Valentinus Ternyata Seorang Pastor || Cerpen BD
(Sumber gambar: koransulindo.com)
Mencintai dan menyukai lawan jenis merupakan hal yang paling lumrah bagi setiap individu. Kadang rasa cinta membuat kita berada pada badai lupa diri. Berusaha sedemikian mungkin untuk mendapatkan apa yang diinginkan oleh rasa. Bisa dikatakan rasa turut membabi-butakan asa. Tiga tahun yang lalu, aku mengenal Valentinus di saat hendak ke pasar.
Kami sama-sama menggunakan angkutan umum. Di sini aku mengalami objek yang meracuni retina mataku. Aku selalu salah
tingkah di saat ia mencuri pandang di sela-sela penumpang yang lain. Situasi dalam
angkot membuat aku memberanikan diri untuk berkenalan dengannya. Deruan dan
dentuman music bomastis miter loba-loba,
menambahkan suasana romantika awal perkenalan kami.
“Kak, mau ke mana?” ia memalingkan muka
dan memandangiku dengan santun, sembari menjawab, “mau ke kota enu.” Hatiku kian gugup, di saat ia mengambil tempat di
sampingku. Aroma parfum AXMAN kian
merong indra ciumku. Tatapan mata sayunya membuat aku berlalang buana mencari
tempat singgah yang pasti. Aku jatuh cinta padanya. Canda tawa dalam angkot
dengan gelitik kritis khas biarawanya membuat rasaku semakin menjadi-jadi.
Singkat cerita,
pada saat itu kami saling menukar nomor telepon. Di saat itu juga kami berpisah
di tengah kerumunan orang banyak yang hilir mudik keluar-masuk pasar. Ini mungkin
perjumpaan yang terakhir dengan Valentinus, karena melihat tipe muka dan
kulitnya dia bukan orang dari daerahku.
Saling kabar
dalam via media adalah cara kami melepas rindu. Rindu bercanda dalam sebuah
angkot di saat kami awal jumpa. Setiap hari kami selalu memberi kabar. Serta yang menjadi rutinitas kami adalah
menanyakan tentang perihal makan.
Jujur, aku sudah
menaruh rasa padanya. Aku hendak mengutarakan isi hatiku kepada Valentinus,
tetapi aku belum percaya diri meskipun aku baru menyelesaikan pendidikan manajemen di sebuah kampus ternama. Aku
membiarkan Valentinus yang memulainya. Aku selalu memberinya sinyal-sinyal
rasa, namun pacaran tower cinta itu
tidak mampu membendung primitif topografi rasa dari Valentinus. Apa mungkin ia
tidak menyukaiku? Ataukah ia sudah
mempunyai bahtera?
Lambat-laun, Valentinus semakin mati rasa. Ia selalu membiarkan aku
untuk bertingkah renyah di hadapannya. Aku semakin frustrasi, apakah harus aku
yang memulai? Di suatu sore, sebelum awan menyulam resah, aku telah
mengumpulkan tekat dan niat untuk mengutarakan rasaku pada Valentuinus. Dalam pesan messanger kepada Valentinus, aku menulis seperti ini;
“Selamat
sore kak,
Aku minta maaf, mungkin pesan ini amat mengganggu
kakak.
Mungkin ini cukup sembrono bagi kak, tetapi
aku perlu jujur, aku jatuh cinta dengan kakak.
Kak, mau jadi pacarku?”
Hatiku semakin
gelisah karena pesan itu tidak ditanggap oleh Valentinus. Aku semakin gugup
dengan prasangka yang aku ciptakan. Bagaiman kalu ia menolaknya?
Tepatnya setelah
makan malam, aku membuka messanger
dan mendapatkan balasan Valentinus. Namun balasan dari Valentinus bukan dengak
kata-kata melainkan dengan emoticon ketawa yang jumlahnya tak terhitung. aku
malu sejadi-jadinya. Baru kali ini,
sejarah terpatri jelas dalam hidupku bahwa pertama kali menembak laki-laki dan
ditolak. Ini catatan hitam dalam kenang.
Rasa benciku
kian menyelimuti diri. Harga diri sebagai pegawai bank kini dibanting oleh Valentinus.
“Apa sih kurangnya aku?” gumamku.
Tidak ada
jawaban yang pasti dari Valentinus. Tetapi ia selalu memberikan kabar, bahkan ia juga sering
datang ke rumah dan bercerita dengan kedua orang tuaku. Aku semakin terpukau,
dengan caranya bertutur. Ia sangat berwibawa dan cerdas. Segala topik ia kupas
tuntas melunas.
yang membuat
orang tuaku semakin setuju dengannya adalah bagaiman ia memberikan motivasi
rohani kepada kedua orang tuaku. Aku semakin meleleh dengan petuah akhir dari
orang tuaku, “Nak, engkau harus nikah
dengannya. Dia orang baik.” Aku hanya tersenyum. Mereka tidak tau, aku
pernah ditolaknya.
Satu hal yang menarik dari Valentinus adalah pesan singkat di saat aku hendak membaring raga pada tapal malam. Ia selalu mengirim pesan dengan bertuliskan; enu, jan lupa berdoa. Aku semakin mencurigai Valentinus. Rupanya ia bukan orang biasa. Aku mengujinya pada suatu malam.
Aku mengirim pesan padanya, “Kak tolong
datang ke rumah, aku sendirian di sini. Bapa dan mama pergi ke kampung ada
urusan adat.” Valentinus hanya menjawab; maaf enu, saya lagi sibuk. Kalau ia memang laki-laki biasa, pasti ia
datang. Apa lagi aku sendiri yang mengajaknya.
Identitas Valentinus
kian terbongkar. Kalau memang ia seorang biarawan pasti ia bangun cepat besok
pagi. Aku menyetel aram tepat pukul 04:00. Aku bangun langsung dan meraih hp dan meneleponnya. Seketika itu juga, ia
langsung mengangkat teleponku. Aku membuka pembicaran dengan pertanyaan, “kk, sudah bangun k?” ia pun menjawab, “sudah
dari tadi enu. Ini saya baru selesai mandi.”
Kecurigaanku
semakin menjadi, lalu saya bertanya lagi “kak
tolong jawab? Apakah kak seorang frater
ataukah pastor?” Ia hanya ketawa dari balik telepon. Lalu Ia bertanya,
mengapa “enu bertanya seperti itu?”
aku menjawab, karena hanya merekalah yang bangun pagi secepat ini.
Ia tidak menjawab, seketika itu juga ia mematikan teleponnya dan mengirim pesan singkat “enu, sebentar baru saya telepon dan kalau enu mau tahu siapa saya, jam 09:00 sebentar datang misa dan bertemu dengan saya.”
Aku sibuk
menyiapkan diri dengan dandan yang anggun. Setidaknya dapat mematikan tatapan
dari Valentinus. Barisan Misdinar kian rapi menuju altar suci. Semarak lagu
pembuka Mari Masuk Rumah Tuhan, menandai korban Kristus sudah mulai.
Tatapan kagum
pada barisan misdinar kini dimatikan oleh sosok seseorang yang berada di
barisan paling belakang. Aku amat kaget, dengan pakaian kasula dan stola putih
yang bermotif Manggarai yang dikenakan oleh Valentinus. Ia seorang pastor,
benar ia pastor. Aku mencoba menjinjit
diri agar pandanganku benar-benar jelas.
Ternyata ia
pastor, mengapa ia tidak pernah memberitahukan aku?, aku telah jatuh cinta
padanya. Pantasan ia menolak rasa ku, karena ia tahu masih banyak orang yang
mencintainya. tidak mungkin ia mendustakan sekian ribu cinta dengan cinta
seorang. Aku amat malu padanya. Setelah perayaan ekaristi aku langsung pulang
dan mengirim pesan kepadanya melalui messanger;
“sial, ternyata kak seorang pastor.”
Post a Comment for "Valentinus Ternyata Seorang Pastor || Cerpen BD"