
teknik pengumpulan data melalui studi literatur dan wawancara. Melalui metode
ini, penulis mengkaji remaja yang berusia 15-17 tahun yang pernah menjadi
korban cyberbullying. Penulis
menganalisis proses konseling yang dilakukan dengan memberikan perhatian pada
aspek psikologis, emosional, dan sosial. Hasil penelitian menunjukkan bahwa
pendekatan pastoral konseling memiliki peran penting dalam membantu remaja
untuk mengatasi trauma psikologis, emosional dan sosial yang diakibatkan oleh cyberbullying. Pendekatan ini memberikan
harapan baru bagi remaja korban cyberbullying
dengan berpedoman pada nilai-nilai spiritual sebagai landasan untuk proses
penyembuhan dan pemulihan. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan wawasan
baru dan dapat diterapkan oleh para konselor pastoral, orang tua, dan
masyarakat dalam menangani masalah cyberbullying.
Kata-Kata
Kunci: Pemberdayaan Remaja, Cyberbullying, Pastoral Konseling.
Tindakan bullying pada
tataran konseptual didefinisikan sebagai salah satu dari bentuk-bentuk tindakan
agresif. Namun, berbeda dengan tindakan agresif lainnya yang melibatkan
serangan dalam satu kali kesempatan dan dalam waktu yang pendek, bullying biasanya terjadi selama jangka
waktu yang lama, sehingga korbannya terus-menerus berada dalam keadaan cemas
dan terintimidasi. Bullying melibatkan
kekuatan dan kekuasaan yang tidak seimbang, sehingga korbannya berada dalam
keadaan tidak mampu mempertahankan diri secara efektif untuk melawan tindakan
negatif yang diterimanya (Barbara Krahe, 2001). Dengan demikian, dalam gagasan bullying “tradisional” ini, relasi
kuat-lemah memainkan peran yang sangat penting dalam bullying.
Bullying bisa berdampak secara langsung melalui aktivitas kekerasan fisik
yang dilakukan oleh pelaku kepada korban dan bisa memengaruhi kondisi psikologi
dan kehidupan sosial korban dalam jangka waktu tertentu. Di dalam
penelitiannya, Ela Zein Zakiyah, dan kawan-kawan menunjukkan beberapa perilaku
sosial yang cenderung ditunjukkan oleh korban bullying seperti; perasaan sedih, kecemasan bertemu dengan
orang-orang dengan status tertentu yang lebih tinggi (guru atau kakak kelas),
dan menghindari interaksi serta menjauhi tempat-tempat yang berpotensi
menciptakan kerumunan (Ela Zain Zakiyah, dkk, 2018). Dalam situasi tertentu,
seperti pada konteks relasi para remaja, jika tidak ditangani secara tepat, bullying juga berpotensi menyebabkan
korban mengambil jalan pintas dengan cara bunuh diri, karena mengalami depresi
yang serius (Retno Purnama Irawati, dkk, 2021).
Sementara itu, diskusi tentang cyberbullying
sendiri selalu berada dalam narasi perbandingan dengan aktivitas bullying tradisional. Dalam hubungannya
dengan relasi antara pribadi, keduanya sama-sama didefinisikan sebagai satu
bentuk tindakan agresif yang menyebabkan kerugian pada orang lain (Kusumasari,
dkk, 2019). Perbedaan paling mencolok di antara keduanya terletak pada sarana. Cyberbullying dilakukan melalui
platform-platform media sosial, seperti Facebook,
Twitter, dan WhatsApp. Hal inilah
yang memungkinkan cyberbullying menjelma
menjadi sebuah fenomena dengan istilah “non-stop
bullying” dengan ciri khas paling mencolok, yaitu “everywhere and anywhere” (dimana dan kapan saja) dan “anonymity or perceived anonymity”
(anonimitas atau persepsi anonimitas) (Faye Mishna, dkk, 2009). Dua ciri khas
inilah yang disinyalir telah menjadikan cyberbullying
sebagai sebuah persoalan sosial yang terus meningkat dari waktu ke waktu.
Feri Sulianta bahkan menegaskan secara lebih jauh dalam artikelnya
tentang alasan-alasan yang menjadikan fenomena cyberbullying marak terjadi, di antaranya adalah; pelaku berpikir
bahwa mereka tidak akan tertangkap, cyberbullying
tidak berdampak secara serius, dan perasaan wajar karena ada sekian banyak
orang yang juga melakukannya (Feri Sulianta, 2005). Berkaitan dengan relasi
pelaku dan korban, Yohana Choria Utami (2014) dalam penelitiannya yang berjudul
Cyberbullying di Kalangan Remaja (Studi
tentang Cyberbullying di Kalangan Remaja di Surabaya) menegaskan bahwa cyberbullying dianggap valid bila pelaku
dan korban berusia di bawah 18 tahun dan secara hukum belum dianggap dewasa.
Apabila salah satu pihak yang terlibat (atau keduanya) sudah berusia di atas 18
tahun, maka kasus yang terjadi akan dikategorikan sebagai cybercrime atau cyberstalking.
Cyberstalking melibatkan penggunaan teknologi informasi dan komunikasi (TIK)
untuk melakukan lebih dari satu insiden yang dimaksudkan untuk berulang kali
melecehkan, mengganggu, menyerang, mengancam, menakut-nakuti, dan/atau melecehkan
seseorang secara verbal (UNODC, 2015).
Maraknya kasus cyberbullying,
dalam berbagai bentuk dan dampaknya kepada para korban telah mendorong banyak
orang untuk secara serius menjadikannya sebagai kajian studi. Berikut ini, akan
dipaparkan beberapa studi terdahulu sebagai pembanding. Agustin Sukmawati dan
Ayu Puput Budi Kumala (2020) dalam penelitian mereka yang berjudul Dampak Cyberbullying pada Remaja di Media
Sosial menegaskan beberapa dampak langsung cyberbullying seperti dampak psikologis, psikososial, dampak
akademik, dan dampak secara fisik. Dengan mempertimbangkan dampak-dampak yang
ada, keduanya kemudian mengetengahkan pentingnya membangun kesadaran masyarakat
untuk menggunakan media sosial secara lebih bijaksana untuk mengantisipasi yang
semua hal yang dapat merugikan dan menyakiti orang lain. Selanjutnya, Triyono
dan Rimadani (2019) dalam penelitian mereka yang berjudul Dampak Cyberbullying di Media Sosial pada Remaja dan Implikasinya
Terhadap Pelayanan Bimbingan Konseling (Studi Kasus pada Klien X di Padang
Utara, Kota Padang) menemukan bahwa berbagai macam dampak negatif dari cyberbullying perlu ditangani dengan
pendekatan dan pelayanan pendampingan konseling.
Fransiskus Bala Kleden, dkk (2025) dalam penelitian yang berjudul Kant’s Moral Principles as Guidelines in
Addressing the Issue of Cyberbullying menyimpulkan bahwa cyberbullying pada kenyataannya jauh
lebih kejam dan buruk dari tindakan bully
tradisional. Dengan bertolak dari perspektif moral Kant yang mengetengahkan
gagasan tentang penghargaan terhadap martabat dan otonomi dari yang lain,
penulis menganjurkan pentingnya aturan-aturan anti-bullying dengan menumbuhkan rasa tanggung jawab individu,
pendidikan karakter dalam ruang digital, dan penerapan nilai-nilai moral
praktis. Penulis juga pada menawarkan kerja sama antara berbagai macam pihak,
seperti keluarga, lembaga pendidikan, dan masyarakat sosial. Prasasti Dyah
Nugrheni (2021) dalam penelitiannya yang berjudul The New Face of Cyberbullying in Indonesia: How can Provide Justice to
The Victim menyimpulkan bahwa peningkatan kasus cyberbullying terjadi berbanding lurus dengan meningkatnya
perkembangan dan teknologi dan masifnya penggunaan media sosial oleh masyarakat
luas. Prasasti menawarkan pencegahan kejahatan dengan meningkatkan etika dalam
bidang komunikasi yang baik dan benar.
Bersamaan dengan perkembangan teknologi informasi yang semakin
canggih, kasus cyberbullying telah
menjadi sebuah persoalan yang semakin serius diperhatikan. Penulis menyebut
beberapa contoh berikut. Pertama, Detiknews pada tanggal 7 September 2023
menurunkan berita berjudul KPAI: Luluk
Nuril Lakukan Cyberbullying, Korban Hilang Percaya Diri. KPAI menyebut
selebgram asal Porbolinggo itu telah secara sengaja melakukan kekerasan verbal
melalui akun TikTok pribadinya kepada
seorang murid SMK (Detiknews, 2023). Kedua, Paraz Mumtaz dalam artikelnya di Kumpran.com yang berjudul Perundungan yang Terjadi Pada Media Sosial juga
menyebut bahwa aktivitas cyberbullying tidak
hanya terjadi di antara kaum remaja, tetapi juga menyerang tokoh-tokoh besar
seperti para artis dan tokoh-tokoh publik (Kumparan.com,
2024). Ketiga, NTTHits.com pada
tanggal 10 Juli 2023 juga menulis sebuah laporan dengan judul Kajian ChildFund Internasional, 58 Persen
Anak Remaja di NTT jadi Korban Perundungan Online. Kajian ini dibuat
terhadap 1.610 anak dan orang muda dari periode Juli-Oktober 2022, dan hasilnya
cukup mengejutkan; 49,1% siswa sekolah menengah dan universitas telah melakukan
cyberbullying dan 58,6% siswa telah
menjadi korban cyberbullying (NTTHits.com, 2023).
Penelitian-penelitian terdahulu dan contoh-contoh yang penulis sebutkan di atas, hemat penulis telah menjelaskan secara komprehensif praktik cyberbullying, baik tentang definisi, penyebab, ciri khas, serta dampak-dampak yang bisa ditimbulkan dari praktik cyberbullying. Namun, penelitian-penelitian ini belum berhasil mempresentasikan langkah-langkah konkret yang perlu dibuat untuk membantu para korban keluar dari trauma. Oleh karena itu, penelitian yang kami buat ini mencakup di dalamnya sebuah tawaran berhubungan dengan strategi pastoral yang bisa menolong para korban keluar dari trauma. Pendekatan yang kami paparkan dalam penelitian ini adalah pendekatan pastoral konseling.
2. METODE
Penelitian ini menggunakan metode deskriptif kuantitatif. Penulis
mengelaborasikan penerapan pendekatan dalam pastoral konseling terhadap remaja
yang mengalami cyberbullying.
Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji remaja korban cyberbullying melalui pendekatan pastoral konseling. Dalam hal ini
aspek spiritual, psikologis, dan sosial dalam konseling pastoral membantu
remaja mengatasi dampak negatif cyberbullying.
Informan kunci dalam penelitian ini yakni remaja yang berusia 15-17 tahun.
Dalam proses pengumpulan data penulis menggunakan studi literatur dan wawancara dengan menempuh beberapa tahap yakni; pertama, penulis mendalami buku-buku dan jurnal serta penelitian-penelitian terdahulu sebagai pembanding guna memahami secara komprehensif pendekatan pastoral konseling dan cyberbullying yang dialami oleh remaja. Kedua; penulis melakukan wawancara melalui WhatsApp dengan beberapa remaja yang pernah mengalami cyberbullying di WhatsApp, Facebook dan Instagram. Tujuan utama dari penulis mewawancarai informan kunci ini untuk mengetahui lebih dalam kasus cyberbullying serta dampak-dampak yang terjadi dalam kehidupan remaja. Selain itu, penulis ingin merekomendasikan pendekatan pastoral konseling sebagai salah satu cara untuk membantu korban cyberbullying membebaskan diri mereka dari trauma.
Seorang remaja bisa
menghabiskan waktu lima jam dalam satu minggu untuk membuka internet (Machsun
Rifauddin, 2016), bahkan bisa lebih dari lima jam dalam satu minggu.
Peningkatan waktu dalam menggunakan internet memberikan peluang kepada para
remaja untuk memiliki pengalaman yang lebih luas di luar batas-batas rumah,
sekolah dan masyarakat lokal untuk kepentingan kematangan jiwanya. Peningkatan
waktu penggunaan internet juga tidak jarang berdampak pada kenakalan-kenakalan
yang dilakukan dalam internet. Menurut Machsun Rifauddin (2016), satu kenakalan
yang dilakukan para remaja tersebut adalah cyberbullying. Cyberbullying adalah
kejadian ketika seorang anak atau remaja diejek, dihina, diintimidasi atau
dipermalukan oleh anak atau remaja lain melalui media internet, teknologi
digital atau telepon seluler (Yana Choria Utami, 2014).
Cyberbullying di NTT
Penulis mengangkat beberapa kasus di NTT
sebagai titik tolak untuk mendeskripsikan kasus cyberbullying yang marak
terjadi. Untuk memperoleh data yang diperlukan, penulis mewancarai lima
narasumber. Lima narasumber yang diwawancari adalah para pelajar di Sekolah
Menengah Pertama dan Sekolah Menengah Atas dari beberapa wilayah di NTT.
Penulis hanya mengambil lima sampel yang menjadi korban cyberbullying dari sekian banyak kasus yang sama yang terjadi di
NTT. Mediaswasta NTT, merilis data yang
cukup mengkhawatirkan bahwa hampir 45% siswa-siswi di NTT mengalami cyberbulliyng
(Victorynews, 2025). Portal data pendidikan merilis berita tentang jumlah
para peserta didik SMP dan SMA sederajat. Jumlah keseluruhan siswa-siswi SMP
dan SMA sederajat adalah 317.235 peserta (Data Dikdasmen, 2025). Dilihat dari persentase
kasus cyberbullying yang cukup tinggi
ini, penulis meyakini bahwa langkah-langkah konkret untuk mencegah kasus yang
sama terjadi di kemudian hari, penulis ingin memproposalkan pendekatan pastoral
konseling sebagai sebuah metode pastoral dapat membantu siswa-siswa, terutama
para korban untuk tidak menjadi pelaku di kemudian hari. Kenyataan ini menurut
menulis didukung oleh salah satu akibat langsung dari cyberbullying yakni
marah dan berperilaku agresif kepada teman dan keluarga (Unicef Indonesia,
2025), lebih-lebih kepada para pelaku.
Tabel 1: Remaja dan Cyberbullying
diberbagai platform Media Sosial di NTT
|
No |
Nama |
Umur |
Cyberbullying |
|
|
M.B. B |
15 |
Facebook |
|
|
|
2. |
S. K |
16 |
WhatsApp |
|
|
3. |
C. M. K |
17 |
Facebook |
|
|
4 |
C. M. B |
17 |
Facebook |
|
|
5. |
K. M |
17 |
Instagram |
|
Tabel
2: Jenis Bullying dan Dampak pada Remaja
|
No |
Nama |
Jenis Bullying |
Dampak Pada Remaja |
|||
|
Spiritual |
Sosial |
Psikologis |
Fisik |
|||
|
1. |
M. B. B |
Indentitasnya dicuri oleh orang tidak dikenal dan
dibagikan dalam akun facebook palsu (catfishing) |
Tidak mengikuti kegiatan rohani di kelompok dan
misa pada hari minggu |
Malu untuk bergabung bersama dalam acara bersama
di luar rumah |
Tertekan secara mental |
- |
|
2. |
S. K |
Temannya mengunggah informasi yang berbau
kekerasan di story whatsApp
untuk merusak nama baiknya (cyberstalking) |
- |
Malu untuk bergaul dengan teman-teman |
Dendam kepada pelaku |
- |
|
3. |
C. M. K |
Temannya menyebarkan foto pribadinya di
facebooknya (outing) |
Jarang berdoa |
Malu untuk ke sekolah |
Tertekan secara mental |
- |
|
4. |
C.M. B |
Orang tidak dikenal mengirim pesan bernada negatif
secara berulang-ulang (harassment) |
- |
- |
Takut berlebihan |
- |
|
5. |
K. M |
Temannya mengunggah informasi yang berbau
kekerasan di story instagram
untuk merusak mama baiknya (cyberstalking) |
Tidak mengikuti kegiatan rohani sebagaimana
biasanya |
Merasa malu untuk berinteraksi dengan orang luar |
Dendam kepada pelaku |
- |
Lima informan yang
diwawancarai sama-sama mengalami cyberbullying dalam banyak bentuk.
Paling kurang terdapat empat bentuk cyberbullying yang mereka alami,
antara lain: catfishing,
cyberstalking, outing dan
harassment. Informan yang diwawancarai merupakan informan yang bersedia
untuk dicantumkan inisialnya dalam penulisan ini. Kesediaan ini mengindikasikan
keterbukaan mereka untuk memperoleh bimbingan, karena yang paling utama dari
sebuah proses pendampingan serta bimbingan lebih lanjut untuk kasus seperti ini
adalah keterbukaan untuk merasa diri sebagai korban yang membutuhkan
pendampingan segera.
Dampak dari cyberbullying juga hampir sama yakni merasa malu,
minder dan enggan untuk bergabung dalam kegiatan rohani, merasa malu untuk
pergi ke sekolah serta menyimpan dendam kepada pelaku yang sudah dengan sengaja
menjadikan mereka sebagai korban. Para informan menuturkan bahwa mereka tidak
mengalami gangguan fisik akibat cyberbullying ini. Mereka mengalami gangguan
dalam beberapa aspek, seperti: spiritual, sosial, dan psikologi. Sebuah
gangguan yang tidak pernah boleh dianggap sebagai hal yang biasa. Para korban
membutuhkan pendampingan serta bimbingan yang serius dalam bidang pastoral konseling.
Pastoral Konseling
Pastoral Konseling
(Maximus Manu, 2023) pertama-tama didefinisikan sebagai sebuah upaya
pendampingan pastoral yang juga menjadi sebuah tanggung jawab dalam pelayanan
pastoral. Pastoral konseling merupakan suatu proses pemberian bantuan yang
dilakukan oleh kaum religius atau konselor kepada umat yang sedang mengalami
kesulitan-kesulitan hidup. Tugas ini kemudian diejawantahkan dalam beberapa
fungsi utama seperti berkhotbah, mengajar, memimpin ibadah, dan melayani umat.
Sementara itu, Tulus Tu’u (2007) menyebut bahwa terdapat 10 tujuan yang
dikembangkan dalam pastoral konseling sebagai pelayanan pastoral. Tujuan-tujuan
itu mencakup; pertama, mencari yang
bergumul. Pergumulan menjadi bagian hidup yang harus dijalankan. Jika ada umat
yang mengalami pergumulan agen pastoral wajib mengunjunginya. Kedua, menolong yang membutuhkan uluran
tangan. Konselor pastoral adalah pihak yang memberikan pertolongan. Konseli
sebagai yang tertolong sering kali tidak mampu melihat persoalan dengan jernih.
Ketiga, mendampingi dan membimbing.
Antara yang mendampingi dan didampingi perlu terjadi interaksi dan komunikasi
timbal balik. Pendamping bertanggungjawab penuh terhadap konseli.
Keempat, berusaha menemukan
solusi. Peran konselor adalah memimpin percakapan untuk memberikan pengarahan
menuju dan menemukan solusi. Kelima, memulihkan
kondisi yang rapuh. Konseling pastoral adalah proses menolong yang berupaya
membantu konseli memulihkan kondisi yang rapuh. Keenam, perubahan sikap dan perilaku. Konselor meminta konseli
mengambil sikap atau langkah-langkah atau perbuatan tertentu yang berdampak
positif bagi hidupnya. Ketujuh, menyelesaikan
dosa melalui Kristus. Konselor perlu mendorong konseli untuk menyadari keadaan
dirinya yang tidak bersih di hadapan Tuhan. Konselor mengarahkan percakapan
dengan respons interpretatif agar konseli mencari Tuhan dan menyelesaikan
dosanya sampai akhirnya ia menemukan hidup yang damai dalam Tuhan. Kedelapan, pertumbuhan iman. Konselor
mendorong agar iman konseli bertumbuh sampai mewujud pada titik iman yang
hayatiah.
Kesembilan,
terlibat persekutuan umat. Konselor harus membantu menyadarkan konseli agar
berjumpa dengan Kristus sang Konselor Agung. Kesepuluh, mampu menghadapi persoalan selanjutnya. Konselor harus
mengarahkan konseli agar ia mampu mendewasakan diri. Hal itu dilakukan dengan
mengembangkan kepribadian yang bersumber pada nilai-nilai spiritual dalam
Alkitab. Maximus Manu (2023) kemudian menambahkan bahwa pelayanan pastoral
dalam bentuk pastoral konseling perlu memperhatikan beberapa unsur berikut,
yaitu pastoral konseling sebagai wujud pelayanan yang menyerupai pelayanan
Kristus, pastoral konseling sebagai tanda kebutuhan konseli terhadap kehadiran
Allah yang membebaskan, dan kesadaran akan proses konseling sebagai proses yang
membebaskan.
Di dalam praktiknya,
pastoral konseling sangat menekankan relasi antara konselor pastoral dan
konseli sebagai sebuah relasi antara seorang gembala dan domba. Dalam konteks
ini, seorang gembala memainkan peran sentral untuk menolong dan mencari
“domba-domba yang sedang tersesat”. Seorang konselor pastoral, dengan demikian
memainkan peran dengan meneladani “Sang Gembala Agung”, yaitu Yesus Kristus.
Beberapa inspirasi Kitab Suci yang menunjukkan peran seorang konselor pastoral di
antaranya adalah; Pertama, Yehezekiel
34 tentang Tuhan gembala yang baik, melawan gembala-gembala yang jahat. Dalam
hal ini, Tuhan sendiri sebagai gembala yang baik untuk menuntun
domba-domba-Nya. Kedua, Yohanes 10
tentang gembala yang baik. Ketiga, Yohanes
21 tentang gembalakanlah domba-dombaku. Keempat,
1 Petrus 5 tentang gembalakanlah kawanan domba-domba Allah (Maximus Manu, 2023)
Semua contoh teks
Kitab Suci ini merujuk kepada inspirasi yang sama, yaitu peran yang mesti
dimainkan oleh seorang Konselor Pastoral, yaitu menjadi seperti seorang
gembala. Naek Tua Parlindungan dan Rio Janto Pardede (2022) menegaskan bahwa
fungsi pastoral konseling adalah keselamatan yang diberikan oleh Allah kepada
setiap individu. Secara lebih jauh, keduanya menekankan juga situasi
eksistensial manusia yang unik dan berbeda satu dengan yang lainnya. Oleh karenanya
pada titik ini, di dalam prosesnya, setiap konselor pastoral perlu menerima
konseli dengan mempertimbangkan kekhasan persoalan, karakter pribadi, dan
kemampuan mereka menerjemahkan situasi psikologis yang sedang mereka alami.
Pendekatan Pastoral Konseling bagi Upaya
Penyembuhan Para Korban Cyberbullying
Berhadapan dengan meningkatnya persoalan-persoalan sosial kemasyarakatan di tengah umat, maka kebutuhan pelayanan pastoral dalam bentuk pastoral konseling adalah sebuah kemendesakan. Berkaitan dengan persoalan cyberbullying yang diangkat penulis di dalam penelitian ini, ada beberapa hal mendasar yang menunjukkan pentingnya pendekatan pastoral konseling diaplikasikan sebagai upaya penyembuhan bagi para korban. Pertama, kenyataan bahwa setiap korban mengalami perasaan terluka dan pengalaman traumatis. Perasaan terluka pada titik tertentu telah membuat para korban mengisolasi diri dari pergaulan sehari-hari. Tindakan menutup diri seperti ini, pada akhirnya berdampak dalam bagi perkembangan pribadi para korban secara khusus dalam hubungan dengan relasi sosial mereka dengan sesama. Pengalaman ini pada akhirnya bisa berdampak pada menurunnya minat para korban untuk mengikuti kegiatan-kegiatan rohani bersama yang bisa berbuntut pada menurunnya kualitas iman mereka. Dalam batasan ini mereka bisa dikategorikan sebagai “domba-domba” yang hilang.
Kedua, para korban yang mengalami pengalaman depresi cenderung menyimpan
pengalaman itu sebagai sebuah pengalaman yang tidak ingin dipublikasikan kepada
publik. Bagi para remaja seperti mereka, ketidakstabilan emosi dan
ketidakmatangan pribadi berpotensi membuat mereka mengambil jalan keluar yang
keliru. Jalan keluar yang keliru yang bisa disebut adalah kecanduan untuk
merokok dan alkohol, atau dalam tataran yang paling berbahaya, para korban bisa
memutuskan untuk mengakhiri hidup mereka. Ketiga,
pengalaman tersakiti oleh perilaku orang lain juga berpotensi membuat para
korban menaruh dendam bagi para pelaku. Perasaan dendam bisa mengerucut pada
dua bentuk perilaku agresif, yaitu tindakan balas dendam secara langsung kepada
para pelaku atau membentuk karakter para korban untuk menjadi pelaku di
kemudian hari. Hal ini menunjukkan adanya kemungkinan bahwa rantai kejahatan
ini akan berlangsung terus menerus. Dengan ini, hemat penulis para korban mesti
dibimbing untuk menyelesaikan dirinya secara bijaksana melalui langkah-langkah
yang positif.
Dengan mempertimbangkan aspek-aspek destruktif yang muncul dalam diri para korban cyberbullying ini, pendekatan pastoral konseling adalah pendekatan yang bisa digunakan untuk membantu para korban. Para korban, pertama-tama mesti diterima sebagai seorang yang datang sebagai pribadi yang terluka. Keterbukaan dari konselor pastoral sebagai seorang gembala menunjukkan kesiapsediaannya untuk mencari dan menemukan domba-dombanya yang hilang. Di sisi yang lain, keterbukaan dari para korban jelas menunjukkan keterbukaan kepada upaya untuk memulihkan diri. Ini memang bukan sebuah usaha yang mudah. Konselor pastoral tidak boleh memaksa para korban untuk bercerita, tetapi membiarkan mereka sendiri menemukan waktu yang tepat untuk berbagi pengalaman mereka. Pendekatan sebagai seorang gembala terhadap para domba yang hilang memungkinkan terciptanya relasi yang saling percaya dalam seluruh proses penyembuhan.
Pendekatan koseling pastoral yang humanis dalam prosesnya bisa membantu para korban untuk menemukan keutuhan mereka sebagai pribadi yang telah direduksi oleh pengalaman terluka. Pada titik ini, pendekatan pastoral konseling bermanfaat untuk memulihkan kondisi para korban dari situasi mereka yang sedang terpuruk. Setelah menemukan lagi penghargaan terhadap diri sendiri, pendekatan pastoral konseling pada akhirnya bisa membantu para korban untuk menerima pengalaman mereka secara positif yang memungkinkan mereka sampai pada kesanggupan untuk memaafkan orang lain dan berdamai dengan pengalaman mereka yang menyakitkan. Dengan demikian, pastoral konseling bisa mengarahkan para korban untuk menjadi pribadi yang lebih tegar. Para korban tidak hanya dibantu untuk bebas dari pengalaman traumatis, tetapi lebih dari itu, mereka secara pribadi memperoleh kematangan emosi untuk mengahadapi tantangan lain dalam kehidupan pribadi mereka.
Cyberbullying tidak dimungkiri
telah menjadi sebuah persoalan yang berbahaya bagi para remaja. Fakta bahwa
kasus-kasus ini terjadi semakin intens dari waktu ke waktu bersamaan dengan
perkembangan dan pemanfaatan teknologi yang semakin masif telah menjadikannya
sebagai persoalan yang mesti didiskusikan secara serius. Ada banyak remaja yang
mengalami depresi dan pengalaman terluka secara mental sebagai dampak negatif
langsung dari menigkatnya aksi cyberbullying.
Penegakan hukum, rancangan pembentukan karakter baik di rumah maupun di
sekolah adalah berbagai upaya pencegahan yang positif. Namun, pada kenyataan
ada banyak korban yang secara diam-diam menyimpan luka mereka sebagai korban.
Pendekatan pastoral konseling adalah tawaran yang tidak bisa dielak sebagai
sebuah bantuan untuk memulihkan kondisi para korban. Pendekatan ini
memungkinkan para korban mengalami pengalaman diterima dan disembuhkan dari
pengalaman-pengalaman traumatis mereka.
Cyberbullying sebagai tindakan intimidasi dan pelecehan yang
dilakukan melalui media digital, telah menjadi masalah serius di kalangan
remaja di era digital saat ini. Dampak psikologis dari cyberbullying sangat besar, dapat mencakup perasaan depresi, rendah
diri, kecemasan, dan bahkan keinginan untuk bunuh diri. Dalam menghadapi
masalah ini, pastoral konseling dapat memberikan pendekatan yang lebih humanis
dan berbasis pada nilai-nilai keagamaan untuk membantu individu yang terdampak cyberbullying. Pendekatan pastoral konseling
menekankan pentingnya pemahaman terhadap konteks spiritual dan emosional
individu yang sedang menghadapi masalah. Dalam hal ini, seorang konselor
pastoral tidak hanya berperan sebagai pendengar, tetapi juga sebagai pembimbing
yang menggunakan prinsip-prinsip agama guna membantu remaja menemukan cara
dalam mengatasi trauma yang mereka alami akibat bullying di dunia maya. Konseling pastoral memberikan ruang bagi
remaja untuk mengungkapkan perasaan mereka secara terbuka dan mendapatkan
dukungan dalam bentuk doa, nasihat rohani, serta perspektif pastoral dalam
menghadapi masalah cyberbullying.
Pastoral konseling berfokus pada menciptakan hubungan yang penuh kasih, empati, dan penerimaan tanpa penghakiman, di mana remaja merasa aman untuk berbicara mengenai pengalaman mereka. Pendekatan ini mengintegrasikan spiritualitas dalam proses penyembuhan, yang berpedoman pada ajaran agama untuk memberikan harapan dan kekuatan bagi individu. Dalam konteks ini, konseling pastoral berperan untuk membantu mereka menemukan kedamaian batin melalui pemahaman akan kasih Tuhan dan pentingnya memaafkan diri sendiri maupun orang lain. Hal ini membantu remaja untuk tidak hanya fokus pada penderitaan mereka, tetapi juga memberi mereka pandangan yang lebih luas mengenai tujuan hidup dan arti dari setiap ujian yang mereka hadapi. Pendekatan pastoral konseling efektif dalam membantu remaja mengatasi dampak dari cyberbullying dengan memberikan bimbingan spiritual dan emosional. Dengan pendekatan yang penuh kasih, remaja tidak hanya dibantu untuk mengatasi trauma yang mereka alami, tetapi juga diajak untuk menemukan makna dan kedamaian dalam perjalanan hidup mereka. Pendekatan ini penting karena melibatkan dimensi spiritual yang dapat memberikan ketenangan jiwa dan kekuatan untuk melanjutkan hidup meskipun menghadapi kesulitan.
Beek V. Aart (2021). Pendampingan
Pastoral. Jakarta: Gunung Mulia.
C.M.B. Hasil wawancara melalui telepon
seluler pada 11 Februari 2025.
C.M.K. Hasil wawancara melalui telepon seluler pada 9
Februari 2025.
UNODC, “Cyberstalking dan pelecehan siber”,
dalam sherloc.unodc.org (2015), https://sherloc.unodc.org/-cld/zh/education/tertiary/cybercrime/module-12/key-issues/cyberstalking-and-cyberharassment.html
Darmayanti, Kusumasari Kartika Hima, dkk. (2019). Bullying di Sekolah: Pengertian, Dampak,
Pembagian dan Cara Menanggulanginya. Pedagogia
Jurnal Ilmu Pendidikan, 17(1), hal. 55-67. http://ejournal.upi.edu/index.php/pedagogia.
Herman Samuel (2023). “Strategi Unggul Konseling
Pastoral pada Remaja dalam Hubungan Percintaan”. Jurnal Apokalupsis, 14(02), hal, 146-147.
Ikhsanudin, Arief. “KPAI: Luluk Nuril Lakukan Cyberbullying, Korban Hilang Percaya
Diri”. Detiknews, 7 September 2023. http://news.detik.com.
Irawati, Retno Purnama, dkk. (2021). Pemahaman Remaja
Mengenai Bullying dan Dampak Negatif Jangka Panjang yang Ditimbulkannya. Jurnal Pengabdian Kepada Masyarakat, 3(1),
hal. 49-59. Jos.unsoed.ac.id.
K.M. Hasil wawancara melalui via WhatsApp pada 15 Februari 2025.
Kleden, Fransiskus Bala, dkk. (2025).
Kant’s Moral Principles as Guidelines in Adressing the Issue of Cyberbullying. Studia Philosophica et
Theologica. 25(1), hal. 1-17. http://doi.org/10.35212/studia.v25i.656.
M.B.B. Hasil wawancara melalui via WhatsApp pada 07 Februari 2025.
Manu, Maximus, ed (2023). Mendekap yang Terhempas: Masalah-Masalah Sosial dan Strategi Pastoral
Konseling. Maumere: Penerbit Ledalero.
Mishna, Faye, dkk. (2009). Ongoing and Online: Children
and Youth ‘s Perceptions of Cyberbullying. Children
and Youth Service Review, hal. 1222-1228. www.elsevier.com/locate/childyouth.
Muliarman. (2021)
Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi VI. Jakarta: Permata Press.
Mumtaz, Paraz. “Perundungan yang Terjadi Pada Media
Sosial”. Kumparan.com, 18 Juni 2024. https://m.kumparan.com.
Nugraheni Prasasti Dyah. (2021) The New
Fave of Cyberbullying in Indonesia: How Can We Provide Justice to The Victims? The Indonesian Journal of International
Clinical Legal Education. 3(1), hal. 57-76.
http://journal.unnesac.id/sju/index.php/iccle.
Parlindungan, Naek Tua dan Rio Janto
Pardede. (2022). Model Pelayanan Pastoral Konseling Kristen: Remaja Kecanduan Game
Online. SCRIPTA: Jurnal Teologi dan
Pelayanan Kontekstual. 14(2), hal. 106-129.
https://doi.org/10.47154/script.v13i1.152.
Portal
Data Pendidkan, “ Jumlah Peserta Peserta Didik Aktif di Nusa Tenggara Timur”. Didaksemen,
27 April 2025. https://data.dikdasmen.go.id/data-induk/pd/240000.
Radja, Lidya. “Kajian ChildFund International, 58 Persen
Anak Remaja di NTT jadi Korban Perundungan Online”. NTTHits.com, 10 Juli 2023. https://www.ntthits.com.
S.K. Hasil wawancara melalui via WhatsApp pada 10 Februari 2025.
Seran,
Paschal. “ 45
Persen Siswa jadi Korban Cyberbullying Wakil Wali Kota Kupang Ajak
Anak-anak Teladani Sosok Ini”. Victorynews,
2 Mei 2025. https://www.victorynews.idi
Soetjipto, Helly Prajitno dan Sri Mulyani Soetjipto
(perj.) (2005). Perilaku Agresif.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Sukmawati, Agustin dan Ayu Puput Budi Kumala. (2020).
Dampak Cyberbullying Pada Remaja di
Media Sosial. Alaudin Scientific Journal
of Nursing, 1(1), hal. 55-65. http://journal.uin-alauddin.ac.id/index.php/asjn/issue/view/1328.
Sulianta, Feri. (2005). Cyberbullying – Perilaku Tradisional yang Merambah Dunia Maya. Media Informatika, 4(3), hal. 104-114.
jurnal.likmi.ac.id.
Triyono dan Rimadani.
(2019). Dampak Cyberbullying di Media
Sosial pada Remaja dan Implikasinya terhadap Pelayanan Bimbingan dan Konseling
(Studi Kasus pada Klien X di Padang Utara, Kota Padang). Jurnal Neo Konseling, hal. 1-5. http://neo.ppj.unp.ac.id/index.php/neo.
Tu’u, Tulus. (2007). Dasar-Dasar Konseling Pastoral Panduan bagi
Pelayanan Konseling Gereja. Yogyakarta: Penerbit ANDI.
Unicef
Indonesia, “Apa itu cyberbulying”. Unicef Indonesia, 27 April 2025. https://www.unicef.org/indonesia/id/child-protection/apa-itu-cyberbullying.
Utami, Yana Choria. (2014). Cyberbullying di Kalangan Remaja (Studi tentang Korban Cyberbullying
di Kalangan Remaja Surabaya). Jurnal
Universitas Airlangga, 3:3,
Zakiyah, Ela Zain, dkk. (2018). Dampak Bullying pada
Tugas Perkembangan Remaja Korban Bullying. Focus:
Jurnal Pekerjaan Sosial, 1(3), hal, 265-279. jurnal.unpad.ac.id.
Oleh: Rian Tap, Carli Kau,
Febry Wagur, Nando Liko dan Enti Daga

Post a Comment for "Pemberdayaan terhadap Remaja Korban Cyberbullying melalui Pendekatan Pastoral Konseling - Nerapost"