Menilik Perilaku Korupsi Aparatur Negara di Indonesia dalam Terang Ensiklik Sollicitudo Rei Socialis - Nerapost
(Sumber gambar: ngopibareng.id)
Prolog
Pemerintahan
dan setiap urusan yang dijalankan di dalamnya merupakan hal yang sangat penting
bagi kelangsungan suatu negara. Segala urusan tersebut tentunya tidak berjalan
otomatis tetapi dikerjakan oleh sumber daya manusia, yang lebih dikenal dengan
aparatur pemerintahan. Hal ini membuat setiap aparatur memiliki peran krusial
bagi negaranya. Aparatur pemerintahan diberi mandat serta tanggung jawab oleh
negara dan rakyat untuk mengatur urusan pemerintahan yang telah menjadi tugas
dan fungsinya masing-masing. Sudah merupakan sebuah keharusan bagi setiap
aparatur pemerintahan untuk bisa menjalankan semua kepercayaan yang telah
diberikan kepada mereka dengan baik dan penuh integritas. Menjadi suatu masalah
yang fatal apabila para aparatur pemerintahan atau birokrat menunjukkan
perilaku yang menyimpang dari ketentuan tugas dan kewenangan yang telah diatur
dalam perundang-undangan karena akan menghambat proses penyelenggaraan
pemerintahan.[1]
Aparatur
pemerintahan tidak bisa hanya menuntut hak dan kenyamanan, seperti upah atau
insentif yang semakin besar, tetapi kinerja dan kewajibannya pun harus
diperhatikan dan dijalankan dengan baik. Selain itu, pemerintah pun harus
profesional dengan mengedepankan kepentingan masyarakat dan bangsa di atas
kepentingan diri sendiri. Aparatur pemerintahan merupakan pelayan masyarakat.
Menjadi sebuah kewajiban bagi setiap aparatur pemerintahan untuk bekerja dengan
benar karena banyak masyarakat menaruh harapan pada mereka untuk mewujudkan
pemerintahan yang lebih baik di masa mendatang. Negara-negara yang pilar-pilar
demokrasinya tidak bekerja secara optimal, tidak memungkinkan pencapaian
kualitas pelayanan publik yang lebih baik. Bahkan sebaliknya, pelayanan publik
tanpa “Proses Politik yang Demokratis” cenderung membuka ruang bagi
praktik-praktik Korupsi, Kolusi dan Nepotisme yang berujung kepada penyakit
baru di Pemerintahan.[2]
Salah
satu kasus korupsi yang menghebohkan Indonesia di tahun 2020 yakni kasus
korupsi yang menjerat mantan Menteri Sosial Juliari Batubara. Batubara menjadi tersangka
kasus dugaan suap bantuan sosial penanganan pandemi Covid-19 untuk wilayah
Jabodetabek tahun 2020. Batubara merupakan kader PDIP yang hanya menjabat
14 bulan sebagai menteri sosial. Kerugian negara yang dilakukan oleh Batubara
mencapai 14,5 miliar. Atas dasar itu, Batubara dijerat 12 tahun penjara dan
denda 500 juta.[3]
Polemik ini sebagai tanda bahwa aparatur negara bukan lagi menjalankan tugas
atas nama rakyat dan untuk kepentingan rakyat melainkan menjabat untuk
kepentingan pribadi. Kasus korupsi yang dilakukan oleh Juliari Batubara membuat
masyarakat miskin semakin menderita. Rasa sosialis terhadap sesama teristimewa
kepada mereka yang sangat membutuhkan sangatlah rendah. Efek lanjutan dari
kasus ini, kepercayaan dari masyarakat kepada aparatur negara mengalami
penurunan. Karena mereka melihat bahwa kasus-kasus korupsi skala besar sering
kali dilakukan oleh aparatur negara. Atas dasar itu, penulis menelaah praktik
korupsi yang dilakukan oleh aparatur negara dalam terang ensiklik Sollicitudo
Rei Socialis.
Mengenal
Ensiklik Sollicitudo Rei Socialis
Sollicitudo
Rei Socialis (SRS) merupakan ensiklik atau Ajaran
Sosial Gereja yang ditandatangani oleh Paus Yohanes Paulus II pada tanggal 30
Desember 1987 dan dipublikasikan pada tanggal 17 Februari 1988. SRS masuk dalam
kategori Ajaran Sosial Gereja (ASG) yang berisi seruan moral dan ajakan untuk
mengawal perkembangan hidup bersama dan dunia. Persoalan tentang pelanggaran
hak-hak asasi manusia yang disertai kekerasan, fenomena maraknya gerakan
radikal yang mengatasnamakan gerakan keagamaan, korupsi yang sangat masif, dan
dendam antar kelompok yang diikuti upaya-upaya saling menyerang dan menjatuhkan
merupakan tanda lemahnya solidaritas yang mengancam perdamaian. Kekerasan dalam
segala bentuknya bertentangan dengan nilai-nilai penghargaan terhadap martabat
manusia dan kerinduan setiap manusia untuk mengalami hidup bersama yang damai.
Dua tema penting yang diangkat dalam SRS adalah solidaritas dan perdamaian.[4]
Konteks
penulisan ensiklik SRS yakni sebagai panggilan dan perutusan Gereja untuk
terlibat membangun dunia yang lebih luas serta tanggung jawab Gereja untuk
mengawal dan memberi arah perkembangan atau pembangunan dunia sebagaimana yang
dijelaskan dalam Populorum Progressio.[5]
Ensiklik SRS ditulis dalam rangka peringatan 20 tahun Ensiklik Populorum
Progressio (PP) yang ditulis oleh Paus Paulus VI. PP berbicara mengenai
pembangunan manusia dan harapan untuk kemajuan dunia. PP merupakan penjelasan
dan penegasan ajaran Konsili Vatikan II, terutama yang tertulis dalam Gaudium
et Spes, mengenai kehidupan manusia di tengah dunia, Pembangunan manusia
harus dilaksanakan secara utuh dan menyeluruh. Secara khusus PP menegaskan
bahwa pembangunan Bangsa-Bangsa harus memberi perhatian pada pembebasan manusia
dari kelaparan, kesengsaraan (miskin), penyakit dan kebodohan.[6]
Lalu bagaimana solidaritas yang dimaknai dalam Sollicitudo Rei Socialis?
Makna Solidaritas dalam Ensiklik Sollicitudo Rei Socialis
Solidaritas
dimaknai sebagai tekad yang teguh dan tegar, mengabdikan diri, kebaikan
bersama, dan bertanggungjawab atas semua. Solidaritas berarti tekad dan
keterlibatan setiap pribadi untuk mewujudkan kebaikan bersama (bonum commune). Solidaritas diwujudkan
dalam tanggungjawab dan tindakan sosial yang berorientasi pada terwujudnya
kebaikan bersama di tengah masyarakat. Solidaritas merupakan sikap dasar setiap
pribadi sebagai makhluk sosial yang memiliki martabat yang sama sebagai ciptaan
Allah. Setiap pribadi merupakan saudara bagi sesama manusia.[7]
Kerja sama dan solidaritas sosial menjadi perwujudan nyata ketaatan manusia
pada Allah Sang Pencipta untuk terus-menerus memelihara alam dan mengelola
anugerah kehidupan ini secara bertanggungjawab. Keyakinan akan Allah, pencipta
segala makhluk, menjadi dasar bagi pengembangan kerja sama dan solidaritas
antar pribadi dan bangsa sehingga solidaritas tidak dimengerti secara pragmatis
yang cenderung mengabdi pada pemenuhan egoisme manusia.
Dalam
iman Kristen, solidaritas manusia bersumber dari keyakinan akan solidaritas
Allah yang telah mengutus Putra-Nya untuk menyelamatkan manusia. Setiap pribadi
mengemban tugas, amanat, dan tanggung-jawab mengembangkan hidup bersama sebagai
wujud nyata keterlibatan pada rencana dan program Allah untuk mewujudkan
keselamatan dan damai sejahtera bagi dunia. Solidaritas merupakan tuntutan
hidup bermasyarakat yang didasarkan pada solidaritas kasih Allah pada manusia
dan bukan sekedar sebuah sistem sosial atau ideologi politik tertentu.[8]
Solidaritas merupakan dasar untuk mewujudkan hidup dan pelayanan kasih, rekonsiliasi
dan persahabatan. Solidaritas itu terarah pada amor praeferentialis pro
pauperibus atau kasih yang mengutamakan orang-orang miskin.[9]
Lalu bagaimana ensiklik Sollicitudo Rei Socialis melihat praktik korupsi
yang dilakukan oleh aparatur negara di Indonesia?
Menilik
Praktik Korupsi Aparatur Negara Indonesia dalam Ensiklik Sollicitudo Rei
Socialis
Berbicara
mengenai tindak pidana korupsi sudah menjadi hal yang tidak asing dalam retorika
kehidupan berbangsa dan bernegara, hal tersebut telah menjadi persoalan klasik
yang sudah lama eksis. Khususnya di Indonesia, korupsi telah menjadi bak budaya
(culture) yang mana sampai saat ini
masih menjadi salah satu penyebab buruk dan terpuruknya sistem perekonomian
bangsa ini yang mana hal tersebut terjadi secara sistemik dan meluas dampaknya
sehingga tidak hanya merugikan perihal kondisi keuangan negara saja tetapi juga
telah sampai pada tahapan melanggar hak-hak sosial dan ekonomi secara luas. Permasalahan ini
yang amat serius dan masuk pada ranah masalah global antar negara, korupsi juga
tergolong pada kejahatan transnasional lebih dari itu karena implikasi buruk
multidimensi kerugian ekonomi serta keuangan bagi suatu negara yang sangat besar,
oleh karena itu korupsi dapat digolongkan pada extra-ordinary crime
(kejahatan luar biasa) sehingga sangat perlu untuk diberantas. Pemberantasan
korupsi sendiri haruslah menjadi agenda prioritas dari pemerintah.[10]
Pandemi
Covid-19 telah melumpuhkan sistem negara di berbagai belahan dunia. Pengaruh
pandemic covid-19 juga turut dirasakan oleh negara Indonesia Akibat dari hal
tersebut, telah melumpuhkan berbagai sektor dari mulai ekonomi, sosial,
kesehatan, pendidikan dll. Di tengah situasi yang semakin sulit ini, maka
dibutuhkan upaya ataupun langkah strategis dari pemerintah guna melakukan upaya
penanganan yang sifatnya menyeluruh (komprehensif) dalam menghadapi keadaan
pandemi ini. Pemerintah pun merespons dengan mengeluarkan berbagai kebijakan
seperti kebijakan terkait dengan memberikan bantuan sosial terhadap masyarakat.[11]
Namun hal ini, menjadi bumerang bagi aparatur negara, di mana keadaan ini sebagai
momen untuk menguntungkan kepentingan pribadi. Kasus dugaan suap yang menjerat
Mantan Menteri Sosial Juliari Batubara yang mengakibatkan kerugian negara 14,5
miliar. Kerugian ini berimbas pada masyarakat miskin. Mereka yang sebenarnya
mendapatkan bantuan negara malah diambil oleh aparatur negara yang rakus.
Berdasarkan
polemik korupsi tersebut, penulis melihat bahwa tawaran dari Ajaran Sosial
Gereja dalam ensiklik Sollicitudo Rei Socialis sangat relevan untuk
memberikan penyadaran terhadap setiap pribadi manusia tentang urgensi sosial
dalam negara. Setiap pribadi manusia memiliki tanggung jawab sosial terhadap
satu sama lain. Dampak pandemi Covid- 19 sangat dirasakan oleh masyarakat
menengah ke bawah. Mereka sangat membutuhkan bantuan dan jiwa sosial dari yang
lain untuk membantu dan memenuhi kebutuhan hidup mereka. Sollicitudo Rei
Socialis memberi arah dan sekaligus menyadarkan mereka yang ada dalam
sistem pemerintahan untuk selalu memperhatikan kepentingan umum. Penyadaran
yang dimaksud di sini yakni, refleksi kritis terhadap situasi. Sikap kritis
juga perlu dibarengi dengan sikap moral yang baik.
Kepekaan
moral yang baik akan menghantar pribadi manusia khususnya aparatur negara untuk
selalu mengutamakan kepentingan umum. Dalam konteks ini, aparatur negara
dipanggil untuk menjalankan tugas mulia. Tugas ini tentunya perwujudan sikap
sosial yang tinggi terhadap sesama. Sikap sosial mampu menghantar negara pada
keterarahan pembangunan yang baik. Hemat penulis, ensiklik Sollicitudo Rei Socialis sebagai
tawaran yang baik guna meminimalisir kasus korupsi di Indonesia yang terus
masif. Penyadaran akan pentingnya sikap peduli terhadap sesama sebagai jawaban
pasti untuk memberantas kasus korupsi di Indonesia.
Epilog
Sollicitudo
Rei Socialis merupakan Ajaran Sosial Gereja yang
menekankan pentingnya sikap sosial terhadap sesama sebagai perwujudan panggilan
gereja terhadap dunia. Hal ini menjadi urgen bila melihat kasus korupsi yang
terjadi di Indonesia yang terus menjamur. Korupsi terjadi disebabkan oleh sikap
peduli terhadap sesama sangat rendah. Guna meminimalisir kasus korupsi yang
terus menjerat aparatur negara diperlunya sikap sosial dan kepekaan moral yang
baik. Kepekaan moral dapat membantu sekaligus mengarah proses pembangunan
bangsa ke arah yang lebih baik.
Paus Yohanes Paulus II,
menandatangani SRS ini sebagai bentuk respons terhadap berbagai kasus yang
terjadi di pelbagai belahan dunia. Ensiklik ini juga sebagai mediasi yang baik
guna untuk meningkatkan kesadaran setiap aparatur negara bahwa rasa peduli
terhadap mereka yang miskin sangat penting. Panggilan pribadi manusia selalu
mengarah pada kebaikan bersama. Kebaikan inilah yang membentuk sekaligus
menghidupi tatanan negara sehingga menghantar warga negara pada kesejahteraan
bersama. Hal ini juga serentak dimaknai sebagai perwujudan
panggilan Allah dalam dunia.
[1] Irfan Setiawan
dan Chritin Jesaja, “Analisis Perilaku Korupsi Aparatur Pemerintah Di Indonesia
(Studi pada Pengelolaan Bantuan Sosial Di Era Pandemi Covid-19),” Jurnal
Media Birokrasi, 4:2 (Bandung: Oktober 2022), hlm. 34.
[2] Ibid.
[3] Wahyuni Sahara,
“Awal Mula Kasus Korupsi Bansos Covid-19 yang Menjerat Juliari hingga Divonis
12 Tahun Penjara”, dalam kompas.com, https://nasional.kompas.com/read/2021/08/23/18010551/awal-mula-kasus-korupsi-bansos-covid-19-yang-menjerat-juliari-hingga-divonis,
diakses pada 17 April 2023.
[4] CB. Mulyatno,
“Solidaritas dan Perdamaian Dunia dalam Sollicitudo Rei Socialis,” Jurnal
Teologi, 4:2 (Yogyakarta: November 2015), hlm. 121.
[5] Ibid.,
hlm. 122.
[6] Ibid.,
hlm. 124.
[7] Ibid.,
hlm. 126.
[8] B. Kieser, Solidaritas:
100 Tahun Ajaran Sosial Gereja (Yogyakarta: Kanisius, 1992), hlm. 181.
[9] Krispurwana Cahyadi, Yohanes Paulus II: Gereja Berdialog (Yogyakarta: Kanisius, 2011),
hlm. 127.
[10] Engkus, dkk, “Dampak
Masif Korupsi Terkait dengan Penyalahgunaan Anggaran di Masa Pandemi Covid-19”,
Dinamika: Jurnal ilmiah Ilmu Administrasi Negara, 9:1 (Bandung: April
2022), hlm. 38.
[11] Ibid.,
hlm..39.

Post a Comment for "Menilik Perilaku Korupsi Aparatur Negara di Indonesia dalam Terang Ensiklik Sollicitudo Rei Socialis - Nerapost"