Teologi Hijau untuk Kehidupan Berkelanjutan: Solusi Ekologis bagi Kemiskinan di NTT - Nerapost
(Dokpri Admin Nerapsot.eu.org)
Oleh: Admin
ABSTRAK: Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis kemiskinan di NTT dan
membangun hubungan antara penerapan prinsip teologi hijau sebagai solusi
ekologis. Metode yang dipakai dalam penelitian ini yakni kualitatif deskripsi.
Objek yang diteliti yakni fenomena kemiskinan di NTT yang disebabkan oleh
kerusakan lingkungan dan bagaimana Teologi Hijau sebagai solusi keberlanjutan. Teologi
hijau menghubungkan ajaran agama dengan upaya pelestarian lingkungan hidup,
yang mengajarkan bahwa menjaga alam merupakan bagian dari tugas manusia sebagai
makhluk ciptaan Tuhan. Di NTT, yang menghadapi masalah kemiskinan dan kerusakan
lingkungan, teologi hijau dapat menjadi alternatif untuk menciptakan
keseimbangan antara kebutuhan ekonomi dan pelestarian alam. Melalui
pengembangan praktik pertanian berkelanjutan, pengelolaan sumber daya alam secara
bijak, teologi hijau berpotensi memberikan solusi bagi masyarakat miskin dengan
meningkatkan ketahanan pangan. Masyarakat di NTT diharapkan dapat
mengintegrasikan nilai-nilai teologi hijau dalam kehidupan sehari-hari, dengan
memahami bahwa kepedulian terhadap alam adalah bagian dari panggilan iman.
Berdasarkan hasil penelitian disimpulkan bahwa teologi hijau dapat menjadi
kunci untuk kehidupan berkelanjutan yang lebih adil, sejahtera, dan ramah
lingkungan di NTT, dengan melibatkan seluruh lapisan masyarakat dan pihak
terkait dalam upaya pelestarian alam.
Kata-Kata Kunci: Teologi Hijau,
Ekologis dan Kemiskinan di NTT
I.
PENDAHULUAN
Nusa
Tenggara Timur adalah Provinsi yang terletak di Indonesia Timur dengan kondisi
geografis dan sumber daya alam yang melimpah. Meskipun NTT memiliki sumber daya
alam yang melimpah seperti pertanian, Provinsi ini juga menghadapi berbagai
masalah lingkungan hidup dan kemiskinan yang berdampak langsung pada kehidupan
masyarakatnya. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) pada bulan
September 2024, NTT termasuk dalam Provinsi dengan tingkat kemiskinan yang
cukup tinggi di Indonesia dengan persentase penduduk miskin yakni 19,02%.
Dengan perincian bahwa penduduk miskin di perkotaan sebesar 8,11% sedangkan di
pedesaan sebesar 23,02%.[1]
Kemiskinan yang terjadi disebabkan oleh kerusakan
lingkungan yang berujung pada penurunan hasil pertanian dan kekurangan air
bersih. Kehidupan masyarakat NTT pada umumnya sangat bergantung pada alam.[2]
Selain itu akses terhadap pelayanan dasar sangat minim seperti air bersih,
pendidikan, dan infrastruktur yang kurang memadai. Hal ini memperburuk
ketahanan hidup masyarakat NTT. Oleh karena itu, pencarian solusi yang dapat
mengatasi masalah kemiskinan ini membutuhkan pendekatan yang tidak hanya
memperhatikan aspek sosial ekonomi, tetapi juga faktor ekologis.
Dalam konteks ini, teologi hijau menawarkan sebuah
pendekatan yang sangat relevan. Steve dalam Jonathon Porritt melihat teologi
hijau, sebagai suatu perspektif teologis yang menekankan pentingnya menjaga
kelestarian alam dan sumber daya alam sebagai bagian dari tanggung jawab moral
umat manusia terhadap ciptaan Tuhan.[3]
Teologi hijau menjadi salah satu solusi ekologis yang dapat diterapkan untuk
mengatasi kemiskinan di NTT. Teologi Hijau mengajarkan bahwa kehidupan yang
berkelanjutan harus dibangun di atas prinsip menjaga keseimbangan antara
kebutuhan manusia dan kelestarian alam.
Teologi hijau bukan hanya berbicara tentang hubungan
manusia dengan alam, tetapi juga mengenai keadilan sosial dan pemerataan
kesejahteraan. Dalam konteks NTT, pendekatan ini bisa menjadi kunci dalam
membangun kehidupan yang lebih adil, ramah lingkungan, dan berkelanjutan.
Melalui ajaran agama dan nilai-nilai spiritual yang mendalam, teologi hijau dapat
menggerakkan masyarakat untuk lebih menghargai alam dan mengelola sumber daya
alam dengan cara yang lebih bijaksana. Pendekatan ini juga dapat mendorong
masyarakat untuk terlibat dalam upaya konservasi alam dan pengelolaan sumber daya
alam secara berkelanjutan, yang pada gilirannya dapat meningkatkan ketahanan
pangan dan mengurangi angka kemiskinan
Metode yang
digunakan dalam penelitian ini yakni kualitatif deskripsi. Penulis menganalisis
fenomena yang terjadi dan membangun hubungan antara penerapan prinsip teologi
hijau, kemiskinan serta kondisi ekologis di NTT. Pada bagian akhir penulis
membuat analisis terkait potensi implementasi teologi hijau dalam upaya
pemberdayaan ekonomi berbasis ekologi di NTT. Dalam proses pengumpulan data
penulis menggunakan studi kepustakaan. Penulis menempuh beberapa tahap yakni pertama; penulis mendalami teologi hijau
melalui buku-buku, jurnal dan internet. Kedua,
penulis menganalisis secara mendalam tentang kemiskinan dan kerusakan lingkungan
hidup di NTT dan memberikan solusi ekologis melalui teologi hijau guna
mengatasi kemiskinan di NTT.
III. PEMBAHASAN
3.1 Konsep Teologi Hijau
Teologi hijau adalah suatu cabang
teologi yang menghubungkan ajaran agama dengan isu-isu lingkungan dan keberlanjutan
ekologis. Secara sederhana, teologi hijau menekankan pentingnya menjaga dan
merawat alam sebagai bagian dari tanggung jawab agama, mengingat bahwa alam dan
seluruh isinya adalah ciptaan Tuhan. Teologi ini sering kali berfokus pada
keyakinan bahwa manusia tidak hanya diberi mandat untuk mengelola dan
memanfaatkan sumber daya alam, tetapi juga untuk melindungi dan menjaga
keseimbangan ekologis sebagai tindakan penghormatan terhadap Tuhan dan sesama
makhluk hidup. Allah memberikan perintah kepada manusia untuk menguasai bumi.
Dalam hal ini, berkuasa harus dipahami secara benar, bukan merusak tetapi
menyempurnakan.[4]
Tradisi Kristen melihat teologi
hijau sering mengacu pada konsep bahwa Tuhan menciptakan dunia dengan segala
keindahannya dan mempercayakan manusia untuk menjadi penjaga dan pengelola
alam. Lebih lanjut, John Button menggambarkan hijau sebagai seperangkat
kepercayaan dan gaya hidup yang menekankan pentingnya rasa hormat terhadap bumi
beserta seluruh penghuninya, menggunakan sumber daya yang diperlukan dan
sesuai, mengakui hak asasi semua bentuk kehidupan, dan menyadari bahwa semua
yang ada merupakan bagian dari kesatuan yang saling terhubung.[5]
Dalam perspektif ini, merusak lingkungan atau tidak bertindak untuk
melestarikan alam dianggap sebagai bentuk kelalaian terhadap tanggung jawab
moral yang diberikan Tuhan.
Teologi
hijau memiliki nilai yang dijunjung yakni: Pertama,
kepedulian terhadap kerusakan lingkungan dan perubahan iklim. Kerusakan
lingkungan merupakan dasar terbentuknya teologi hijau. Guna menciptakan kembali
lingkungan yang baik, perlunya tanggung jawab etis manusia dalam menjaga dan
merawat bumi. Kerusakan lingkungan hidup sangat dirasakan oleh Masyarakat akar
rumput yakni mereka yang terpinggirkan atau orang-orang miskin.[6] Manusia
sebagai pelaku utama perlu mengubah mentalitas secara efektif dengan merubah
gaya hidup konsumeristik.[7]
Kedua, keadilan ekologis yang mengutamakan kesetaraan dalam
pembagian sumber daya alam. Keadilan tidak hanya berkaitan dengan hak manusia
tetapi juga distribusi yang adil terhadap manfaat dan beban ekologis. Pembagian
sumber daya alam yang adil memastikan bahwa masyarakat miskin tidak
terpinggirkan. Selain itu, keadilan ekologis menuntut tanggung jawab Bersama
dalam menjaga alam. Dengan demikian, terciptanya keberlanjutan ekologis yang
bisa dinikmati dan dirasakan oleh semua lapisan masyarakat.[8]
Ketiga, penghargaan terhadap semua ciptaan Tuhan, baik manusia
maupun makhluk hidup lainnya, serta lingkungan sebagai tempat hidup bersama.
Manusia yang mendapat mandat dari Allah untuk menjaga bumi perlu membangun
relasi yang harmonis dengan makhluk lain dan lingkungan. Pada dasarnya setiap
makhluk memiliki peran dalam sebuah ekosistem dan saling bergantung guna
menciptakan keseimbangan hidup.[9]
Lingkungan sebagai tempat hidup bersama perlu dilihat sebagai anugerah yang
harus dijaga dan dilestarikan.
Berdasarkan nilai-nilai itu, Teologi hijau memiliki
tujuan yang mulia yakni membangun kesadaran di kalangan umat beragama tentang
pentingnya menjaga keseimbangan ekosistem dan bagaimana ajaran agama dapat
menjadi landasan moral untuk bertindak demi keberlanjutan ekologi. Manusia
perlu membangun sikap etis yang baik dan menyadari dengan sungguh, bahwa kuasa
yang diberikan oleh Allah bukan untuk merusak tetapi menjaga dan melestarikan
lingkungan hidup.
3.2 Realitas Kemiskinan di NTT
Kemiskinan merupakan hal klasik yang
belum tuntas terselesaikan terutama di Negara berkembang, artinya kemiskinan
menjadi masalah yang dihadapi dan menjadi perhatian di setiap Negara. Persoalan
kemiskinan merupakan salah satu permasalahan pokok yang dihadapi bangsa
Indonesia sejak dahulu hingga sekarang. Berbagai perencanaan, kebijakan serta
program pembangunan yang telah dan akan dilaksanakan pada intinya adalah
mengurangi jumlah penduduk miskin. Permasalahan kemiskinan merupakan
permasalahan yang kompleks dan multidimensional.[10] Nalle dan
Kiha dalam Soegijoko melihat upaya pengentasan dan pengurangan kemiskinan harus
dilakukan secara komprehensif, mencakup seluruh aspek kehidupan dan
dilaksanakan secara terpadu. Kemiskinan terjadi karena kemampuan masyarakat
pelaku ekonomi tidak sama, sehingga terdapat masyarakat yang tidak dapat ikut
serta dalam proses pembangunan atau menikmati hasil pembangunan.[11]
Salah satu Provinsi yang tingkat
kemiskinan sangat tinggi di Indonesia adalah Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT).
Masyarakat NTT hampir sebagai besar hidup di bawah garis kemiskinan. Penyebab
utama kemiskinan terjadi karena keterbatasan akses terhadap pendidikan,
kesehatan dan pekerjaan yang layak. Mayoritas penduduk NTT juga bekerja di
sektor pertanian yang mengandalkan cuaca dengan lahan yang terbatas. Kondisi
geografi yang kering dan berbatu menyebabkan pertanian di NTT menghadapi
kesulitan besar dalam hal produktivitas. Selain itu, kurangnya infrastruktur
yang memadai seperti, jalan raya, irigasi dan akses ke pasar serta keterbatasan
akses terhadap teknologi pertanian moderen, turut memperburuk kondisi ekonomi
masyarakat.[12]
Kepala Badan Pusat Statistik NTT, Matamira B. Kale, mengatakan bawah jumlah
penduduk miskin pada September 2024 sebesar 1,11 juta orang dengan persentase
19,02%.[13] Hal
ini menunjukkan kebijakan pemerintah guna mengatasi kemiskinan di NTT belum
tepat sasar.
3.3 Kerusakan Lingkungan di NTT
Masalah
kerusakan lingkungan juga menjadi isu serius di NTT. Banyak daerah di provinsi
ini mengalami deforestasi yang cepat akibat konversi lahan untuk pertanian,
pembukaan lahan untuk perumahan, dan penebangan liar. Praktik pertanian yang
tidak berkelanjutan, seperti pembakaran hutan untuk membuka lahan pertanian,
menyebabkan degradasi tanah, erosi, dan hilangnya keanekaragaman hayati.[14]
Krisis air juga merupakan masalah
besar di NTT. Banyak daerah yang mengalami kekeringan berkepanjangan, terutama
pada musim kemarau. Kondisi ini diperburuk dengan minimnya sumber daya air yang
dapat diakses oleh masyarakat, serta kurangnya pembangunan infrastruktur air
bersih yang memadai. Kekeringan ini tidak hanya berdampak pada kebutuhan
sehari-hari, tetapi juga pada sektor pertanian yang sangat bergantung pada
irigasi untuk menunjang produksi pangan.[15]
Selain
itu, kerusakan terumbu karang di sekitar pesisir NTT juga mengancam kehidupan
laut dan mata pencaharian masyarakat pesisir. Kerusakan terumbu karang di
perairan Nusa Tenggara Timur seluas 127.024 hektar.[16]
Kerusakan ini disebabkan oleh penangkapan ikan dengan bahan peledak, pencemaran
laut, dan perubahan iklim. Hal ini berimbas pada turunnya hasil tangkapan ikan,
yang merupakan sumber penghidupan utama bagi banyak masyarakat pesisir.[17]
3.4. Hubungan antara Kemiskinan dan Kerusakan Lingkungan
Kemiskinan
dan kerusakan lingkungan di Provinsi Nusa Tenggara Timur saling terkait erat,
menciptakan lingkaran setan yang sulit diputuskan. Mayoritas masyarakat NTT
bergantung pada sektor pertanian, peternakan dan hasil alam lainnya. Namun,
ketergantungan ini seringkali menyebabkan eksploitasi sumber daya alam secara
berlebihan. Dalam keadaan ekonomi yang sulit, banyak masyarakat yang terpaksa
melakukan penebangan hutan dan pembakaran lahan guna membuka kebun baru.
Praktik pertanian yang merusak, penebangan pohon secara liar ini merupakan
contoh tindakan yang dilakukan oleh masyarakat untuk bertahan hidup, namun
justru memperburuk kerusakan lingkungan. Praktik-praktik ini, meski dianggap
sebagai jalan keluar jangka pendek, justru merusak ekosistem dan memperburuk
kondisi lingkungan.[18]
Kurangnya akses terhadap pendidikan dan teknologi ramah lingkungan
juga menjadi faktor penyebab kerusakan alam.[19]
Masyarakat yang terjebak dalam kemiskinan cenderung kurang mendapatkan
informasi tentang cara bertani yang berkelanjutan atau teknik pengelolaan
sumber daya alam yang bijak. Tanpa pengetahuan ini, mereka sering kali
menggunakan cara-cara yang merusak lingkungan, seperti pembukaan lahan secara
liar tanpa mempertimbangkan dampak jangka panjang. Kerusakan alam di NTT,
seperti deforestasi dan degradasi lahan, semakin memperburuk kemiskinan. Banjir
dan kekeringan yang sering terjadi akibat perubahan iklim membuat tanah menjadi
kurang subur, mengurangi hasil pertanian, dan memperburuk kondisi ekonomi
masyarakat.
Dalam banyak kasus, masyarakat yang sudah miskin sulit
beradaptasi dengan perubahan iklim ini, sehingga semakin terperangkap dalam
kondisi ekonomi yang buruk.[20]
Dengan demikian, kemiskinan dan kerusakan alam di NTT membentuk siklus yang
saling memperburuk. Guna mengatasi hal ini, maka diperlunya upaya kolaboratif
antara pemerintah, masyarakat, dan sektor swasta untuk memperkenalkan praktik
pertanian berkelanjutan, pendidikan lingkungan, dan pengelolaan sumber daya
alam yang bijak agar dapat memutus lingkaran ini dan mencapai kesejahteraan
bersama.
3.5 Peran Teologi Hijau dalam Mengatasi Kemiskinan di NTT
Teologi Hijau, dalam konteks NTT,
bisa diterapkan melalui berbagai langkah yang melibatkan masyarakat dan
pemangku kepentingan, baik pemerintah, lembaga swadaya masyarakat, maupun
gereja dan tokoh agama. Dalam hal ini perlu keterlibatan secara kolektif masyarakat
dalam menerapkan teologi hijau.[21]
Hemat penulis ada beberapa cara teologi hijau bisa menjadi solusi ekologis bagi
kemiskinan di NTT, yakni:
Pertama, pendidikan ekologis berbasis agama, memiliki peran penting
dalam membangkitkan kesadaran kepada masyarakat tentang lingkungan hidup.
Melalui khotbah, kegiatan doa bersama, dan pendidikan keagamaan, mereka bisa
mengajarkan pentingnya merawat alam sebagai bentuk ibadah. Dengan pemahaman
yang lebih mendalam, masyarakat diharapkan dapat lebih menghargai alam dan
melibatkan diri dalam kegiatan pelestarian lingkungan.[22]
Kedua, praktik pertanian
berkelanjutan. Dalam hal bertani perlu mengutamakan kelestarian lingkungan,
keberlanjutan ekonomi, dan kesejahteraan sosial. Zainal Arifin dalam Budiman
melihat tujuan utama dari pertanian berkelanjutan, untuk memenuhi kebutuhan
pangan yang berkelanjutan. Praktik ini melibatkan penggunaan metode yang ramah
lingkungan, seperti rotasi tanaman, pengelolaan air yang efisien, penggunaan
pupuk organik, serta pengendalian hama secara alami. Selain itu, pertanian berkelanjutan
juga mengedepankan prinsip keragaman hayati, dengan menanam
berbagai jenis tanaman yang mendukung keseimbangan ekosistem.[23]
Hal ini membantu mencegah kerusakan tanah, memperbaiki kualitas air di NTT. Dengan
melibatkan masyarakat setempat, pertanian berkelanjutan juga memberikan manfaat
sosial, seperti meningkatkan kesejahteraan petani, menciptakan lapangan kerja,
dan memperkuat ketahanan pangan.
Ketiga, pemanfaatan sumber
daya alam secara bijak. Konsep ini mengutamakan penggunaan sumber daya alam
dengan memperhatikan kelestarian ekosistem dan keseimbangan lingkungan. Prinsip
utama dalam pemanfaatan bijak adalah meminimalkan dampak negatif terhadap alam
dan memastikan bahwa sumber daya alam digunakan secara efisien dan
berkelanjutan.[24]
Hal ini mencakup pengelolaan yang cermat terhadap sumber daya alam, seperti
hutan, air, dan tanah, untuk mendukung keberlanjutan kehidupan. Selain itu,
dalam sektor pertanian, penerapan pertanian berkelanjutan dengan rotasi tanaman
dan penggunaan pupuk organik dapat membantu menjaga kesuburan tanah.
Keempat,
pemberdayaan ekonomi berbasis ekologi yang mengintegrasikan prinsip-prinsip
keberlanjutan lingkungan dalam pengembangan ekonomi. Hal ini menciptakan
peluang ekonomi yang tidak hanya menguntungkan secara finansial, tetapi juga
ramah lingkungan dan menjaga kelestarian alam. Pendekatan ini melibatkan
pemanfaatan sumber daya alam secara bijak, seperti pertanian berkelanjutan,
pengelolaan hutan yang ramah lingkungan, dan pengembangan produk-produk ramah
lingkungan.[25]
Contoh pemberdayaan ekonomi berbasis ekologi termasuk usaha kecil dan menengah
yang mengolah produk organik, pengembangan energi terbarukan, dan ekowisata
yang mempromosikan konservasi alam.[26] Dengan memprioritaskan
ekologi, pemberdayaan ekonomi ini membantu masyarakat untuk meningkatkan
kesejahteraan mereka, sambil tetap menjaga kelestarian lingkungan untuk
generasi mendatang. Pemberdayaan ekonomi berbasis ekologi mendorong masyarakat
untuk berpikir jangka panjang dan mengurangi ketergantungan pada sumber daya
alam.[27]
3.6 Tantangan dalam Implementasi Teologi Hijau Di
NTT
Implementasi teologi hijau di Nusa
Tenggara Timur (NTT) menghadapi berbagai tantangan yang perlu diatasi untuk
mencapai keberhasilan dalam memadukan nilai-nilai agama dengan upaya
pelestarian lingkungan. NTT merupakan wilayah yang kaya akan sumber daya alam,
namun sering kali mengalami masalah lingkungan yang cukup serius, seperti
deforestasi, degradasi lahan, dan perubahan iklim. Meskipun teologi hijau
menawarkan solusi berbasis spiritualitas dalam menjaga kelestarian alam,
tantangan dalam implementasinya cukup kompleks.[28]
Pertama, kurangnya pemahaman dan kesadaran masyarakat akan hubungan
antara ajaran agama dan pelestarian alam menjadi hambatan utama.[29]
Banyak masyarakat di NTT yang belum sepenuhnya memahami bahwa menjaga alam
adalah bagian dari perintah Tuhan dalam agama mereka. Hal ini disebabkan oleh
kurangnya edukasi dan pengajaran agama yang menekankan pentingnya menjaga
lingkungan.
Kedua, faktor ekonomi juga menjadi tantangan besar.[30]
Sebagian besar masyarakat NTT bergantung pada sektor pertanian dan sumber daya
alam untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Praktik pertanian konvensional
yang cenderung merusak lingkungan, seperti pembakaran lahan dan penggunaan
pestisida berbahaya, masih banyak diterapkan karena dinilai lebih menguntungkan
secara ekonomi dalam jangka pendek.[31]
Menerapkan praktik pertanian berkelanjutan yang lebih ramah lingkungan
seringkali dianggap lebih mahal dan memerlukan waktu untuk menghasilkan hasil
yang optimal.
Ketiga, keterbatasan infrastruktur dan dukungan dari pemerintah
dan lembaga keagamaan dalam mengintegrasikan teologi hijau ke dalam kebijakan
pembangunan juga menjadi tantangan.[32] Tanpa
adanya kebijakan yang mendukung dan program-program konkrit, sulit bagi
masyarakat untuk mengimplementasikan prinsip-prinsip teologi hijau secara
efektif. Meski menghadapi tantangan ini, teologi hijau tetap memiliki potensi
besar untuk mengubah pola pikir masyarakat NTT, mendorong mereka untuk lebih
peduli terhadap lingkungan dan mengintegrasikan nilai-nilai agama dalam upaya
menjaga kelestarian alam untuk kesejahteraan generasi mendatang.[33]
IV.
KESIMPULAN
Penerapan Teologi Hijau sangat
penting, sebagai pendekatan dalam mengatasi tantangan kemiskinan di Provinsi
Nusa Tenggara Timur (NTT), melalui perspektif ekologis yang berbasis pada
nilai-nilai agama. Teologi hijau diartikan sebagai pandangan yang menghubungkan
ajaran agama dengan upaya pelestarian alam, dengan fokus pada tanggung jawab
moral manusia terhadap kelestarian lingkungan hidup. Provinsi NTT, dikenal
dengan keragaman hayati dan masalah kemiskinan yang tinggi, menghadapi
tantangan besar dalam hal ketahanan pangan, perubahan iklim, dan kerusakan
ekosistem. Oleh karena itu, teologi hijau menawarkan solusi yang tidak hanya
memperhatikan pemenuhan kebutuhan material manusia, tetapi juga mengingatkan
pada pentingnya menjaga harmoni antara manusia dan alam sebagai bagian dari
perintah Tuhan. Pendekatan ini menekankan pada upaya menjaga kelestarian
lingkungan sebagai bagian dari tugas keagamaan.
Teologi hijau bisa menjadi solusi
untuk kemiskinan di NTT dengan mendorong masyarakat untuk mengubah pola pikir
tentang hubungan manusia dengan alam. Selain itu, program-program yang berbasis
pada kearifan lokal, seperti pertanian berkelanjutan, pengelolaan sumber daya
alam yang ramah lingkungan, serta upaya restorasi alam, dapat dilaksanakan
dengan dukungan nilai-nilai agama yang mengajarkan kepedulian terhadap sesama
dan alam. Secara keseluruhan, teologi hijau memberikan pendekatan yang
holistik, di mana solusi ekologis dan sosial dapat dijalankan secara bersamaan,
sehingga membuka jalan bagi kehidupan berkelanjutan yang lebih adil dan
sejahtera di NTT.
V. DAFTAR PUSTAKA
Abdoellah, S. Oekan. Ekologi Manusia;
Pembangunan berkelanjutan. Jakarta: PT. Gramedia, 2017.
Anwar, Muhkamat. “Green Economy Sebagai Strategi dalam Menangani Masalah Ekonomi dan
Multilateral”. Jurnal Pajak dan Keuangan
Negara. Vol. 9, No. 2, 2022.
Arifin,
Zainal, dkk. “Revitalisasi Ekonomi Pedesaan melalui Pertanian Berkelanjutan dan
Agroekologi”. Jurnal Multidisiplin West
Science. Vol. 2, No. 9, 2019.
Badan
Pusat Resmi Statistik 15 Januari 2025. Profil Kemiskinan Nusa Tenggara Timur
September 2024. Kupang: Badan Pusat Statistik, 2025.
Batubara, Rima Pratiwi dan
Aditya Sugih Setiawan. “Penerapan Prinsip Ekowisata di Situ Gede sebagai Daya
Tarik Wisata Unggulan Kota Bogor. Jurnal
Altasia, Vol.4, No. 2, 2022.
Cleopatra
Ismail, Alifya dan Novita Setia Ramadani. “Pandangan Agama Islam dan
Pengaruhnya Terhadap Kepedulian Lingkungan”. Nusantara: Jurnal Pendidikan, Seni, Sains dan Sosial Humaniora.
Vol. 1, No. 2, 2023.
Fathia
Chefany, Haura. “Ketersediaan Air Bersih dan Kondisi Iklim: Studi Krisis Air Di
Nusa Tenggara Timur”. Pediaqu: Jurnal
Pendidikan Sosial dan Humaniora. Vol. 3, No. 4, Oktober, 2024.
Hadiwardoyo,
Al. Purwa. Teologi Ramah Lingkungan; Sekilas Tentang Ekologi Kristen. Depok:
PT. Kanisius, 2015.
Hamakonda,
Umbu A. dan Igniosa Taus, David Januarius Djawapatty. “Identifikasi Potensi dan
Permasalahan Pertanian di Kecamatan Golewa Selatan Kabupaten Ngada”. Jurnal
Agriovet. Vol. 3, No. 2, April 2021.
Haryanto,
Tri dan Elisabeth Ngole Bunga. “Analisis Faktor-Faktor yang Mempengaruhi
Kemiskinan di Provinsi Nusa Tenggara Timur Tahun 2015-2023”. JIMEA: Jurnal Ilmiah MEA (Manajemen,
Ekonomi, dan Akuntansi). Vol. 8, No. 3, 2024.
Ibid.
Kewa Ama,
Kornelis. “Abaikan Lingkungan, NTT Makin Akrab dengan Bencana dan Kemiskinan”,
dalam kompas.id pada 15 Agustus 2021,
https://www.kompas.id/baca/nusantara/2021/08/15/mengabaikan-lingkungan-ntt-makin-akrab-dengan-bencana-dan-kemiskinan,
diakses pada 19 Februari 2025.
Khoirudin,
Rifki dan Rosdianawaty Hatta. “Analisis Tingkat Kemiskinan di Provinsi NTT:
Pendekatan Data Panel”. Jurnal Samudra
Ekonomi dan Bisnis. Vol. 11, No 2, Juli 2020.
Kiha
K. Emilia dan Federic W. Nalle. “Analisis Faktor-Faktor yang Mempengaruhi
Tingkat Kemiskinan Di Kecamatan Insana Kabupaten Timor Tengah Utara (TTU)”. Jurnal Dinamika Ekonomi Pembangunan.
Vol. 1, No. 3, 2018.
Latumahina,
Victor. “Peran Gereja dalam Menanggapi Kemiskinan”. Jurnal Teologi Biblika. Vol. 6, No. 1, April, 2021.
Madhana
Susila, I Wayan dan Gerson ND. Njurumana. “Rehabilitasi Lahan Kritis Melalui
Pengembangan Hutan Rakyat Berbasis Sistem Kaliwu di Pulau Sumba”. Junal: Penelitian Hutan dan Konservasi Alam.
Vol. 3, No. 1, 2006.
Nurhayati,
Gilberth Suryadi Bully dan Syafri. “Analisis Pengaruh Pembangunan Infrastruktur
Terhadap Pertumbuhan Pdrb Kabupaten/Kota (Studi Pada 13 Kabupaten Tertinggal Di
Nusa Tenggara Timur Tahun 2017-2021).
Jurnal Ilmiah Wahana Pendidikan. Vol. 10, No. 15, Agustus, 2024.
perpustakaan.menlhk.go.id,
http://-perpustakaan.menlhk.go.id/-pustaka/-images/-docs/127.024%20Hektar%20di%20NTT%20Rusak%20KLIPING%20JULI%202012-4.pdf,
diakses pada 19 Feberuari 2025.
Saba,
Chanda. “Presentasi Penduduk Miskin NTT Turun 0,46 persen Poin”. dalam rri.co.id, pada 16 Januari 2025,
https://www.rri.co.id/daerah/1259157/presentasi-penduduk-miskin-ntt-turun-0-46-persen
poin#:~:text=Profil%20Kemiskinan%20NTT%2C%20Rabu%20(15,15%2F1%2F2025), diakses
pada 22 Feberuari 2025.
Samac,
Yulius M, Hermina Manleaa dan Ludgardis Ledhengb. “Faktor-Faktor Penyebab
Kerusakan Ekosistem Terumbu Karang di Perairan Wini Kelurahan Humusu C
Kecamatan Insana Utara Kabupaten Timor Tengah Utara”. Bio-Edu: Jurnal Pendidikan Biologi. Vol. 1, No. 2, 2016.
Steve.
“Green theology and deep ecology: New Age or new creation?”. dalam thegospelcoalition.org,
https://www.thegospelcoalition.org/themelios/article/green-theology-and-deep-ecology-new-age-or-new-creation/,
diakses pada 19 Februari 2025.
Sudibia,
I Ketut dan I Made Yogi Maha Putra. “Faktor-Faktor yang Berpengaruh Terhadap
Pertumbuhan Ekonomi dan Tingkat Kemiskinan Kabupaten/Kota di Provinsi Bali”.
E-Jurnal: Ekonomi Pembangunan Universitas Udayana. Vol. 9, No. 10, Oktober.
Suharto,
Dini Intan Veronica dan Muhammad Iqbal Fasa. “Pemanfaatan Sumber Daya Alam
Terhadap Pembangunan Berkelanjutan dalam Perspektif Islam”. Jurnal Dinamika Ekonomi Syariah. Vol. 9,
No. 2, 2022.
Xaverius
Dako, Fransiskus, dkk. “Kerusakan Antropogenik Kawasan Hutan Lindung Mutis
Timau dan Upaya Penanggulangannya di Pulau Timor Bagian Barat”. Journal of Natural Resources and
Environmental Management. Vol. 9, No. 2, 2019.
[1] Badan Pusat Resmi
Statistik 15 Januari 2025, Profil Kemiskinan
Nusa Tenggara Timur September 2024 (Kupang: Badan Pusat Statistik, 2025),
hlm. 5.
[2] Kornelis Kewa Ama,
“Abaikan Lingkungan, NTT Makin Akrab dengan Bencana dan Kemiskinan”, dalam kompas.id pada 15 Agustus 2021, https://www.kompas.id/baca/nusantara/2021/08/15/mengabaikan-lingkungan-ntt-makin-akrab-dengan-bencana-dan-kemiskinan, diakses pada 19
Februari 2025.
[3] Steve, “Green theology
and deep ecology: New Age or new creation?, dalam thegospelcoalition.org, https://www.thegospelcoalition.org/themelios/article/green-theology-and-deep-ecology-new-age-or-new-creation/, diakses pada 19
Februari 2025.
[4] Dalam pembukaan
konferensi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) tentang Lingkungan Hidup di
Stockholm pada tahun 1972, Paus Paulus VI memberikan pandangan tentang
lingkungan hidup berdasarkan perikop Kitab Kejadian. Bdk. Al. Purwa
Hadiwardoyo, Teologi Ramah Lingkungan;
Sekilas Tentang Ekologi Kristen (Depok: PT. Kanisius, 2015), hlm. 18.
[5] Steve, op. cit., dalam John Button, Kamus Ide-Ide Hijau (Routlege, 1988),
hlm.190.
[6] Al. Purwa Hadiwardoyo, op. cit., hlm. 38.
[7] Ibid.
[8] Oekan S. Abdoellah, Ekologi Manusia; Pembangunan berkelanjutan
(Jakarta: PT. Gramedia, 2017), hlm. 4.
[9] Ibid., hlm. 4.
[10] Federic W. Nalle dan
Emilia K. Kiha, “Analisis Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Tingkat Kemiskinan Di
Kecamatan Insana Kabupaten Timor Tengah Utara (TTU)”, Jurnal Dinamika Ekonomi Pembangunan, 1:3 (Kefamenanu: 2018), hlm.
35.
[11] Ibid
[12] Rosdianawaty Hatta dan
Rifki Khoirudin, “Analisis Tingkat Kemiskinan di Provinsi NTT: Pendekatan Data
Panel”, Jurnal Samudra Ekonomi dan Bisnis,
11:2 (Yogyakarta: Juli 2020), hlm. 148.
[13] Chanda Saba,
“Presentasi Penduduk Miskin NTT Turun 0,46 persen Poin”, dalam rri.co.id, pada 16 Januari 2025, https://www.rri.co.id/daerah/1259157/presentasi-penduduk-miskin-ntt-turun-0-46-persen
poin#:~:text=Profil%20Kemiskinan%20NTT%2C%20Rabu%20(15,15%2F1%2F2025), diakses pada 22
Feberuari 2025.
[14] Gerson ND. Njurumana
dan I Wayan Madhana Susila, “Rehabilitasi Lahan Kritis Melalui Pengembangan
Hutan Rakyat Berbasis Sistem Kaliwu di Pulau Sumba”, Junal: Penelitian Hutan dan Konservasi Alam, 3:1 (Jakarta: 2006),
hlm. 22.
[15] Haura Fathia Chefany,
“Ketersediaan Air Bersih dan Kondisi Iklim: Studi Krisis Air Di Nusa Tenggara
Timur”, Pediaqu : Jurnal Pendidikan
Sosial dan Humaniora, 3:4 (Riau: Oktober, 2024), hlm. 5187.
[16] Dalam kliping Kompas
yang dipublikasikan kembali oleh perpustakaan.menlhk.go.id,
http://-perpustakaan.menlhk.go.id/pustaka/images/docs/127.024%20Hektar%20di%20NTT%20Rusak%20KLIPING%20JULI%202012-4.pdf, diakses pada 19 Februari
2025.
[17] Hermina Manleaa,
Ludgardis Ledhengb dan Yulius M. Samac, “Faktor-Faktor Penyebab Kerusakan
Ekosistem Terumbu Karang Di Perairan Wini Kelurahan Humusu C Kecamatan Insana
Utara Kabupaten Timor Tengah Utara”, Bio
Edu: Jurnal Pendidikan Biologi, 1:2 (Kefamenanu: 2016), hlm. 22.
[18] Fransiskus Xaverius
Dako, dkk, “Kerusakan Antropogenik Kawasan Hutan Lindung Mutis Timau dan Upaya
Penanggulangannya di Pulau Timor Bagian Barat”, Journal of Natural Resources and Environmental Management, 9:2
(Yogyakarta: 2019), hlm. 442.
[19] Elisabeth Ngole Bunga
dan Tri Haryanto, “Analisis Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kemiskinan di
Provinsi Nusa Tenggara Timur Tahun 2015-2023”, JIMEA | Jurnal Ilmiah MEA (Manajemen, Ekonomi, dan Akuntansi), 8:3
(Surabaya: 2024), hlm. 3017.
[20] Fransiskus Xaverius
Dako, dkk, op. cit., hlm. 439.
[21] Victor Latumahina,
“Peran Gereja dalam Menanggapi Kemiskinan”, Jurnal
Teologi Biblika, 6:1 (Ambon: April, 2021), hlm. 30
[22] Ibid., hlm. 35.
[23] Artikel jurnal ini
ditulis oleh beberapa Mahasiswa dari berbagai Universitas di Indonesia seperti
Universitas Islam Indragiri, Universitas Muhammadiyah Gorontalo, Universitas
Negeri Makassar dan Universitas Muhammadiyah Luwuk. Mereka berkolaborasi dalam
penulisan artikel jurnal ini. Bdk. Zainal Arifin, dkk, “Revitalisasi Ekonomi
Pedesaan melalui Pertanian Berkelanjutan dan Agroekologi”, Jurnal Multidisiplin West Science, 2:9 (;2019), hlm. 762, dalam
Budiman, 2022.
[24] Dini Intan Veronica,
Muhammad Iqbal Fasa dan Suharto, “Pemanfaatan Sumber Daya Alam Terhadap
Pembangunan Berkelanjutan dalam Perspektif Islam”, Jurnal Dinamika Ekonomi Syariah, 9:2 (Lampung:2022), hlm. 201.
[25] Muhkamat Anwar, “Green Economy Sebagai Strategi dalam
Menangani Masalah Ekonomi dan Multilateral”, Jurnal Pajak dan Keuangan Negara, 9:2 (Jakarta: 2022), hlm. 344.
[26] Ekowisata adalah segala bentuk
kegiatan tujuan wisata dan pelaksanaanya menjamin tegaknya pilar ekologi,
sosial budaya, ekonomi serta pilar edukasi, pilar pengalaman dan pilar kepuasan
bagi pengunjung. Dalam hal ini ekowisata, menciptakan dan memuaskan suatu
keinginan akan alam, tentang mengeksploitasi potensi wisata untuk konservasi
dan pembangunan dan tentang mencegah dampak negatifnya terhadap ekologi,
kebudayaan dan keindahan. Bdk. Aditya Sugih Setiawan dan Rima Pratiwi Batubara,
“Penerapan Prinsip Ekowisata di Situ Gede sebagai Daya Tarik Wisata Unggulan
Kota Bogor, Jurnal Altasia, 4:2
(Bogor: 2022), hlm. 46.
[27] Muhkamat Anwar, loc. cit.
[28] Novita Setia Ramadani
dan Alifya Cleopatra Ismail, “Pandangan Agama Islam dan Pengaruhnya Terhadap
Kepedulian Lingkungan”, Nusantara: Jurnal
Pendidikan, Seni, Sains dan Sosial Humanioral, 1:2 (Tangerang: 2023), hlm.
4-5.
[29] Ibid.
[30] I Made Yogi Maha Putra
dan I Ketut Sudibia, “Faktor-Faktor yang Berpengaruh Terhadap Pertumbuhan
Ekonomi dan Tingkat Kemiskinan Kabupaten/Kota di Provinsi Bali”, E-Jurnal: Ekonomi Pembangunan Universitas
Udayana, 9:10 (Bali: Oktober), hlm. 2182.
[31] Igniosa Taus, David
Januarius Djawapatty dan Umbu A. Hamakonda, “Identifikasi Potensi dan
Permasalahan Pertanian di Kecamatan Golewa Selatan Kabupaten Ngada”, Jurnal Agriovet, 3:2 (Bajawa: April
2021), hlm. 169.
[32]Gilberth Suryadi Bully,
Syafri dan Nurhayati, “Analisis Pengaruh Pembangunan Infrastruktur Terhadap
Pertumbuhan Pdrb Kabupaten/Kota (Studi Pada 13 Kabupaten Tertinggal Di Nusa
Tenggara Timur Tahun 2017-2021), Jurnal
Ilmiah Wahana Pendidikan, 10:15 (Jakarta: Agustus, 2024), hlm. 484
[33] Ibid.
Post a Comment for "Teologi Hijau untuk Kehidupan Berkelanjutan: Solusi Ekologis bagi Kemiskinan di NTT - Nerapost"