Tungku Api Ibu || Cerpen BD
(Sumber gambar: www.holla.nl)
Sinar tamaran kembali setia
memunggungi senja di ujung timur. Hujan terus saja membasahi bumi. Kira-kira
sudah beberapa ia datang tak henti-hentinya. Aku dan ibu sibuk mengupas kaya api
yang masih basah, hasil carian kami kemarin siang. Sebab tak ada lagi kayu
kering yang kami miliki untuk memasak. Nak, angkat kayu itu, bawah ke dalam,
kata ibu.
Pondok tua yang kami tinggal tak ada
ruang tamu. Tunggu dan tempat tidur berdekatan. Tak ada meja makan, apa lagi
meja tamu. Ibuku yang usianya kian rentan termakan detikan waktu, masih sibuk
meliuk sepi pada tungku yang belum jelas hendak memasak apa. Apakah memasak
nasi ataukah hanya mau menghangatkan badan yang terkuras oleh angin sore.
Rambut putih sudah penuh dan
mengalahkan populasi si hitam pada kepalanya. Wajah yang mengkerut menjawabi
waktu yang tak akan lama lagi, ibu pergi. Hilir mudik menyodorkan kayu bakar
pada tungku, agar api tetap menyala. Sampai pada akhirnya ia tidak menyadari
bahwa bukan kayu lagi yang ia sodorkan melainkan tangannya sendiri.
Ibu menjerit kesakitan. Tetapi tidak
mematahkan semangatnya untuk menyajikan
makanan yang terbaik pada malam itu. Tak ada keluh. Tak ada protes. Ia
selalu tersenyum pada tungku dan periuknya. Ia percaya sajiannya malam itu yang
terbaik. Sarung kumal yang setia menemani tubuh, membungkus sekian sejuta
kehangatan.
Setiap kali aku pulang bermain dari
tanah lapang. Ibu selalu setia menunggu pada tungku. Sesekali ia meniup api
agar tetap menyala. Anehnya, tak jarang ia menunggu pada tungku yang kosong.
Tak ada api dan masakan. Aku pernah mencoba mengintipnya dari balik pelepah
dinding, pada mulutnya selalu bergerak tetapi ada suara. Mungkin ibu sedang
meritualkan tungku ataukah ibu sedang berdoa kepada ayah agar memberi sesuatu supaya
ia bisa memasak pada saat itu. Entahlah.
Kayu api yang masih mentah dan basah
cukup sulit bagi ibu menyalakan api. Hari itu, ibu menanak nasi pada periuk
yang sudah tua. Buka-tutup periuk adalah caranya menyaji kasih pada nasi yang
kian matang.
“Nak, mari makan?” panggil ibu yang
masih berusaha membuka tutup periuk. Aroma masakan sudah tercium, memanggilku
untuk segera mencicipi masakan ibu. aku yang sedari tadi sibuk menjahit
celanaku yang bolong peninggalan ayah, langsung meliuk tunggu. “Nak, kita
langsung makan di periuk saja, dan kita makan pakai tangan. Tidak ada piring
dan sendok, nak.”
Kami melahap nasi tanpa sisa.
Meskipun kami makan nasi raskin yang baunya amat kental. Namun tak dapat
membendung kebahagian kami malam itu. Sambil makan, ibu berkata “Nak, kita
makan dengan garam saja, ibu tadi lupa memetik daun singkong yang di tanam
ayahmu di kebun.” Ayahku hanya
meninggalkan kami dengan beberapa pohon ubi singkong.
Pada saat yang sama, aku menoleh pada
isi tong beras, rupanya sudah habis. Dalam benak aku bertanya “Besok kita makan
apa?” Apakah malam ini yang terakhir
kami merasakan makan nasi. Ubi singkong di kebun setidaknya sudah
berisi, tetapi babi hutan telah menghabiskannya.
Lalu aku mencoba bertanya pada ibu
“Besok kita makan apa?” Ia hanya menjawab dengan senyum. Setelah itu, kami diam
membisu, menatap remah-remah nasi yang masih tersisa pada periuk. Sesekali ibu,
mengambilnya, dan memakannya. Lalu ibu berkata “Nak mengapa engkau risau \kan
hari esok. Perkara hari esok biarlah kita selesaikan hari esok. Jangan pikirkan
itu. coba kamu lihat burung-burung, apakah mereka pernah berpikir tentang
makanan. Tidak nak.”
Aku pun meneteskan air mata. Aku amat
terharu kata-kata ibu. Seketika itu jaga aku
memeluknya dan membiarkan air mataku membasahi rambutnya. Dalam pelukan
itu, Ibu berkata lagi “Nak, kamu pernah mendengar cerita dalam Kitab Suci tentang
Janda di Safat, ia tidak mempunyai apa selain tepung roti yang hampir habis.
Karena ia percaya pada Tuhan. Ia pun dicukupi oleh Tuhan melalui nabi yang
mengunjunginya.”
Percayalah, tungku ini tidak akan padam selagi kita percaya pada Tuhan. Serta menyerahkan segala resah pada-Nya. Pada saat itu juga aku menyadari bahwa bukan hanya beras yang ibu masak, tetapi ia juga menanak kasihnya untuk aku. Pada sajian ibu akan selalu ada kasih dan sayang. Aku pun kembali meniduri malam dengan rasa kenyang sajian kasih dari seorang ibu.
Post a Comment for "Tungku Api Ibu || Cerpen BD"