Surat untuk Enu Bergigi Ginsul
Ijikan aku menjahit kata-kata yang cukup sederhana untuk mewakili rasaku
untuk enu yang bergigi ginsul. Kata-kataku tidak sepuitis mantan-mantanmu yang
penuh idealis. Mungkin ini cukup konyol bagimu. Mengapa tidak, aku tak cukup
nyali menulisnya secara langsung pada branda akun FB dan WhatsAppmu.
Salam hangat untukmu enu.
Tidak terasa perkenalan kita sudah mencapai usia yang cukup tua. Kira-kira 6 tahun. Aku masih ingat saat kita berjumpa pertama kali. Saat kita mengikuti pesta wisuda anaknya Om Polus. Saat itu, aku mengambil tempat duduk tepat di depanmu. Kira-kira dijejeran kursi yang kedua. Sampat aku berniat untuk mengambil tempat, tepat di sampung. Tetapi aku malu dengan enu.
Aku masih ingat jelas, saat engkau bercerita dengan Martha perihal jomblomu yang
berkepanjangan. Saat lelaki datang untuk mau berkenalan denganmu. Dari sekian
banyak yang datang tidak ada satu pun yang cocok denganmu. Aku hanya tersenyum,
tanpa dengan berani menoleh kearahmu. Sesekali aku mencuri padang, sesekali itu juga engkau pandai bersembunyi
di antara para undangan yang hadir. Senyummu yang begitu menawan memperlihatkan
gigi ginsulmu membuat aku secepat waktu mau berkenalan denganmu.
Masih ingatkah, saat kita
berantrian menuju meja hidangan. Aku bangun dari tempat duduk sambil menoleh ke
arahmu. Sama-sama berbaris sampil mencari ekor mata kita masing-masing. Saat engkau
pulang, engkau tidak sengaja menjatuhkan sendok makanku. Aku malu sekali pada
waktu itu. puluhan kata maafmu meluluhkan rasa kesalku. Tahukah kamu, puluhan
kata maafmu kini aku membalasnya dengan beribu kata cinta untukmu.
Aku tidak berani mengukapnya secara
jelas dan tegas di hadapanmu. Aku takut ceritamu, tentang jomblo itu hanya
permainan kata pada mulutmu. Aku masih ingat saat engkau memberanikan diri
untuk mengajak aku berdansa. Aku cukup kaget, karena aku tidak menyangka bahwa
engkau seberani itu. Dengan percaya diri aku menerima permintaanmu, tanpa sadar
aku tidak bisa berdansa. Anehnya,
bukanya engkau mengakhiri goyang dansa tersebut, tetapi engkau malah melatihkan
aku untuk meliuk sepi pada punggungmu.
Ada sekian banyak cerita dan kisah
yang telah kita rajut. Sampai pada akhirnya aku memberanikan diri untuk
mengutarakan rasaku “Aku mencintamu sebelum sendok menyapa lantai pesta.
Sebelum music dansa memainkan perannya, maukah engkau menjadi kekasihku?”. Aku
berpikir engkau menolak rasaku, tetapi malah engkau menerimanya dengan rasa
gembira tergurat jelas pada keningmu. “Bolehkah aku mencium keningmu?”, engkau
tersenyum. Pratanda permintaanku diterima baik olehmu. Ini pertama kali aku
jatuh cinta dan mengecup kening seorang wanita.
Kita berjalan bersama waktu yang
setia melukis kenangan pada senja.
Sampai akhirnya engkau memutuskan untuk melanjutkan sekolah keperawatan di
tanah Jawa. Aku tahu, itu bukan keinginanmu, melainkan keinginan orang tua dan
saudara-saudaramu. Melepasmu bersama jarak cukup berat bagiku. Aku harus mulai belajar mengemas mimpi
bersama waktu dengan seorang diri. Cukup sulit enu!.
Pertemuan kita yang terakhir 2
minggu lalu, melalui videocall merupakan awal rasa benciku. Aku telah menaruh
rasa kepercayaan padamu, sampai akhirnya engkau pergi tanpa alasan yang jelas.
Aku menghubungimu lewat WhatsApp tetapi engkau selalu menolaknya. Aku tahu ini
akhir dari cerita kita. Rasa curigaku semakin menjadi dan pada akhirnya
terbongkar oleh caramu sendiri. Engkau tidak cukup lihai membuat privasi pada Story
WAmu. Sehingga foto kekasih selingkuhanmu kian tersebar sampai padaku.
Aku menulis ini, sebagi tanda
terimakasihku telah menghadirkan pelajran bagiku. “Jangan terlalu percaya pada
jarak dan lebih tragisnya jangan gampang percaya pada kata-kata manis wanita.
sekali kamu percaya, saat itu juga pandailah memintal benang-benang rasa
kecewamu”. Singkatnya, hubungan kita selesai di sini.
Terimakasih banyak enu bergigi ginsul.
Salam,
Rinus mantanmu.
Post a Comment for "Surat untuk Enu Bergigi Ginsul "