Lomes Jarang Legang
https://www.google.com/search?q=gambar+seorang+pemain+caci&tbm=isch&ved=2ahUKEwibzoHTi4DvAhXzl-YKHQq6ATUQ2-cCegQIABAA&oq=gambar+seorang+pemain+caci&gs_
Perkenalkan namaku Ano. Tinggiku tidak seberapa. Kira-kira lebih tinggi dari gelas kaca dan lebih pendek dari “mok tilung”. Tetapi aku amat lihai bermain caci. Banyak orang yang memberi label dengan gelar yang aneh-aneh bagiku. Ada yang mengatakan “motor bowok”, ada juga yang mengatakan “mesin sensor anak reba terang”. Tetapi sebanarnya aku adalah “lalong jangar anak reba ngaet”.
Aku amat tenar di setiap sudut penjuru selain karena hebat bermain caci, aku juga pandai bergombal dan merayu. Entahlah, merayu apa. Banyak anak gadis yang terpukau denganku. Sampai aku menyeleksi pesan Whastsapp yang masuk. Dua tahun yang lalu aku diundang oleh sekelompok orang untuk bermain caci di salah satu daerah yang mengadakan “congko lokap”. Karena bakat aku menyetujuinya tanpa ada pertimbangan yang pasti.
Sesampainya di daerah tersebut aku di elu-elukan layaknya sang Kristus yang memasuki gerbang Yerusalem. Aku semakin percaya diri bahwa aku dapat menampilkan kebolehanku di atas lapangan caci. Kami pun mulai “selek” dengan petuah adat yang kental nan rumit. Saking rumpil rumitnya aku lupa memasangkan “ndeki” yang ada di belakang punggungku. Aku pun berjalan memasuki arena caci dengan tarian sae yang begitu meriah. “Kelong”ku semakin menjadi sebab tuak bakok telah merampas saraf sadarku. Pada saat aku sedang kelong ada suara yang datang dari kerumunan penonton yang mengatakan “kk, ndeki dite miring kiri?” Lalu aku menoleh kearahnya sambil tersenyum, lalu berkata, "olehhh, makasih enu".
Lalu aku terus meng”kelong” kearah lawan mainku. Lalu aku berhadapan dengan seorang master caci di daerah itu. sebut saja namanya Om Eki. Beliau cukup tenar di daerah itu dengan pacinya “rata mila”. Kami pun beradu taji layaknya dua lalong besar yang berunjuk gigi, siapa yang paling hebat. Teriakan “kk Ano” dari kerumunan penonton semakin nyaring. Aku selalu mencuri padang kearah penonton. Mencari tahu suara siapakah itu?. Tatapan mataku terpental dengan polesan senyuman manis dari enu Tina di bangku VIP. Paras yang menawan di balut dengan bedak viva nomor 5, ditambah dengan polesan gincu merah maron membuat aku semakin gugup. Benarkan itu suaranya?. Lalu giliranku untuk “menta’ang”.
Aku memasang kuda-kuda pada kaki kiri, lalu melebarkan “nggiling” dari “koret”. Setidaknya “ta’ang” seperti ini menjadi layak bagiku sebagai master caci. Cambukan luar biasa dari “rata mila” membuat posisi badanku agak miring. Namun, cambukan tersebut tidak mengenai tubuhku. Aku berlari kearah enu Tina lalu memulai “paci” yang sedikit menggelitik ketawa para penonton. Enu Tina pun tertawa sambil menutupi mulutnya dengan tangan kanannya. Mungkin takut gincunya terhapus oleh lidahnya yang menjulur. Tarian caci kala itu “cua salang” telah melibat bekas pada tubuh sang maestro caci daerah itu. aku sangat gembira sejadi-jadinya.
Memang suara enu Tina memacu semangatku. Pada itu Amang eki tidak membawa istrinya, atau mungkin juga dia belum beristri. setelah tarian caci selesai aku mencari enu Tina untuk bersalaman dengannya. Kami pun membagi cerita tentang masa lalu pada saat kami masih SMA. Tak henti-hentinya enu Tina memuji kebolehanku dalam bermain caci. Dalam benakku, enu Tina belum bersuami, sehingga aku berani bertanya “ Enu, ite manga hae kilo ge ko?”. Enu tina membalasnya dengan senyum.
Aku belum puas
dengan jawabannya, lalu aku bertanya lagi, “enu wale pe, manga hae kilo dite ge
ko?”, enu Tina tertawa dan menjawab, “eng nana Ano, sua daku mantar gah”. Lalu
aku om Eki berteriak dari belakang “sial apa hau e mekas”.
Post a Comment for "Lomes Jarang Legang"