Pejuang Sarjana dari Seberang || Cerpen BD
“Nak engkau
harus kuliah di tanah Jawa. Pokoknya engkau harus mengambil jurusan Manajemen Bisnis”, kata ayahku yang masih sibuk membuka celengannya. Celengan
yang terbuat dari bambu yang usianya sudah tua. Mungkin sudah seumuran dengan
usiaku. Ayah mulai menabung sejak aku masih dalam rahim ibu. Ayah tahu betul
tentang masa depan anaknya. Tekadnya yang membakar semangat juangnya
untuk mencari rupiah, lalu sebagiannya ia simpan dalam celengan itu. Celengan
itu ia sembunyikan di bawah kolong lemari. Tak ada yang tahu. Hanya dirinya dan
komitmennya yang tahu. Ibu juga tidak.
Ia masih sibuk
membuka celengan itu, sedangkan ibu masih berjualan di pasar. Satu persatu uang
keluar dari dalam celengan itu. “Ayah, langsung belah saja”, kataku. Tetapi ayah
menggelengkan kepala. Tanda penolakan atas usulanku. Tangannya masih sibuk
menarik uang dan mulutnya mulai berkata-kata “Nak, jangan dirusakin. Bukan
hanya engkau yang membutuhkan ini tetapi adik-adikmu juga”. Aku langsung tunduk
mendengar perkataan ayah. Seketika itu juga aku sadar bahwa masih ada
adik-adikku yang membutuhkan pendidikan yang sama.
Baca juga: Wanita-yang-Rapuh
***
Aku langsung
berdiri dan bergegas ke kamar. Di kamar aku duduk merenung tentang perjuangan
ayah dan ibu. Betapa besar cinta yang mereka miliki. Mereka harus hidup hemat
demi menyekolahkan kami. Bahkan pakaian ayah dan ibu begitu-begitu saja. Sudah empat
tahun, aku tidak pernah melihat mereka membeli pakaian baru. Ternyata ayah
menabung semua uangnya untuk kami. Aku mulai meneteskan air mata “Apakah aku
sanggup menyelsaikan apa yang mereka impikan. Ataukah aku hanya sebagai anak
yang tak tahu diri dan hanya menghabiskan uang mereka”.
Aku terus bergumul dengan itu. Impian
ayah terlampau besar. Impian yang bukan hanya menguraskan tenaga dan pikiranku tetapi lebih dari itu kuliah ambil manajemen bisnis itu sulit dan mahal. Apakah mereka
sanggup?. Kalaupun mereka sanggup, mereka tetap menjadi orang paling miskin di
kampung ini. Rumah yang sudah mulai miring. Atap-atapnya mulai bolong. Ayah membiarkan
itu semua demi kami. Setiap kali aku memikirkan itu, air mataku berjatuhan. Apalagi
melihat ibu yang sudah mulai sakit-sakitan. Dalam kebingungan itu aku terus
berdoa untuk mereka “Tuhan berikan mereka kesehatan jiwa dan raga”.
***
Setiapkali aku
melihat mereka di meja makan, hatiku terasa iba. Ayah dan ibu makan seadanya. Tetapi
mereka tetap kuat. Setiap hari mereka ke ladang. Di sana mereka hanya merawat
dua pohon cengkeh dan ubi singkong. Pokoknya keluarga kami hanya mengandalkan
dua pohon cengkeh itu. Sedangkan ubi singkong tidak terlalu berharap. Sebab babi hutan terus merusaknya.
Akupun berangkat
ke tanah Jawa. Saat berpamitan dengan ayah dan ibu, air mataku terus menetes. Aku
harus meninggalkan mereka dan pergi ke tempat yang baru. Aku melihat ayah yang
tuduk. Aku tahu ia menyembunyikan air matanya. Tetapi ia berusaha tegar dan
kuat. Ibu dan kedua adikku juga ikut menangis. Pada saat aku berangkat dari
dermaga menuju kapal, ayah berkata “Nak, aku tunggu ijazah sarjanamu. Jangan pikir
soal uang, itu tanggung jawab ayah”. Aku tak mampu menahan air mata. Aku langsung
memeluk ayah. Aku tak sanggup menoleh ke ayah. Hatiku terasa berat dan beban meninggalkan
mereka. Pada saat aku sampai di pintu kapal, ayah berteriak “Cengkehmu masih
berbuah lebat”. Aku tahu makna di balik kata itu.
Baca juga: Nadia-Cemburu-pada-Tuhan
***
Aku yang
datang dari kampung yang tak tahu tentang situasi kota seperti apa. Apalagi yang
namanya lift dan escalator. Aku hanya bermodalkan nekad untuk terus belajar
dengan hal-hal yang baru. Aku menjalankan perkuliah manajemen dengan enjoy,
tanpa beban. Apalagi aku cukup pandai dalam menghitung. Tak ada hambatan dalam
biaya perkuliahan semuanya lancar. Mungkin benar kata ayah “Cengkehku di kampung
masih berbuah lebat”. Singkat cerita aku dapat meraih titel sarjana dengan
nilai yang memuaskan. Ayah dan ibu
sangat bangga.
Aku kembali ke
kampung dengan membawa ijazah sarjana. Sesampainya di rumah. Aku kaget. Rumahku
yang dulu kini sudah berubah menjadi gedung besar dan megah. Lalu aku masuk dan
menanyai penajaga gedung itu “Pak, bukankah ini dulu tanah dari pak Waksono?. Penjaga
itu menjawab “Benar dek. Tetapi tanah ini sudah ia jual”. Aku menangis mendengar perkataan dari penjaga
itu. Aku kembali mencari ayah dan ibu. Dalam benakku pasti mereka pindah ke
kebun itu.
***
Aku berlari
menuju kebun. Benar, kedua adik masih bermain di bawah pohon jambu. Aku langsung
menuju gubuk reot itu, ayah dan ibu masih berbaring di atas pelepah bambu. Aku langsung menangis dan
memeluk mereka. Perjuangan ayah dan ibu sungguh luar biasa. Mereka harus
mengorbankan segalanya demi aku. Ayah hanya tersenyum memandangku.
Kata pertama yang ia ucap “Selamat Siang pak Wayan”. Air mataku kembali menangis untuk kedua kalinya. “Kami bangga denganmu, nak. Pakailah ijazahmu untuk masa depanmu. Jangan pikir lagi tentang tanah itu. kami bahagia tinggal di sini pak Wayan”.
Post a Comment for "Pejuang Sarjana dari Seberang || Cerpen BD"