Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Partisipasi Politik Warga Katolik dalam Ruang Demokrasi di Indonesia - Nerapost

Partisipasi Politik Warga Katolik dalam Ruang Demokrasi di Indonesia - Nerapost

(Sumber gambar: utusan.net)


Abstrak:

Partisipasi Gereja dalam ruang publik demokrasi kerap dikritik karena Gereja dianggap mengurusi sakramen semata. Di lain sisi, Gereja juga dianggap apatis jika abai mengintervensi setiap kebijakan publik dalam ruang demokrasi sebagai suatu tanggung jawab moral. Studi ini bertujuan menganalisis keterlibatan Gereja dalam konteks kehidupan demokrasi terutama untuk memberikan suara kritis sebagai wacana alternatif dalam kehidupan bernegara. Studi ini menggunakan metode kualitatif yakni analisis deskriptif dengan berbasis pada kompendium Ajaran Sosial Gereja dan konsep-konsep kunci tentang demokrasi di Indonesia. Tesis dasar studi ini ialah partisipasi Gereja dalam ruang publik merupakan panggilan profetis untuk memperjuangkan nilai-nilai Kerajaan Allah sebagai misi utama Gereja.

Kata-kata kunci: Demokrasi, Warga Katolik, Suara Kritis

I. Pendahuluan

Negara merupakan suatu organisasi yang di dalamnya terdapat wilayah, masyarakat dan pemerintah. Setiap negara memiliki sistem atau bentuk pemerintahannya sendiri. Sistem pemerintahan ini sangat penting agar tatanan kehidupan di dalamnya terarah bagi seluruh rakyat guna mencapai kesejahteraan bersama. Sistem pemerintahan juga memiliki berbagai jenis, sesuai dengan kebutuhan setiap negara. Sistem pemerintahan yang sering dianut dan paling umum digunakan adalah sistem demokrasi. 

Christopher Ezra Manurung, dkk, yang mengutip Subroto mengungkapkan bahwa dalam sejarah Yunani Kuno, demokrasi merupakan sistem politik di mana masyarakat terlibat dalam proses pengambilan keputusan. Hal ini terjadi guna membebaskan masyarakat dari ideologi feodalisme yang dinilai tidak seimbang dalam pembagian kekuasaan.  Salah satu negara yang menerapkan sistem demokrasi dalam kurun waktu lama adalah negara Indonesia.

Perkembangan demokrasi di Indonesia mengalami fluktuasi atau pasang surut. Sebagaimana yang diungkapkan Christopher Ezra Manurung¸dkk, pasang surut demokrasi di Indonesia disebabkan oleh masalah pokok yang sering dihadapi yakni bagaimana upaya meningkatkan kehidupan ekonomi dan membangun kehidupan sosial politik yang demokratis dalam masyarakat yang plural.  Sejak kemerdekaan, negara Indonesia telah empat kali menggantikan sistem demokrasi yakni:

Pertama, pada tahun 1945-1959, Indonesia menganut sistem demokrasi parlementer. Demokrasi ini merupakan konsep demokrasi yang memberikan otoritas penuh kepada parlemen untuk mengerjakan tugas-tugas negara. Sistem demokrasi ini juga cenderung mengikuti demokrasi liberal. Namun, demokrasi ini hanya bertahan kurang lebih 9 tahun.  

Kedua, demokrasi terpimpin (1959-1965). Demokrasi ini disebut sebagai demokrasi tunggal. Karena segala bentuk kebijakan maupun wewenang dipusatkan pada satu pemimpin pemerintahan. Ciri khas dari demokrasi ini yakni kehadiran presiden sebagai pemimpin pemerintahan.  

Ketiga, demokrasi Pancasila Era Orde Baru (1956-1998). Setelah peristiwa G30S/PKI dan penyerahan jabatan kepada Soeharto, demokrasi ini mulai diterapkan. Sesuai dengan namanya, era ini menjadikan Pancasila sebagai dasar sistem pemerintahan. Namun, dalam penerapannya masih kurang sehingga menyebabkan berbagai penyimpangan, seperti krisis moneter, inflasi dan praktik KKN.  

Keempat, demokrasi era reformasi (1998-sekarang). Dengan berakhir rezim 32 tahun dan turunnya Soeharto, era orde baru dan digantikan oleh era reformasi. B. J. Habibie sebagai presiden menciptakan era reformasi serta perkembangan secara besar-besaran di berbagai sektor. Demokrasi ini menerapkan nilai-nilai pancasila dengan kebebasan pers, sistem multi partai kembali diterapkan dan pemilu lebih demokratis dan konsisten serta pembagian kekuasaan antara lembaga juga lebih stabil. Selain itu, hak-hak sebagai warga negara lebih terjamin dan kembali menerapkan prinsip kedaulatan berada di tangan rakyat.  

Di Indonesia, Pancasila merupakan falsafah dan dasar dalam kehidupan demokrasi. Di lain pihak, Pancasila menegaskan pelaksanaan demokrasi yakni musyawarah mufakat untuk kepentingan bersama. Sebagai bangsa yang berideologi pancasila, setiap nilai-nilai dalam sila harus dapat diterapkan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.  

Menurut Fuji Lestari Hasibuan dan Afifah Muffarohah dalam Jurnal Pro Justitia, penerapan demokrasi Pancasila ini sudah berjalan melalui empat hal.  Pertama, pemilihan umum langsung yakni rakyat memilih kepala daerah mulai dari presiden, Gubernur, Bupati dan Kepala Desa. Selain itu rakyat juga memilih anggota legislatif seperti DPR, DPD dan DPRD. Kedua, kebebasan berpendapat. Warga negara Indonesia memiliki kebebasan untuk menyampaikan pendapat. Ketiga, keterlibatan warga masyarakat sipil. Dalam hal ini, masyarakat turut aktif dalam mengawasi jalannya pemerintahan serta memberikan pendidikan politik seperti LSM. Keempat, sistem perwakilan. Rakyat yang diwakili oleh anggota legislatif seperti DPR, DPD, DPDR bertugas menyuarakan aspirasi rakyat, membuat undang-undang dan melakukan pengawasan terhadap kebijakan pemerintah.

Penerapan demokrasi pancasila itu mengalami tantangan, meskipun demokrasi itu telah dijalankan secara konstitusional. Berikut ini beberapa kendala atau tantangan yang dihadapi dalam penerapan demokrasi pancasila di Indonesia: 

Pertama, politik uang. Politik ini mencederai kedaulatan, karena pilihan rakyat bukan berdasarkan dan penilaian moral melainkan karena pengaruh uang. Hal ini juga memperburuk ketidakadilan dan mengabaikan aspek moral dan etika.  Misalnya Metrotvnews.com menurunkan berita tentang “Bawaslu RI Ungkapkan ada 130 Kasus Politik Uang Pilkada 2024 Seluruh Indonesia.”  Ini berarti politik uang masih menjamur dalam sistem demokrasi pancasila 

Kedua, kurangnya pendidikan politik. Dalam pengertiannya, pendidikan politik adalah proses pembelajaran yang bertujuan untuk memberikan pemahaman dan keterampilan yang dibutuhkan individu dalam berpartisipasi secara aktif dalam kehidupan politik, baik sebagai warga negara yang bertanggungjawab maupun sebagai pemimpin politik.  Pendidikan politik yang kurang merata menyebabkan ketimpangan dalam kehidupan politik di Indonesia. 

Ketiga, polarisasi politik. Polarisasi politik adalah fenomena yang menggambarkan pembagian masyarakat menjadi kelompok-kelompok dengan pandangan, nilai, dan kepentingan yang berlawanan secara tajam. Polarisasi politik tidak hanya tentang perbedaan ideologi, tetapi juga bagaimana kelompok masyarakat memandang isu-isu yang dianggap penting secara subjektif. Polarisasi dapat menimbulkan segregasi sosial, memecah belah masyarakat, dan melemahkan nilai-nilai persatuan. Dalam kehidupan bermasyarakat, polarisasi sering kali diperburuk oleh pemberitaan media yang tidak seimbang.  

Keempat, korupsi. Korupsi merupakan salah satu tindak pidana yang paling merusak tatanan sosial, ekonomi, dan politik suatu negara. Korupsi telah menjadi salah satu masalah krusial yang menghambat pembangunan nasional, mempengaruhi kepercayaan publik terhadap institusi pemerintah, dan mengurangi kualitas layanan publik. Atas dasar itu, korupsi menjadi tantangan dalam penerapan sistem demokrasi pancasila di Indonesia dan menjadi penghalang dalam pembangunan ekonomi berkelanjutan. 

2. Pandangan Ajaran Sosial Gereja

Ajaran Sosial Gereja memberikan prinsip moral, dalam setiap sisi kehidupan manusia. Dokumen-dokumen Gereja ini menekankan partisipasi, solidaritas dan kebaikan bersama, termasuk dalam kehidupan politik. Intisari keberpihakan ini termaktub dalam beberapa ensiklik yang diserukan oleh para Paus dari masa ke masa. Menurut Gaudium et Spes, “Kebaikan bersama mencakup, keseluruhan kondisi kehidupan sosial yang memungkinkan manusia, baik sebagai pribadi maupun kelompok, untuk mencapai kesempurnaan mereka dengan lebih penuh” (GS, 26). Dalam demokrasi, ini berarti aspirasi warga dari tingkat akar rumput harus diberi ruang, bukan disumbat oleh elite politik.  Di dalam ensiklik ini juga ditegaskan bahwa setiap orang berhak menyampaikan aspirasi dalam kehidupan bersama agar mencapai kebaikan yang lebih penuh dan bukan untuk kepentingan individu tertentu. 

Paus Yohanes Paulus II dalam Sollicitudo Rei Socialis, menekankan bahwa solidaritas adalah “tekad teguh untuk memperhatikan sesama” (SRS,38). Demokrasi sejati harus menumbuhkan solidaritas, bukan memupuk individualisme yang merusak.  Pada tataran ini, warga Katolik di Indonesia juga sebenarnya dituntut untuk hidup selaras dengan nilai-nilai demokrasi dan berperang melawan individualisme yang membelenggu demokrasi itu sendiri. Hal ini kembali ditegaskannya dalam Centesimus Annus. “Gereja menghargai sistem demokrasi sejauh sistem itu menjamin partisipasi warga dalam politik dan menjamin bahwa mereka dapat memilih dan mengontrol pemerintahan” (CA, 46).  Penekanan yang ditonjolkan di sini soal transparansi dari sistem demokrasi, walaupun praksis demokrasi di Indonesia sendiri masih jauh dari harapan. 

Paus Benediktus XVI juga memperjuangkan hal yang sama melalui dokumen Gereja Caritas in Veritate. Ia menyampaikan bahwa partisipasi politik harus dilandasi cinta kasih dalam kebenaran. Aspirasi harus mencerminkan perhatian terhadap pembangunan manusia seutuhnya dan persaudaraan universal (CV, 7).  Melalui ensiklik ini Paus Benediktus menegaskan bahwa partisipasi dalam kegiatan politik harus disertai dengan kesungguhan hati. Kebaikan dan kebenaran harus menjadi landasan utama dalam partisipasi tersebut. 

Melalui ensiklik Evangelii Gaudium, Paus Fransiskus mengajak umat untuk terlibat aktif dalam kegiatan politik. Ia menekankan pentingnya partisipasi dan budaya dialog. “Kegiatan politik, begitu pula kegiatan ekonomi harus diarahkan kepada kebaikan bersama” (EG, 205).  Partisipasi dalam kehidupan politik sesungguhnya adalah bukan soal menyampaikan hak melainkan juga soal tanggung jawab iman, karena itu baik politisi maupun warga politik harus memahami pentingnya budaya dialog dalam demokrasi. Selain Evangelii Gaudiuam, Paus Fransiskus juga menerbitkan Fratelli Tutti pada tahun 2020 untuk meningkatkan partisipasi umat Katolik dalam kehidupan sosial. Dokumen ini menekankan persaudaraan universal, dan pentingnya politik sebagai bentuk “kasih yang termulia” bila dijalankan demi kebaikan bersama. Oleh karena itu, demokrasi harus menghindari polarisasi dan kebencian, serta mengutamakan dialog.  Dalam konteks politik, praksis demokrasi Indonesia memang belum maksimal, sehingga keterlibatan warga Katolik di dalamnya harus dipahami dalam bingkai dialog. Hal ini penting demi mengutamakan kebaikan bersama, bukan golongan tertentu. 

2.1 Segi Alkitabiah

Umat Katolik Indonesia adalah bagian integral dari masyarakat yang dipanggil untuk mengambil peran aktif dalam kehidupan demokratis. Panggilan ini tidak sekadar bermakna politis, tetapi juga teologis, karena berakar pada iman untuk mengusahakan “bonum commune” (kebaikan bersama).  Kenyataan ini menegaskan bahwa keterlibatan tersebut mesti diwujudkan dalam penyampaian aspirasi yang baik dan benar. Kitab Suci menegaskan bahwa manusia diciptakan menurut gambar dan rupa Allah. (Kej. 1:27). Martabat ini menjadi dasar teologis bahwa setiap orang berhak untuk berpartisipasi dalam kehidupan bersama, termasuk kehidupan politik dalam suatu negara.  Sistem demokrasi yang diterapkan di negara Indonesia dan partisipasi umat Katolik di dalamnya merupakan wujud perhatian terhadap martabat manusia dan keadilan sosial. 

Ketika tinggal di bumi, Yesus sendiri tidak menghindar dari kegiatan politik. Ia pernah ditanya oleh orang Farisi dan Herodian tentang pajak, “Katakanlah kepada kami pendapat-Mu: Apakah diperbolehkan membayar pajak kepada Kaisar atau tidak?” (Mat 22:17). “Berikanlah kepada Kaisar apa yang wajib kamu berikan kepada Kaisar dan kepada Allah apa yang wajib kamu berikan kepada Allah” (Mat 22:21). Dasar biblis ini menegaskan bahwa aktivitas membayar pajak kepada negara juga merupakan sebuah aktivitas politik. Oleh karena itu warga Katolik di Indonesia juga harus memiliki kesadaran bahwa keterlibatannya dalam aktivitas politik adalah sebuah kewajiban sebagai warga negara. Hal ini penting untuk menghindari sikap apolitis dalam tubuh Gereja karena kecenderungan pemerintah yang menyalahgunakan kekuasaan, bahkan menghalalkan politik identitas. 

Yesus sendiri juga mengajarkan keberpihakan pada yang lemah. Dalam Injil Matius (25:40) Ia bersabda: “Segala sesuatu yang kamu lakukan untuk salah seorang dari saudara-Ku yang paling hina ini, kamu telah melakukannya untuk Aku.” Maka menyampaikan aspirasi dalam demokrasi adalah tindakan iman: membela mereka yang tidak bersuara.  Keterlibatan umat katolik dalam kehidupan demokrasi di negara ini bukan hanya soal implementasinya sebagai warga negara melainkan lebih dari itu adalah sebuah panggilan profetik keberpihakan. Tindakan demokratis sesungguhnya juga telah dipraktekan oleh kehidupan jemaat perdana. Kisah Para Rasul 2:44-45 menggambarkan tentang kehidupan jemaat perdana yang memprioritaskan solidaritas dan cinta kasih.  Tindakan mereka bisa menjadi basis keterlibatan politik umat Katolik dalam demokrasi yakni sikap yang menghargai pluralitas demi menciptakan kesejahteraan bersama. 

Rasul Paulus dalam suratnya kepada jemaat di Roma (13:1) mengingatkan kita bahwa pemerintahan berasal dari Allah. Namun, ini bukan pembenaran untuk menerima struktur yang tidak adil. Seperti para nabi yang menegur raja lalim, umat katolik juga dipanggil untuk menegakkan kebenaran melalui kritik yang konstruktif.  Warga Katolik Indonesia harus menyadari bahwa kritik terhadap praksis politik yang melenceng dari prinsip keadilan sosial bukan tindakan kotor. Kritik tersebut bukan juga untuk mendiskreditkan pemerintah dan pribadi tertentu, melainkan sebuah bentuk keterlibatan dalam mewujudkan politik yang selaras dan berdampak pada kesejahteraan bersama. 

2.2 Landasan dan Tujuan Paguyuban Politik

a. Paguyuban Politik, Pribadi Manusia dan Bangsa

Pribadi manusia merupakan dasar dan tujuan tatanan dan kehidupan politik. Atas dasar kemampuan akal budinya pribadi manusia bertanggung jawab atas keputusannya dan mampu mewujudkan rencana-rencananya, baik pada tataran individual maupun sosial yang membuat hidupnya bermakna. Keterbukaan kepada yang transenden dan yang lain merupakan ciri khas pribadi manusia: hanya dalam hubungan dengan yang transenden dan yang lain pribadi manusia mampu mewujudkan dirinya secara sempurna dan total. Itu berarti bahwa bagi manusia yang dari kodratnya adalah ciptaan yang bersifat sosial dan politis “hidup kemasyarakatan itu bukanlah tambahan melulu” melainkan substansial dan tak terhapuskan.  

Paguyuban politik lahir dari kodrat pribadi manusia. Hati nurani manusia mengungkapkan aturan yang diletakkan Allah sendiri dalam setiap ciptaan-Nya dan menuntut ketaatan mutlak untuk melaksanakannya. Manusia menuntut adanya tatanan moral yang mendasarkan dirinya secara religius. Dibandingkan dengan norma materiil serta kepentingan politis, moralitas bernuansa religius jauh lebih mampu menyelesaikan persoalan yang dihadapi setiap individu, kelompok sosial, sebuah bangsa serta perserikatan bangsa. Pada tempat pertama apa yang menjadi karakteristik dasar sebuah bangsa adalah persamaan hidup dan tatanan nilai yang membangun sebuah komunitas moral dan spiritual.

b. Membela dan Memajukan Hak Asasi Manusia

Memahami pribadi manusia sebagai landasan sekaligus tujuan paguyuban politik berarti memperjuangkan pengakuan dan penghargaan atas martabat manusia dengan membela dan memajukan hak asasi manusia yang mendasar dan tidak dapat dicabut. Paham hak asasi manusia merupakan ringkasan tuntutan- tuntutan moral dan hukum utama yang melandasi pembangunan sebuah paguyuban politik. Tuntutan-tuntutan tersebut membentuk sebuah norma objektif yang melandasi hukum positif dan tidak pernah boleh dilanggar oleh paguyuban politik karena pribadi manusia menjadi dasarnya baik secara ontologis maupun teleologis. Hukum positif mesti menjamin bahwa kebutuhan-kebutuhan dasar manusia terpenuhi. Paguyuban politik memperjuangkan perwujudan kesejahteraan umum dengan cara menciptakan sebuah ranah sosial yang manusiawi, di dalamnya para warga mendapatkan kemungkinan menikmati hak-hak asasinya secara sungguh-sungguh serta memenuhi kewajibannya secara penuh dan menyeluruh. 

c. Hidup Bersama atas Dasar Persahabatan Warga

Makna terdalam dari paguyuban politik dan sipil tidak muncul secara langsung dari daftar hak dan kewajiban seorang pribadi. Kehidupan bersama hanya mencapai kepenuhan artinya jika didasarkan pada persahabatan dan persaudaraan. Ranah hak sesungguhnya merupakan wilayah perlindungan kepentingan dan sikap hormat lahiriah, perlindungan barang-barang materiil beserta distribusinya berdasarkan aturan-aturan yang telah ditetapkan. Ranah persahabatan, di lain pihak, adalah ajang tanpa pamrih, kelepasan dari barang-barang materiil, memberi secara bebas, penerimaan batiniah terhadap kebutuhan-kebutuhan sesama.  Dengan demikian persahabatan warga merupakan perwujudan paling asli dari prinsip persaudaraan yang tak terpisahkan dari prinsip kebebasan dan persamaan.

Sebuah masyarakat berdiri kokoh jika ia bercita-cita untuk mengembangkan pribadi manusia dan kesejahteraan umum secara keseluruhan; dalam hal ini norma hukum pun didefinisikan, dihormati dan dihayati atas dasar norma solidaritas dan pengabdian tanpa pamrih kepada sesama. Prinsip keadilan menuntut agar setiap orang boleh menikmati kekayaan dan haknya, dan ini dapat dipandang sebagai takaran minimal dari cinta kasih. Sebuah kehidupan bersama tertata semakin manusiawi jika ia semakin memancarkan usaha untuk mencapai kesadaran yang lebih matang tentang cita-cita yang harus dicapai sebuah komunitas yakni “peradaban cinta kasih.” Hukum cinta kasih dalam Alkitab menjelaskan kepada umat Kristen tentang makna terdalam dari sebuah kehidupan politik. Dengan demikian, tujuan yang harus dicapai oleh orang beriman ialah perwujudan relasi persekutuan di antara semua orang. 

2.3 Otoritas Politik

Otoritas politik berkaitan dengan kekuasaan, hak, dan wewenang yang diakui oleh masyarakat dan diberikan kepada lembaga tertentu untuk menjalankan fungsinya.  Fungsi kekuasaan ialah untuk memengaruhi pengaturan publik (pemerintah) baik dalam perkembangannya maupun hasil-hasilnya sesuai dengan tujuan dari pemegang kekuasaan itu sendiri.  Gereja sebagai sebuah instansi keagamaan turut memberi perhatian secara serius dalam melihat dan menjelaskan perihal otoritas politik. Pandangan Gereja ini mencakup dasar otoritas politik, otoritas sebagai kekuatan moral, hak untuk menolak atas dasar pertimbangan hari nurani, hak perlawanan, dan pemberian hukuman.  Pertama, dasar otoritas politik. Gereja menyatakan bahwa otoritas politik berasal dari kodrat sosial manusia yang diciptakan oleh Allah sebagai makhluk yang hidup bermasyarakat. Masyarakat memerlukan otoritas yang sesuai dengan kodrat ini untuk menjaga kesatuan dan tujuan bersama, sehingga otoritas politik merupakan kebutuhan yang tak terpisahkan dari kehidupan sosial. Fungsi otoritas politik adalah mengatur kehidupan masyarakat secara teratur menuju kebaikan dengan tetap menghormati kebebasan individu maupun kelompok.  

Kedua, otoritas sebagai kekuatan moral. Gereja menegaskan bahwa otoritas harus berlandaskan pada hukum moral universal dan abadi dari Allah, bukan semata-mata atas dasar situasi sosial atau historis. Otoritas wajib menghormati nilai moral yang melekat pada martabat manusia, yang tidak bisa diubah oleh individu, mayoritas, atau negara. Hukum yang dibuat harus adil dan rasional, serta hukum yang menyimpang dipandang sebagai suatu pelanggaran. Ketaatan pada otoritas berarti menaati tatanan moral dan Allah, sementara menolak otoritas moral berarti menolak hukum Allah dan mengkhianati kesejahteraan umum. 

Ketiga, hak untuk menolak atas dasar pertimbangan hati nurani. Gereja menyatakan bahwa warga negara tidak diwajibkan menaati aturan otoritas sipil yang bertentangan dengan tuntutan moral, norma pribadi dasar, atau ajaran Alkitab berdasarkan hati nurani mereka. Jika hukum tidak adil meminta seseorang untuk terlibat dalam perbuatan amoral, maka mereka berkewajiban untuk membangkang. Pembangkangan ini adalah hak asasi manusia yang harus diakui dan dilindungi oleh undang-undang, termasuk perlindungan dari konsekuensi hukum dan sosial. 

Keempat, hak perlawanan. Gereja memandang bahwa penolakan terhadap otoritas yang melanggar hukum kodrati secara berat dan terus-menerus merupakan tindakan yang sah. Penolakan ini bertujuan untuk memperjuangkan keabsahan suatu pandangan demi mengubah undang-undang tertentu atau bahkan merombak situasi secara mendasar. Gereja menetapkan beberapa syarat untuk praktik hak perlawanan, yaitu adanya pelanggaran berat dan berkelanjutan terhadap hak asasi manusia, semua cara damai sudah dicoba, perlawanan tidak menimbulkan kerusuhan yang lebih parah, adanya peluang besar untuk berhasil, dan tidak ada cara penyelesaian yang lebih baik. 

Kelima, pemberian hukuman. Gereja berpendapat bahwa otoritas publik berhak dan wajib menjatuhkan hukuman sesuai kejahatan untuk melindungi kesejahteraan umum melalui sistem peradilan netral. Hukuman bertujuan untuk menjaga ketertiban, keamanan, dan rehabilitasi terdakwa. Gereja menolak penggunaan hukuman mati dan lebih mengutamakan cara damai yang menghormati martabat manusia.

2.4 Sistem Demokrasi

Demokrasi merupakan suatu bentuk atau mekanisme sistem pemerintahan yang berupaya mewujudkan kedaulatan rakyat.  Demi mencapai demokrasi yang sehat, maka masyarakat memegang peranan signifikan dalam mengontrol setiap penyelenggaraan kekuasaan.  Gereja Katolik mempunyai pandangan tersendiri tentang demokrasi dengan segala kompleksitasnya. Pandangan ini berkaitan dengan nilai dan demokrasi, institusi dan demokrasi, matra moral prinsip keterwakilan politik, sarana keterlibatan politik, serta informasi dan demokrasi.  Pertama, nilai dan demokrasi. Gereja memandang bahwa demokrasi sejati bukan hanya pelaksanaan aturan formal, tetapi berdasarkan pengakuan nilai-nilai dasar seperti martabat pribadi manusia, hak asasi manusia, dan kesejahteraan umum sebagai tujuan politik. Kegagalan mencapai konsensus atas nilai-nilai ini akan meruntuhkan demokrasi. Demokrasi adalah sistem yang berfungsi sebagai sarana, bukan tujuan, dan nilainya bergantung pada kesesuaian dengan hukum moral yang mengatur tujuan dan cara pelaksanaannya. 

Kedua, institusi dan demokrasi. Gereja mengakui prinsip pembagian kekuasaan untuk mencegah kekuasaan sewenang-wenang, dengan hukum sebagai norma tertinggi. Dalam demokrasi, otoritas politik wajib mempertanggungjawabkan kekuasaannya kepada rakyat melalui pemilihan umum bebas dan kontrol publik. Anggota parlemen harus bertanggung jawab selama masa jabatan. Anggota parlemen bertugas menciptakan undang-undang, menjalankan pemerintahan, dan melakukan kontrol demi kehidupan bersama yang berfungsi. Pemerintah bertanggung jawab kepada rakyat tetapi tetap memiliki kebebasan menjalankan mandat untuk mencapai kesejahteraan umum, tidak hanya memenuhi kepentingan kelompok tertentu. 

Ketiga, matra moral prinsip keterwakilan politik. Gereja menegaskan bahwa pihak-pihak yang bertanggung jawab dalam politik harus menjalankan otoritas dengan prinsip etis, mengedepankan pelayanan dan kebajikan seperti kesabaran, kerendahan hati, cinta kasih, serta berfokus pada kesejahteraan umum, bukan keuntungan pribadi atau popularitas. Korupsi politik merusak prinsip moral dan keadilan sosial, mengikis kepercayaan rakyat terhadap institusi publik, memicu apatisme, dan melemahkan sistem demokrasi dengan menjadikan politik sebagai arena transaksi yang hanya menguntungkan kelompok tertentu. Birokrasi publik harus melayani warga dan mengelola harta rakyat demi kesejahteraan umum.

Keempat, sarana keterlibatan politik. Gereja menegaskan bahwa partai politik bertugas mendorong partisipasi luas dalam tanggung jawab publik dengan menyalurkan keinginan masyarakat menuju kesejahteraan umum. Partai harus demokratis, mampu mengatasi konflik politik, dan memiliki perencanaan jangka panjang. Referendum sebagai bentuk partisipasi langsung memfasilitasi keterlibatan warga dalam pengambilan keputusan politik, dan melengkapi sistem keterwakilan. 

Kelima, informasi dan demokrasi. Gereja memandang bahwa informasi sangat penting untuk partisipasi demokratis dan harus didukung oleh pluralisme media dengan kepemilikan dan penggunaan yang setara untuk menjaga demokrasi. Media sosial harus memperkuat komunitas dengan informasi yang benar, adil, dan solidaritas demi kesejahteraan umum. Sistem informasi harus mendukung kematangan spiritual, kesadaran martabat, dan menghormati perbedaan budaya.

2.5 Melayani Masyarakat Sipil

Kepuasan masyarakat merupakan salah satu bentuk keberhasilan suatu instansi atau organisasi dalam menyelenggarakan kegiatan pemerintahan berdasarkan prinsip efektif, efisien, inovasi dan komitmen. Salah satu bentuk kepuasan masyarakat yang paling utama ialah dalam hal pelayanan publik. Menurut Roth Gabriel Joseph pelayanan publik didefinisikan sebagai layanan yang tersedia untuk masyarakat, baik secara umum (seperti di museum) atau secara khusus (seperti di restoran makanan).  

Sementara itu, Lewis Carol W dan Stuart C. Gilman mendefinisikan pelayanan publik sebagai kepercayaan warga negara dalam pelayanan publik yang melayani dengan kejujuran dan pengelolaan sumber penghasilan secara tepat, dan dapat dipertanggungjawabkan kepada publik. Dibutuhkan etika pelayanan publik sebagai pilar dan kepercayaan publik sebagai dasar untuk mewujudkan pemerintah yang baik. 

Salah satu bentuk pelayanan publik dapat dilihat berdasarkan isi Pasal 1 Ayat 1 Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009 Tentang Pelayanan Publik, yang berbunyi “pelayanan adalah kegiatan atau rangkaian kegiatan dalam rangka pemenuhan kebutuhan pelayanan sesuai dengan peraturan perundang-undangan bagi setiap warga negara dan penduduk atas barang, jasa, dan atau pelayanan administratif yang disediakan oleh penyelenggara pelayanan publik”. 

Penyelenggaraan pelayanan yang sesusai dengan bentuk dan sifatnya, menurut Keputusan Mentri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara Nomor 63 Tahun 2003 tentang pedoman umum penyelenggaraan pelayanan publik ada beberapa pola pelayanan, yaitu: pertama, pola pelayanan fungsional, yaitu pola pelayan publik diberikan oleh penyelenggaraan pelayanan sesuai dengan tugas, fungsi dan kewenangannya. Kedua, pola pelayanan terpusat, yaitu pola pelayanan yang diberikan secara tunggal oleh penyelenggara pelayanan terkait lainnya yang bersangkutan. Ketiga, pola Pelayanan Gugus Tugas, yaitu petugas pelayanan publik secara perorangan atau dalam bentuk gugus tugas ditempatkan pada instansi pemberi pelayanan dan lokasi pemberi pelayanan dan lokasi pemberi pelayanan tertentu. 

2.6 Gereja dan Paguyuban Politik

Indonesia dengan situasi sosio-kultural yang kaya, menjadikan demokrasi sebagai fondasi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Demokrasi sebagai dasar masyarakat dan negara mengandung pengertian bahwa rakyatlah yang memberikan ketentuan tentang masalah kehidupan, termasuk menilai kebijakan pemimpin negara, yang akan menentukan kehidupan rakyat dan masa depan negara.  Demokrasi sebagai istilah yang memberi makna bahwa pemerintahan sebuah negara didasarkan pada pengakuan martabat dan harkat kemausiaan dalam setiap aspek kehidupan berbangsa dan bernegara. Demokrasi di Indonesia yang dinamis, membutuhkan suara kritis untuk mengawasi dan mendorong perubahan yang positif. Gereja dan paguyuban politik dapat menjadi penggerak untuk memberikan suara kritisnya. Suara kritis berfungi sebagai pengawas publik, penyalahgunaan kekuasaan, dan pendorong perubahan positif. Gereja dan paguyuban politk menjalankan peran dengan pendekatan masing-masing yang unik. Gereja berperan sebagai kompas moral. Sedangkan paguyuban politik dapat berperan sebagai fasilitator dan pelindung ruang demokrasi sosial. 

Gereja sebagai Otoritas Moral dan Suara Kenabian 

Ensiklik Centesimus Annus yang dikeluarkan oleh Paus Yohanes Paulus II memberikan penilaian tegas terhadap demokrasi. Demokrasi dipandang sebagai sistem yang memberikan ruang nyata untuk partisipasi rakyat sekaligus menuntut pertanggungjawaban dan pergantian pemimpin secara damai, sesuai dengan nilai-nilai keadilan dan martabat manusia yang menjadi jantung ajaran gereja.  Hal ini menjelaskan bahwa ajaran sosial gereja yang menempatkan manusia dan martabatnya sebagai pusat dari setiap sistem politik, termasuk demokrasi. Gereja mendorong warga untuk tidak hanya menyerahkan kekuasaan kepada pemimpin secara pasif, tetapi juga secara aktif terlibat dalam pengawasan dan evaluasi pemerintahan, sehingga demokrasi tidak menjadi alat kekuasaan tanpa kendali.

Dalam konteks ini, umat Katolik diberikan panggilan untuk tidak menjadi penonton pasif, tetapi aktif berperan sebagai agen perubahan yang kritis dan konstruktif. Gereja memiliki peran fundamental dalam proses pembentukan karakter moral umat Katolik. Sebagai lembaga yang bersifat hierarkis dan spiritual, Gereja bertanggung jawab menanamkan nilai-nilai Injil dan Ajaran Sosial Gereja yang meliputi penghormatan terhadap martabat manusia, keadilan sosial, persaudaraan, serta kesejahteraan bersama. 

Nilai-nilai ini menjadi panduan dimensional dalam kehidupan umat sehari-hari dan dalam sikap menghadapi berbagai tantangan sosial-politik. Secara khusus, Gereja berfungsi sebagai pengawas moral yang obyektif, yang mampu menilai kebijakan negara secara kritis. Dengan demikian, Gereja mempertahankan kredibilitasnya sebagai suara moral yang independen, yang menjaga integritas spiritual dan sosial umat Katolik. 

Paguyuban Politik Melayani Masyarakat Sipil 

Paguyuban politik (atau negara) pada hakikatnya didirikan untuk melayani masyarakat sipil, bukan sebaliknya. Artinya, negara bukanlah diciptakan hanya untuk kepentingan dirinya sendiri atau penguasanya, tapi dipercayakan untuk melindungi, menegakkan adil, meningkatkan kesejahteraan, dan menjaga hak-hak warga negaranya. Jika negara malah menempatkan dirinya di atas rakyat dan lupa dengan kebutuhan rakyat, maka negara tersebut sudah meleset dari peran utamanya. Sebab itu, kalimat ini menekankan bahwa paguyuban politik haruslah selalu diarahkan pada pelayanan dan peningkatan kesejahteraan masyarakat agar terjadi tatanan kehidupan yang adil dan bermartabat.

1. Nilai dan definisi masyarakat sipil:

Masyarakat sipil adalah ruang di mana warga negara dapat berkumpul, membentuk asosiasi, dan mengejar kepentingan mereka secara bebas untuk mencapai kehidupan yang lebih adil. Nilainya bersifat universal karena bertujuan untuk kesejahteraan umum, dan ia berdiri terpisah dari ranah negara dan pasar.

2.  Prioritas masyarakat sipil:

Masyarakat sipil memiliki ‘prioritas’ dan hierarki yang lebih tinggi daripada paguyuban politik. Artinya, paguyuban politik mendapatkan keabsahannya dari masyarakat sipil yang dilayani. Masyarakat sipil bukanlah "cabang" dari negara. Oleh karena itu, negara harus menyediakan kerangka hukum yang memadai bagi masyarakat sipil dan hanya intervensi jika sangat diperlukan.

3.  Prinsip subsidiaritas sebagai pengatur hubungan: 

Hubungan antara negara dan masyarakat sipil harus diatur oleh “prinsip subsidiaritas.” Prinsip ini berarti bahwa negara tidak boleh mencampuri urusan masyarakat sipil yang bisa diatur oleh komunitas itu sendiri. Sebaliknya, negara harus mendukung inisiatif-inisiatif yang muncul dari masyarakat (seperti organisasi sukarela dan koperasi) karena inilah cara terbaik untuk mengembangkan demokrasi, memperkaya kehidupan sosial, dan membangun etika publik yang didasarkan pada solidaritas dan kerja sama.

Perspektif normatif dan teoritis ini menempatkan masyarakat sipil sebagai fondasi utama dalam hubungan negara-warga negara. Negara harus secara aktif berperan sebagai fasilitator dan pelindung ruang demokrasi sosial, bukan sebagai institusi yang menghambat atau mendominasi. Implementasi prinsip subsidiaritas serta penghormatan atas otonomi masyarakat sipil menjadi instrumen penting demi terciptanya sistem sosial-politik yang demokratis, inklusif, dan adil. Pendekatan ini memungkinkan terbangunnya masyarakat dengan etika publik yang kuat serta solidaritas sosial yang berkelanjutan sebagai prasyarat bagi kemajuan bangsa secara menyeluruh.

Suara kritis umat Katolik merupakan manifestasi nyata dari pembinaan Gereja dan pengorganisasian dalam paguyuban politik. Dengan landasan iman dan moral yang kuat, partisipasi politik umat Katolik bukan untuk membentuk blok pragmatis, melainkan untuk memperkaya demokrasi Indonesia dengan nilai keadilan, perdamaian, dan martabat manusia. Partisipasi politik umat Katolik adalah panggilan iman untuk mewujudkan Kerajaan Allah di dunia, menciptakan tatanan masyarakat yang lebih adil, beradab, dan penuh belas kasih, khususnya di Indonesia yang kita cintai bersama.

3. Suara Kritis Gereja di Indonesia

3.1 Partisipasi Klerus

Kata Klerus berasal dari Kata Yunani kleros yang berarti "bagian" atau "warisan"; mengacu pada 1 Petrus 5 :3 yakni tugas imamat semua umat beriman.  Sebagian besar gereja Kristen, termasuk Katolik Roma, memahami klerus sebagai orang-orang yang ditahbiskan atau disisihkan untuk pelayanan tertentu, terutama yang berkaitan dengan pelayanan ekaristi. Tugas utama kaum klerus dalam Gereja adalah melayani secara rohani dan menguduskan umat melalui pelayanan sakramen, serta mewartakan dan mengajarkan iman.

Dalam Katekismus Gereja Katolik dikatakan bahwa bukanlah urusan para gembala Gereja untuk campur tangan secara langsung dalam struktur politik dan organisasi kehidupan sosial.  Sebaliknya, Gereja mengajarkan, berpolitik dan berorganisasi sosial adalah tugas awam Katolik. Hal ini mengacu pada Kanon 287 KHK yang melarang para Klerus berpolitik praktis pada tahun 1983, 40 tahun lalu, saat Kitab Hukum Kanonik sebelumnya, yaitu tahun 1917 direvisi. Dalam catatan sejarah, sebelum 1983, para Klerus dibolehkan ikut serta dalam jabatan politik, seizin atasannya, dalam hal ini uskup diosesan dan pimpinan tarekat hidup bakti. Namun, Paus Yohanes Paulus II merevisinya hingga berlaku sampai sekarang ini. 

Paus Yohanes Paulus II menegaskan bahwa imam tidak mempunyai misi politik. Ia berangkat dari satu kasus yang pernah terjadi saat KHK 1917 masih berlaku. Saat itu ada seorang pastor Katolik bernama Robert Drinan, seorang Jesuit, yang pertama kali terpilih menjadi anggota Kongres Amerika Serikat (AS), yang jabatannya setara dengan anggota DPR di Indonesia. Terhadap hal ini Yohanes Paulus II menegaskan ; Pertama, Tuhan Yesus selama hidup dan karya-Nya, tidak pernah ingin terlibat dalam gerakan politik, dan menghindari segala upaya untuk menarik-Nya ke urusan itu.“Karena Yesus tahu, bahwa mereka hendak datang dan hendak membawa Dia dengan paksa untuk menjadikan Dia raja, Ia menyingkir pula ke gunung, seorang diri.” (Yohanes 6:15). Kedua, menurut Paus Yohanes Paulus II masing-masing kita punya peranannya dalam Gereja dan masyarakat. Umat Kristen awam yang tidak tergabung dengan ordo religius dipanggil untuk terlibat dalam politik praktis, memberikan kontribusi-kontribusi sembari menghidupi nilai-nilai Injil. Sedangkan mereka yang dipanggil secara khusus, dalam hal ini para imam, lebih menaruh perhatian langsung pada Kerajaan Allah yakni pelayanan sakramen.

Meskipun tidak terlibat dalam politik praktis, namun para klerus maupun biarawan-biarawati ini tidak anti negara, anti politik. Tidak berpolitik praktis itu artinya tidak menjadi calon dalam partai tertentu, tidak terlibat langsung dalam kanca yudikatif dan legislatif, tidak menyuarakan secara vokal, apalagi di mimbar tentang dukungan terhadap paslon atau partai tertentu.

Klerus tetap berpartisipasi dalam kehidupan publik terutama memberikan suara kritisnya. Di Indonesia, sikap kritis kaum klerus Katolik berarti kepekaan dan keberanian mereka untuk menilai secara jujur, objektif, dan adil terhadap situasi sosial, politik, dan pemerintahan di Indonesia. Sikap ini tidak dimaksudkan untuk menjatuhkan pihak tertentu, tetapi untuk menegakkan nilai-nilai kebenaran, keadilan, dan martabat manusia sesuai ajaran sosial Gereja Katolik.

Bentuk sikap kritis kaum Klerus dalam kehidupan Demokrasi antara lain ; pertama, mengkritik ketidakadilan dan korupsi. Kaum klerus Katolik wajib menyampaikan kritik moral terhadap praktik kekuasaan yang menyimpang, seperti korupsi, pelanggaran HAM, atau ketimpangan sosial. Demokrasi sejati tidak hanya soal pemilu, tetapi juga penegakan keadilan dan moralitas publik. Sebagai contoh, Konferensi Waligereja Indonesia (KWI) dalam surat pastoralnya pernah mengkritik keras politik uang dan penyalahgunaan kekuasaan menjelang pemilu. Mgr. Ignatius Suharyo (Uskup Agung Jakarta) beberapa kali menegaskan bahwa “suara hati tidak boleh dibungkam oleh kepentingan politik.”

Kedua, menolak intoleransi dan kekerasan. Klerus Katolik bersikap kritis terhadap intoleransi, diskriminasi, dan kekerasan atas nama agama, karena hal itu bertentangan dengan semangat demokrasi dan nilai kemanusiaan. Contohnya ialah para Uskup dan imam Katolik terlibat dalam pernyataan bersama antaragama untuk mengecam aksi kekerasan terhadap rumah ibadah atau minoritas, Pastor-pastor di daerah konflik, seperti di Papua atau NTT, sering menyerukan penyelesaian damai dan perlindungan hak-hak rakyat kecil.

Ketiga, mengingatkan pemerintah dan umat Klerus Katolik tidak segan menegur pemerintah atau umat Katolik sendiri ketika terjadi penyimpangan moral atau etika sosial. Contohnya, Uskup dan imam di berbagai keuskupan mengajak umat untuk tidak terjebak dalam politik identitas, serta menolak segala bentuk hoaks dan ujaran kebencian dalam masa pemilu. Dalam khotbah atau surat gembala, mereka sering menekankan pentingnya menggunakan hak pilih dengan hati nurani yang bersih.

Keempat, membela kaum lemah dan tertindas. Sikap kritis klerus juga tampak dalam pembelaan terhadap kaum miskin, petani, buruh, dan masyarakat adat yang sering dirugikan oleh kebijakan pembangunan. Beberapa imam dan lembaga Katolik aktif mendampingi masyarakat terdampak proyek tambang atau penggusuran. Caritas Indonesia (KARINA KWI) bekerja untuk mengadvokasi keadilan sosial dan kelestarian lingkungan hidup.

Sikap kritis kaum klerus Katolik berakar pada Ajaran Sosial Gereja, terutama prinsip martabat manusia harus dihormati. Keadilan dan solidaritas sosial harus ditegakkan. Dan kebaikan bersama (bonum commune) harus menjadi tujuan setiap kebijakan publik.

Sikap kritis kaum klerus Katolik dalam demokrasi di Indonesia adalah wujud tanggung jawab moral dan iman untuk menjaga demokrasi tetap berorientasi pada nilai kemanusiaan, menolak segala bentuk penyalahgunaan kekuasaan, dan mengarahkan masyarakat agar hidup berdasarkan kebenaran, keadilan, dan kasih.

3.2 Partisipasi Awam

Awam Katolik adalah semua anggota umat Katolik yang tidak ditahbiskan menjadi imam atau yang tidak menjalani kehidupan religius (biarawan/biarawati). Partisipasi awam Katolik dalam politik berakar dari panggilan iman untuk menjadi "terang dan garam dunia" dengan memperjuangkan keadilan, kesejahteraan, dan hak asasi manusia.

Tugas umum awam Katolik dalam kehidupan politik  antara lain pertama, mewujudkan nilai-nilai kristiani: Awam Katolik diharapkan menanamkan nilai-nilai seperti kejujuran, solidaritas, dan kerja keras dalam arena politik. Kedua, memperjuangkan kebaikan bersama bukan hanya untuk kelompoknya sendiri. Ketiga, menjadi saksi iman: iman bukan lagi urusan privat tetapi memiliki daya transformasi bagi orang lain. Keempat, menjaga dan menegakkan Hak Asasi Manusia: terlibat dalam politik adalah cara untuk mempromosikan dan membela hak asasi manusia.

Sejak Konsili Vatikan II, Gereja mengubah cara pandang lama yang mengabaikan peran kaum awam. Konsili Vatikan II secara logis menghadapkan kaum awam terutama berkaitan dengan misi ad extra di tengah dunia. Kaum Awam memiliki karakter yang istimewa, yakni partisipan aktif di tengah dunia.

Partisipasi awam Katolik dalam kehidupan demokrasi berarti menyuarakan pendapat yang jujur dan berdasarkan hati nurani yang terbentuk baik yakni mengoreksi kebijakan publik atau tindakan pejabat yang tidak sesuai dengan keadilan dan kesejahteraan umum dan mengusulkan alternatif atau solusi yang lebih manusiawi dan beretika. Prinsip dasarnya adalah “fides et ratio” — iman dan akal budi berjalan bersama dalam menilai situasi sosial dan politik.

Berikut beberapa bentuk nyata partisipasi awam Katolik dalam konteks demokrasi Indonesia:

1. Melalui Pemilu dan Politik Praktis

Umat Katolik berpartisipasi dalam pemilu secara aktif dan cerdas, memilih pemimpin berdasarkan integritas dan visi moral. Beberapa tokoh Katolik ikut berkiprah dalam politik untuk memperjuangkan nilai-nilai kemanusiaan, keadilan sosial, dan toleransi.

Sebagai contoh: Politisi Katolik seperti Ignasius Jonan (eks Menteri ESDM) dikenal menegakkan integritas dan pelayanan publik.

2. Terlibat dalam Advokasi Sosial dan Kemanusiaan 

Organisasi Katolik seperti Komisi Keadilan dan Perdamaian (KKP-KWI), Sekretariat Keadilan, Perdamaian, dan Keutuhan Ciptaan (SKPKC), serta JPIC (Justice, Peace and Integrity of Creation) adalah wadah bagi awam Katolik dalam melakukan advokasi untuk membela hak-hak masyarakat kecil dan lingkungan hidup.

3. Kegiatan Edukasi dan Literasi Politik

Awam Katolik hendaknya aktif dalam kegiatan Paroki, kelompok kategorial, dan kampus Katolik yang menyelenggarakan seminar, diskusi publik, atau pelatihan etika politik. 

Sebagai contoh Komisi Kerasulan Awam (Kerawam KWI) mengadakan pelatihan "Politik yang Bermartabat" bagi calon legislatif Katolik.

4. Melalui Media dan Komunikasi Sosial

Umat muda Katolik dapat mengkritisi isu korupsi, intoleransi, dan ketidakadilan sosial dengan cara yang santun dan membangun melalui media sosial seperti menulis opini, membuat konten edukatif, atau melakukan kampanye moral melalui media sosial dan media -media seperti HIDUP TV, Sesawi.net, atau kanal Katolik di YouTube merupakan contoh terkait partisipasi Awam Katolik dalam ruang demokrasi.

Pada prinsipnya tujuan akhir dari partisipasi Awam Katolik ialah membangun kebaikan kerja sama secara universal seperti menegakkan martabat manusia, mewujudkan keadilan sosial, menjaga kerukunan dan perdamaian serta mewujudkan demokrasi yang beradab dan beretika.

Partisipasi awam Katolik dalam demokrasi adalah panggilan iman dan tanggung jawab moral. Baik melalui keterlibatan dalam politik praktis maupun non-praktis—umat Katolik membantu memastikan bahwa nilai-nilai Kerajaan Allah seperti kasih, keadilan, dan kebenaran sungguh dihadirkan dalam kehidupan bersama.

4. Penutup

Partisipasi umat Katolik dalam kehidupan demokrasi merupakan wujud nyata dari panggilan iman untuk mewujudkan nilai-nilai Kristiani dalam masyarakat. Umat Katolik dipanggil untuk menjadi warga negara yang aktif, kritis, dan bertanggung jawab dengan mengedepankan keadilan, kejujuran, solidaritas, serta penghormatan terhadap martabat manusia. Dalam konteks demokrasi, keterlibatan umat tidak hanya sebatas pada aktivitas politik seperti pemilihan umum, tetapi juga dalam membangun kehidupan sosial yang adil dan damai melalui karya pelayanan, pendidikan, dan advokasi sosial. Dengan demikian, partisipasi umat Katolik menjadi kontribusi penting bagi terciptanya tatanan masyarakat yang demokratis, beradab, dan berlandaskan pada nilai-nilai moral serta kasih Kristus. 

Daftar Pustaka

1. Dokumen-dokumen

Dokpen KWI. Caritas in Veritate, ed, F.X. Adisusanto dan Bernadeta Hartini Tri Prasasti, Jakarta: 2014.

 ---------------Evangelii Gaudium, ed, Martin Harun dan T. Krispurwana Cahyadi, Jakarta: 2014.

Komisi Kepausan Untuk Keadilan dan Perdamaian. Kompendium Ajaran Sosial Gereja. Penerj. Yosef Maria Florisan, Paul Budi Kleden, Otto Gusti Madung. Maumere: Ledalero, 2013

Komisi Kerasulan Awam Konferensi Wali Gereja Indonesia. Modul Pendidikan Politik Umat Katolik. Jakarta: Penerbit Mirifica, 2013.

Republik Indonesia, Mentri Negara Tentang Pendayagunaan Aparatur Negara Nomor 63 Tahun 2003.

---------Undang-undang No. 25 Tentang Pelayanan Publik Tahun 2009

Yohanes Paulus II, Ensiklik Centesimus Annus, 46: AAS 83 (99)

2. Buku 

Budi Prayitno, Rahardi dan Arlis Prayugo. Teori Demokrasi-Memahami Teori dan Praktik. Yogyakarta: Penerbit Deepublish, 2023.

Gabriel Joseph, Roth. The Privat Provision of Public Service in Developing Country, Washington: Oxford University Press, 1926.

Hermawan, Eman. Politik Yang Benar, Teori, Kritik, Nalar. Yogyakarta: KLIK dan DKN Garda Bangsa, 2001.

W. Lewis Carol, and Stuart C. Gilman. The Ethics Challenge in Public Service: A Problem-Solving Guide, San Fransisco: Market Street, 2005.

3. Artikel Jurnal

Azmi, Laila, dkk. “Implementasi Pendidikan Politik Bagi Warga Negara dalam Meningkatkan Kesadaran Politik,” Jurnal Media Ilmu, Vol. 2, No. 02, Bukit Tinggi, 2023

Efrianti, Yuwanda. “Polarisasi Politik Indonesia Tahun 2024 dalam Pemberitaan Media Online,” Harmoni: Jurnal Ilmu Komunikasi dan Sosial, Vol. 3, No. 01, Maret, 2025.

Ezra Manurung, Christopher dkk. “Perkembangan Sistem Demokrasi di Indonesia dan Relevansinya untuk Kehidupan di Tahun 2022”. Nusantara: Jurnal Pendidikan, Seni, Sains dan Sosial Humaniora, Vol 01, No. 01, Desember, 2022.

Gusti Madung, Otto. “Korupsi, Patronase, dan Demokrasi,” Jurnal Ledalero, Vol. 15, No. 1, Juni 2016.

Hasibun, Fuji Lestari dan Afifah Muffarohah, “Penerapan Demokrasi Pancasila di Indonesia,” Jurnal Pro Justitia, Vol. 03, No. 02, Agustus, 2022.

Indrajat, Himawan. “Demokrasi Terpimpin Sebuah Konsepsi Pemikiran Soekarno Tentang Demokrasi,” Jurnal Sosiologi, Vol. 18, No. 01, Lampung: 2016.

Jailani. “Sistem Demokrasi di Indonesia Ditinjau dari Sudut Hukum Ketatanegaraan.” Jurnal Inovatif, Vol. 8, No. 1, Januari 2015.

Karima, Muhammad Kaulan dkk. “Perjalanan Demokrasi Indonesia dan Problematika,” Jurnal Educandumedia, Vol. 02, No. 01, Banda Aceh: 2023.

Karsa, Topan Indra dan Rohani, “Aktualisasi Demokrasi Pancasila terhadap Pemilihan Kepala Daerah,” Justicia Sains: Jurnal Ilmu Hukum, Vol. 07, No. 02, November, 2022

Moses Jehaut, Rikardus & Benediktus Denar, “Imam Dan Larangan Berpolitik Praktis: Menimbang Relevansi Penegasan Magisterium Gereja di Tengah Gemuruh Politik Menjelang Pemilu 2024”, Jurnal Alternatif Wacana Ilmiah Interkultural, Vol. 12, No. 02, 2023.

Siburian, Roulina, dkk, “Implikasi Politik Uang terhadap Demokrasi Pancasila Pada Pemilu 2024 Terhadap Kesadaran Mahasiswa,” Jurnal of Global and Multidisciplinary, Vol. 02, No. 12, Desember, 2024.

Simamora, Adolf Bastian. “Politik Menurut Alkitab dan Implikasinya bagi Peran Gereja dalam Pusaran Politik di Indonesia”, Jurnal Voice of Wesley, Jakarta, 2019

Suryadi, Fathur Rahman dan Sasmi Nelwati, “Mengupas Sistem Demokrasi Indonesia, Keunikan dan Perbandingan Global,” Dewantara: Jurnal Pendidikan Sosial Humaniora, Vol. 03, No. 03, September, 2024

Wahyudi, Lutfi. “Demokrasi Orde Baru: Sebuah Catatan bagi Masa Depan Demokrasi di Indonesia,” Jurnal Sosial-Politika, Vol. 06, No. 11, Juli, 2005

Winata, Graciella Nathalie. “Tindak Pidana Korupsi: Tantangan dalam Penegakan dan Pencegahannya,” MANDUB: Jurnal Politik, Sosial, Hukum dan Humaniora, Vol. 2, No. 04, 2024.

Wisnu Dewantara, Agustinus. “Kerasulan Awam Di Bidang Politik (Sosial-Kemasyarakatan), dan Relevansinya bagi Multikulturalisme Indonesia”, JPAK: Jurnal Pendidikan Agama Katolik, Vol. 18, No. 09, 2017.

Wowor, I. Alter. “Teologi dan Etika Politik Dalam Gereja di Zaman Post-Modern”. BIA: Jurnal Teologi dan Pendidikan Kristen Kontekstual, Vol. 1, No. 1, Juni 2018

Yunike Putr, Rizca dan Wafiq Salsabilah.  “Kekuasaan Dalam Ranah Kajian Politik dan Organisasi.” Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Vol. 2, No. 1, Juni 2022.

4. Internet

Ansis, Leonardus. “Praktik Demokrasi dalam Gereja Katolik dan dalam Kelompok Umat Basis”, leonardusansis.wordpress.com, diakses pada 23 Oktober 2025.

Kerniawan Dua, Marselinus Eligius. “Demokrasi ala Katolik: Hadirkan Injil, Bangun Masyarakat Adil dan Bermartabat”, https://utusan.net/demokrasi-ala-katolik-hadirkan--injil-bangun-masyarakat-adil-dan-bermartabat, diakses pada 23 Oktober 2025.

Subarkah, Tri. “Bawaslu RI Ungkapkan ada 130 Kasus Politik Uang Pilkada 2024 Seluruh Indonesia.” Metrotvnews.com. 27 November 2024, https://-www.metrotvnews.com/-read/KYVCDLBq-bawaslu-ri-ungkap-ada-130-kasus-politik-uang-pilkada-2024-di-seluruh-indonesia, diakses pada 22 Oktober 2025.

Oleh: Sony Kelen, Romi Sogen, Rian Tap, Paul Tukan, Risal T. Wea dan Piu Ngey 


Post a Comment for "Partisipasi Politik Warga Katolik dalam Ruang Demokrasi di Indonesia - Nerapost"