Menafsir Ulang Ritus Roko Molas Poco Masyarakat Manggarai dalam Perspektif Teologi Feminis - Nerapost
(Sumber gambar: kumparan.com)
Oleh: Admin
I.
Pengantar
Budaya
merupakan bagian terpenting dan tak terpisahkan dari kehidupan manusia maupun
kelompok. Kebudayaan dapat diekspresikan dengan berbagai cara dan saran untuk
memenuhi kebutuhan manusia. Oleh karena itu kebudayaan dan manusia sangat
penting karena keduanya saling mempengaruhi, kebudayaan ada karena manusia yang
menciptakan dan kebudayaan tidak akan hilang selagi manusia ada. Kebudayaan
juga dimaknai sebagai sarana ekspresi identitas diri, mentalitas dan
kepribadian manusia[1].
Masyarakat Manggarai masih menjunjung tinggi kebudayaan para leluhurnya. Salah
satu kebudayaan yang masih dijunjung tinggi dan dilaksanakan sampai saat ini
adalah upacara roko molas poco (penjemputan kayu atau tiang tengah rumah
adat) dalam pembangunan mbaru gendang (rumah adat) di Manggarai. Roko
molas poco merupakan ritus memikul (roko) tiang utama (siri bongkok) yang
disimbolkan sebagai gadis cantik (molas) yang datang dari gunung (poco) lalu
dijemput di gerbang kampung (Pa’ang) untuk selanjutnya diarak masuk ke lokasi
perkampungan rumah adat (gendang).[2]
Masyarakat
Manggarai mengidentifikasi tiang utama rumah adat sebagai seorang gadis cantik
yang datang dari gunung. Gunung selalu dihubungkan dengan kesejukan, keindahan,
keharmonisan, dan kerja sama. Kayu mendapatkan perlakuan istimewa. Tanpa kayu
ini, maka rumah adat tidak akan berdiri kokoh. Kayu ini dipilih dari kayu
khusus dan terbaik dengan melalui upacara adat. Kayu pilihan ini digambarkan
sebagai gadis hutan yang memberikan kehidupan bagi masyarakat. Proses pemotongan
pohon ini melibatkan perempuan yang duduk di atas kayu pilihan tersebut.
Perempuan ini disambut dan diterima dengan sangat baik. Mengapa harus perempuan
dan bukan laki-laki. Hal ini mau menggambarkan bahwa perempuan merupakan
makhluk yang kaya akan potensi. Dia memiliki kualitas-kualitas yang bisa
menjadikan kehidupan publik lebih baik, misalnya ketulusan, kasih sayang, penuh
perhatian, pelayanan tanpa pamrih, setia mencintai, dan rela berkorban untuk
keluarga. Komposisi kualitas-kualitas potensial ini merupakan singularitas yang
harmonis dan memberi makna pada totalitas baru untuk publik[3].
Tradisi roko molas poco memberikan penghargaan terhadap harkat dan
martabat kaum perempuan. keberadaan kaum perempuan memberikan kontribusi dalam
kehidupan sosial bermasyarakat. Masyarakat Manggarai menghargai atau memaknai
identitas dan nilai-nilai keperempuanan kaum perempuan. Bahkan penghargaan
terhadap perempuan itu menjadi filosofi dasar kehidupan orang-orang Manggarai
pada umumnya. Alam sekitar diindentikkan seperti seorang perempuan sebagai ibu
dari kehidupan.[4]
Ritus
roko molas poco mencerminkan sikap penghormatan masyarakat Manggarai
terhadap perempuan. Melalui ritus ini, pihak laki-laki secara resmi menerima
perempuan yang dinikahi sebagai anggota keluarga baru dan mengangkat
martabatnya sebagai sosok yang patut dijaga dan dihormati.[5]
Namun demikian, ritus ini juga tidak terlepas dari pertanyaan-pertanyaan kritis
yang muncul dalam diskursus kontemporer tentang relasi gender, terutama dari
perspektif teologi feminis. Apakah penghormatan ini benar-benar menempatkan
perempuan sebagai subjek yang mandiri dan bermartabat? Ataukah ritus ini masih
menyimpan nuansa patriarkis yang tersembunyi di balik simbol penghormatan?
Teologi
feminis hadir sebagai cabang teologi yang secara kritis menyoroti
struktur-struktur sosial dan keagamaan yang selama ini memarginalkan perempuan,
baik secara eksplisit maupun implisit. Ia menawarkan cara pandang baru dalam
membaca teks-teks keagamaan, praktik liturgi, serta struktur sosial budaya dari
kacamata keadilan gender dan kesetaraan martabat manusia. Dalam konteks ini,
teologi feminis mengajak kita untuk menafsirkan ulang berbagai tradisi dan
ritus yang telah mengakar kuat di masyarakat agar tidak hanya bernilai secara
budaya, tetapi juga adil secara teologis dan manusiawi. Membaca roko molas
poco dalam terang teologi feminis berarti mengkaji ulang makna, simbol, dan
dampak dari ritus ini terhadap posisi perempuan dalam kehidupan sosial masyarakat
Manggarai. Ritus ini dapat menjadi bahan refleksi mendalam tentang bagaimana
budaya memaknai perempuan baik dalam konteks relasi domestik maupun dalam peran
sosial yang lebih luas.[6]
Apakah perempuan benar-benar dihormati sebagai pribadi yang setara, ataukah
tetap dipandang sebagai “hadiah” atau “milik” yang diserahkan dari satu pihak
ke pihak lain dalam sistem pertukaran sosial?
Dengan
demikian, Ritus roko molas poco dapat dilihat tidak hanya sebagai ritus
penghormatan, tetapi juga sebagai peluang reflektif untuk meninjau relasi
gender dalam masyarakat dan bagaimana nilai-nilai kekristenan dapat memperkaya
serta menata ulang struktur sosial agar lebih adil terhadap perempuan.[7]
Dalam terang teologi feminis, ritus ini dapat mengalami reinterpretasi yang
menegaskan bahwa perempuan bukan hanya objek dari penghormatan simbolik, tetapi
juga subjek aktif dalam membangun keluarga dan masyarakat. Lebih lanjut,
membaca ritus ini secara teologis juga membantu menjembatani kesenjangan antara
budaya dan iman, antara tradisi leluhur dan nilai-nilai Injil yang membebaskan.
Ketika ritus adat dipahami dan dipraktekkan dalam kerangka teologi yang kritis
dan kontekstual, maka nilai-nilai budaya tidak sekadar dipertahankan sebagai
warisan, tetapi juga dibaharui sebagai sarana transformasi sosial dan
spiritual.[8]
Ini sejalan dengan semangat inkulturasi yang telah lama menjadi perhatian
Gereja Katolik di Indonesia yakni bagaimana Injil dapat menjelma dalam budaya
lokal tanpa kehilangan daya kritis dan tuntutan moralnya.[9]
Dalam
konteks masyarakat Manggarai yang masih kuat memegang adat istiadat, pendekatan
semacam ini menjadi sangat relevan. Ritus roko molas poco bukan untuk
dihapus, tetapi untuk dibaca kembali dengan kepekaan teologis dan kesadaran
gender.[10]
Dengan demikian, budaya lokal tidak menjadi penghalang, melainkan justru
menjadi jalan bagi pewartaan kasih Allah yang inklusif dan membebaskan,
termasuk bagi perempuan. Oleh karena itu, kajian terhadap ritus roko molas
poco melalui pendekatan teologi feminis membentuk pembaharuan hidup iman
umat, khususnya dalam membangun relasi yang lebih adil dan setara antara
laki-laki dan perempuan di dalam masyarakat maupun dalam keluarga.[11]
Dengan membuka ruang refleksi kritis terhadap ritus ini, diharapkan umat dan
masyarakat Manggarai dapat terus berkembang dalam iman dan budaya secara
harmonis, tanpa kehilangan daya kritis terhadap struktur yang tidak adil,
terutama terhadap perempuan.[12]
Untuk itu penulis merasa tertarik untuk Menafsir
Ulang Ritus Roko Molas Poco Masyarakat
Manggarai dalam Perspektif Teologi Feminis.
II.
Gambaran Isu Feminis
Tradisi
adat Roko Molas Poco di Manggarai bermula dari cerita adat/sastra lisan
yang disampaikan secara turun-temurun dengan bahasa tutur. Ahsan Hidayat
Setiadi, NahdatunnisaNahdatunnisa dan Andi Almustagfir Syah dalam Gendang Rua,
mengisahkan cerita adat roko molas poco adalah kisah seorang gadis
tercantik yang tinggal di sebuah hutan yang sangat subur dan elok. Pesona
kecantikan gadis itu tersiar di seluruh wilayah daratan Manggarai. Kemudian
datanglah seorang pemuda untuk meminang gadis itu.[13]
Gadis tersebut tidak serta merta menerima upaya lamarannya, beberapa syarat
diberikan antara lain yaitu disediakanya dua dayang yang akan menemani di
istana dan kelak akan menggantikan dirinya di dalam hutan, dilakukan
penjemputan dengan upacara yang harus dihadiri oleh seluruh warga secara gotong
royong, diberikan tempat terhormat dalam keluarga, dihormati dan dimuliakan.
Setelah persyaratan pertama telah dipenuhi, diadakanlah penjemputan kepada sang
gadis yang dilakukan secara gotong royong oleh seluruh warga. Penjemputan itu
diiringi dengan tarian, nyanyian, dan aneka tetabuhan. Setelah menjadi istri,
dia ditempatkan dalam rumah utama yang dihormati dan dimuliakan sebagai istri
dan ibu suri dari anak-anaknya. Semua permasalahan keluarga selalu diselesaikan
atas nasihat dan bimbingannya.[14]
Roko
Molas Poco bila diartikan secara harfiah "mengangkat
perempuan cantik" suatu tindakan simbolik yang menandakan bahwa perempuan
yang datang bukan hanya sebagai istri, tetapi sebagai anggota baru dalam
tatanan keluarga besar. Di balik gestur seremonial ini, tersimpan banyak nilai
kultural, spiritual, dan sosial yang membentuk identitas masyarakat Manggarai.
Dalam hal ini masyarakat Manggarai sangat menjunjung tinggi martabat perempuan,
karena perempuan dianggap sebagai molas (permata yang cantik) yang layak
disambut dengan hormat.[15]
Namun kenyataannya masih banyak kasus kekerasan terhadap perempuan di
Manggarai.
Berdasarkan
data yang saya peroleh di Kabupaten Manggarai dari 2021-2024 terdapat 51 kasus.[16]
Dari sekian banyak kasus ini, kasus kekerasan dan pemerkosaan yang paling
banyak. Sedangkan Kabupaten Manggarai Barat dari tahun 2020-2023 terdapat 47
kasus[17]
dan Kabupaten Manggarai Timur pada tahun 2023 terdapat 13 kasus.[18]
Dari kasus ini muncul sebuah pertanyaan berdasarkan ritus roko molas poco
masyarakat Manggarai; apakah penghormatan ini benar-benar menempatkan perempuan
sebagai subjek yang otonom, ataukah sekadar mempertahankan struktur patriarki
yang membungkus dominasi dalam bahasa adat?
Isu
feminis ini menjadi semakin kompleks jika dikaitkan dengan sistem nilai
masyarakat Manggarai yang masih kuat dipengaruhi oleh budaya patrilineal. Dalam
sistem ini, garis keturunan ditarik dari pihak laki-laki, dan perempuan sering
kali diposisikan sebagai "orang dari luar" yang masuk ke dalam keluarga
laki-laki melalui pernikahan. Oleh karena itu, walaupun secara simbolik
perempuan diangkat, tetap ada struktur kekuasaan yang secara implisit mengarah
pada subordinasi perempuan dalam relasi domestik dan sosial. Dari perspektif
teologi feminis, ritus ini memerlukan pembacaan ulang yang kritis dan
kontekstual. Teologi feminis mendorong peninjauan terhadap tradisi dan ritus
budaya yang tidak sepenuhnya memberi ruang kesetaraan bagi perempuan.[19]
Dengan
menggali kembali makna asli dari roko molas poco dan membandingkannya
dengan prinsip-prinsip keadilan gender dan kesetaraan dalam iman Kristen,
terbuka ruang untuk transformasi budaya menuju relasi yang lebih adil dan
setara. Ini bukan berarti menghapus tradisi, tetapi menyaring nilai-nilai luhur
yang sesuai dengan semangat Injil dan martabat manusia. Selain itu, penting
juga untuk mendengarkan suara perempuan Manggarai sendiri dalam proses ini.
Bagaimana mereka memaknai ritus tersebut? Apakah mereka merasa dihargai atau
justru dibatasi? Dalam konteks ini, roko molas poco menjadi titik temu
antara budaya lokal dan teologi pembebasan yang memperjuangkan keadilan bagi
semua, termasuk kaum perempuan.
III.
Analisis Ritus
Roko Molas Poco Masyarakat Manggarai dan
Tema Teologis
3.1
Analisis Ritus Roko Molas Poco Masyarakat Manggarai
Ritus
roko molas poco merupakan upacara sebelum membangun rumah ada di
Manggarai. Upacara ini dimulai dengan memilih kayu terbaik untuk dijadikan
sebagai siri bongkok (tiang utama).[20]
Sebelum pergi ke hutan, seluruh masyarakat berkumpul dan bersama tua adat
menuju hutan yang telah ditentukan. Setelah kayu itu ditebang akan diarak
menuju kampung. Dalam proses perarakan seorang
perempuan cantik duduk di atas kayu tersebut dan kayu bersama perempuan
itu dipikul oleh laki-laki menuju kampung. Sepanjang perjalanan diringi dengan tari-tarian
khas masyarakat Manggarai. Tentu hal ini muncul sebuah pertanyaan bahwa
mengapa harus perempuan? Dalam kepercayaan masyarakat Manggarai perempuan
sebagai sumber kehidupan. Di sisi lain juga, masyarakat Manggarai melihat hutan
sebagai ibu yang memberikan kehidupan kepada manusia. Sebagai yang menyediakan
makanan. Tentunya, masyarakat Manggarai sangat menjunjung tinggi martabat
perempuan sebagai ibu kehidupan.
Berdasarkan
maka ritus itu, perlu melihat realitas yang terjadi belakangan ini di
Manggarai. Ada sekian banyak kasus kekerasan terhadap perempuan. Perempuan
tidak lagi dilihat sebagai ibu kehidupan tetapi sebagai objek dari kekuasaan
patriarkat. Hal ini nampak jelas dalam kasus pelecehan seksual, kasus pemukulan
terhadap istri dan pemerkosaan anak di bawah umur. Dalam perspektif teologi
feminis, muncul dua persoalan struktural yang perlu dikritisi, yakni; pertama,
penghormatan simbolik terhadap perempuan dalam ritus roko molas poco ini
tidak dibarengi dengan tindakan nyata.[21]
Dalam hal ini perempuan sebagai ibu kehidupan. Perempuan tetap pada posisi
kedua dalam kerangka sistem patriarkat. Perempuan diarak dari hutan menuju
kampung sebagai proses perpindahan yang di dalamnya terdapat transaksi antara
keluarga. Kedua, ritus ini menandakan relasi kekuasaan yang tidak
seimbang.[22] Laki-laki yang memikul
kayu dan seorang gadis berarak ke kampung secara tidak langsung mau menegaskan
keperkasaan laki-laki. Meskipun dalam ritus ini, ada unsur penghormatan
terhadap perempuan tetapi perempuan dibungkam dalam pengambilan keputusan.
Ritus roko molas poco secara tidak langsung mempertegas posisi laki-laki
sebagai pemilik ruang, dan perempuan sebagai tamu yang harus diterima, bukan
sebagai mitra setara dalam membangun rumah tangga dan komunitas.
Dalam konteks teologi feminis,
analisis ini menunjukkan bahwa ritus adat seperti roko molas poco harus
dibaca ulang dan ditafsirkan kembali agar tidak hanya mempertahankan simbol
budaya, tetapi juga mencerminkan nilai-nilai Injil yang membebaskan. Teologi
feminis tidak menolak tradisi, tetapi mengajak untuk memilih nilai-nilai yang
sesuai dengan prinsip keadilan, kesetaraan, dan penghargaan terhadap martabat
manusia, khususnya perempuan. Hemat saya, ritus roko molas poco, perlu
ditinjau kembali pemaknaannya dalam masyarakat Manggarai. Dalam hal ini, ritus
tidak hanya semata pada upacara simbolik tetapi lebih aplikasi nyata dalam
kehidupan sehari-hari. Dengan demikian nilai luhur dari ritus ini tidak akan
hilang dan tetap menjunjung tinggi kaum perempuan sebagai ibu kehidupan.
3.2
Tema-Tema Teologis
Berdasarkan
makna ritus roko molas poco dan realitas kestidaksetaraan gender di
Manggarai, maka ada beberapa tema teologis, yakni;
Pertama,
martabat manusia sebagai gambar Allah. Ritus roko molas poco dapat
menjadi pintu masuk untuk merefleksikan kembali martabat perempuan sebagai
gambar dan rupa Allah (Bdk. Kej. 1:27). Perempuan sebagai gambar Allah yang
sama-sama memiliki martabat luhur.[23]
Dalam hal ini perempuan bukan hanya objek penghormatan budaya, tetapi subjek
ciptaan Allah yang setara dengan laki-laki. Tema ini secara tegas bahwa perlu
adanya penghormatan kepada perempuan sebagai Imago Dei, bukan hanya pada
tataran simbolik tetapi secara konkret dalam kehidupan sehari-hari.
Kedua,
kesetaraan dalam relasi cinta. Dalam surat Paulus kepada jemaat di Efesus
5:21-33 menekankan relasi cinta antara suami dan istri. Paulus menekankan
relasi saling tunduk dalam kasih. Suami dan istri tidak saling menguasai.[24]
Ritus adat yang hanya menonjolkan dominasi laki-laki harus ditantang oleh
semangat mutualitas ini. Pernikahan harus dipahami sebagai persekutuan dua
pribadi yang setara di hadapan Allah.
Ketiga,
pembebasan dan transformasi budaya. Teologi feminis melihat bahwa iman Kristen
membawa pesan pembebasan dari struktur sosial yang menindas.[25]
Ritus roko molas poco harus dibaca sebagai ruang transformasi dan
menjadi peluang untuk merevisi praktik budaya yang bias gender agar lebih adil,
inklusif, dan membebaskan.
Keempat,
inkulturasi dan kontekstualisasi iman. Hal ini menunjukkan bagaimana budaya
lokal dan iman Kristen dapat berdialog.[26]
Namun dialog ini harus bersifat kritis mampu menyerap nilai-nilai luhur sambil
menolak unsur-unsur budaya yang tidak sejalan dengan Injil Kristus. Inkulturasi
bukan hanya penerimaan budaya, tetapi juga penyaringan demi pembaruan hidup
umat.
IV.
Refleksi Teologis
Teologi
feminis hadir guna mengkritisi struktur budaya roko molas poco terutama
berkaitan dengan dominasi patriarkat masyarakat Manggarai. Dalam hal ini
menafsir ulang simbol dalam ritus ini dari perspektif perempuan. Ini sangat
urgen untuk membebaskan ritus ada ini dari narasi dominan yang mencoba
mengekang perempuan dalam peran simbolik tanpa daya. Artinya peran perempuan
hanya sebagai simbol, tanpa ada realisasi nyata dalam kehidupan sosial
masyarakat. Refleksi teologis ini, mencoba mengkaji lebih dalam ritus roko
molas poco dalam terang teologi feminis guna mengangkat nilai-nilai
kesetaraan gender antara laki-laki dan perempuan dalam iman kristiani dan
budaya lokal masyarakat Manggarai.
Ritus
roko molas poco merupakan upacara dalam sebelum membangun rumah adat. Molas
poco adalah lambang perempuan yang anggun dan cantik. Perempuan ini diarak
dari hutan bersama kayu sebagai tiang utama menuju kampung. Perempuan
digambarkan sebagai pusat kehidupan, penjaga warisan budaya dan jembatan relasi
antara keluarga. Sejatinya ritus ini mengandung penghormatan yang tinggi
terhadap perempuan dalam kehidupan sosial masyarakat. Namun, dalam praktik
budaya yang telah terkontaminasi oleh ideologi patriarkal, perempuan dalam
ritus ini lebih sering tampil sebagai simbol daripada subjek aktif. Perempuan
dipuja sebagai lambang kesuburan dan keindahan, tetapi tidak selalu memiliki
ruang untuk bersuara dalam pengambilan keputusan, baik dalam struktur adat
maupun gereja. Selain itu, ada sekian banyak kasus kekerasan terhadap perempuan
di Manggarai. Ini menunjukkan adanya jarak antara simbolisasi perempuan dan
realitas hidup mereka.
Teologi
feminis juga mengkritisi bagaimana perempuan sering kali dijadikan objek
ritual tanpa diberi otonomi penuh sebagai subjek spiritual dan sosial. Dalam
ritus roko molas poco, misalnya, perempuan dijadikan pusat perhatian dan
simbol kesakralan, namun tidak selalu dilibatkan dalam struktur pengambilan
keputusan adat yang didominasi oleh laki-laki. Dalam pandangan teologi feminis,
ini adalah bentuk domestikasi spiritual, di mana perempuan dipuja dalam simbol,
tetapi dikendalikan dalam kenyataan. Lebih dari itu, marak terjadi kasus
kekerasan terhadap perempuan di Manggarai sebagai bukti nyata bahwa perempuan
hanya dilihat sebagai simbol sakral tetapi dalam dunia nyata seringkali menjadi
objek kekerasan. Dalam presentasi kelompok V, Rosemary Radford Ruether, seorang
teolog feminis, menekankan perlunya membaca ulang tradisi dengan lensa
pengalaman perempuan. Teologi bukanlah warisan beku, melainkan ruang dialog
antara iman dan pengalaman.[27]
Oleh karena itu, ritus adat seperti roko molas poco harus dibaca ulang
untuk menemukan makna pembebasan dan kesetaraan.
Dari
perspektif teologi feminis melihat substansi dari ritus roko molas poco
menyimpan potensi spiritual yang membebaskan. Keindahan, kelembutan, dan
kekuatan perempuan yang diangkat dalam ritus ini sejalan dengan citra Allah
yang hadir dalam kepekaan, keadilan, dan cinta. Ritus ini menjadi ruang
teologis yang menegaskan bahwa Allah hadir juga dalam tubuh perempuan, dalam
perjuangan dan kerentanannya. Guna terciptanya ruang pembebasan, maka perlu ada
reinterpretasi terhadap praktik dan simbolnya. Perempuan dalam ritus ini harus
diakui sebagai subjek spiritual yang aktif, bukan sekadar perwujudan budaya
pasif. Keterlibatan perempuan dalam menyusun, memimpin, dan mentafsir ritus
perlu ditegaskan kembali. Selain itu, posisi perempuan dalam masyarakat tidak
lagi dipandang sebagai nomor dua, guna meminimalisir kekerasan terhadap
perempuan.
Gereja
Katolik di Manggarai memiliki tanggung jawab untuk membangun dialog antara iman
kristiani dan kearifan lokal, termasuk dalam menanggapi ritus roko molas
poco. Gereja tidak seharusnya memusnahkan ritus adat, melainkan
menafsirkannya dalam terang Injil yang membebaskan. Dalam hal ini, teologi
inkulturatif harus berjalan seiring dengan teologi feminis. Yesus dalam Injil
memberdayakan perempuan: berbicara dengan perempuan Samaria, membiarkan
perempuan mengurapi-Nya, dan menampakkan diri pertama kali kepada Maria
Magdalena setelah kebangkitan. Tindakan-tindakan ini mencerminkan teologi
feminis yang membebaskan dan mengangkat martabat perempuan. Maka, ritus adat
seperti roko molas poco dapat menjadi sarana pewartaan kasih Allah bila
dimaknai dalam semangat Injil tersebut.
Ritus
roko molas poco adalah warisan budaya yang kaya makna. Dalam terang
teologi feminis, ritus ini bisa menjadi jembatan antara kearifan lokal dan
spiritualitas Kristiani yang membebaskan. Menafsir ulang ritus ini berarti
membuka ruang bagi suara perempuan untuk kembali diakui, didengar, dan
dihargai. Teologi feminis tidak hendak meniadakan budaya, melainkan menolongnya
untuk kembali kepada tujuan semula: memuliakan kehidupan, kesetaraan, dan
cinta. Ritus roko molas poco, jika ditafsir ulang dengan kritis dan
spiritual, bisa menjadi ikon perempuan Manggarai yang tidak hanya cantik dalam
budaya, tetapi kuat dalam iman, bijak dalam kepemimpinan, dan utuh sebagai
gambar Allah.
V.
Usulan Aksi
Guna
menjadikan ritus roko molas poco sebagai ruang pembebasan bagi
perempuan, adapun usulan praktis yang dapat dilakukan, yakni;
Pertama,
perlu merubah mindset laki-laki terhadap perempuan sebagai kaum yang setara
bukan nomor dua dalam masyarakat. Untuk itu, perlu adanya sosialisasi
sebelum melakukan ritus. Tua adat menjelaskan makna ritus yang perlu dihayati
oleh seluruh masyarakat. Sehingga keterlibatan perempuan bukan hanya sebatas
simbol.
Kedua,
pendidikan kritis budaya dan teologi di kalangan masyarakat dan gereja agar
perempuan dan laki-laki bersama-sama memahami nilai kesetaraan dalam iman dan
adat. Dalam hal ini, perempuan perlu berjuang untuk menyelesaikan pendidikan
tinggi, sehingga terciptanya daya kritis terhadap budaya yang seringkali
memarjinalkan mereka dalam masyarakat.
Ketiga,
dekonstruksi makna simbolik perempuan dalam ritus agar tidak hanya dilihat dari
segi estetika atau kesuburan, tetapi dari segi spiritualitas, kebijaksanaan,
dan kepemimpinan.
Keempat,
mendorong gereja lokal untuk mengangkat suara perempuan dalam liturgi, khotbah,
dan pengambilan keputusan pastoral. Agen pastoral perlu menyuarakan tentang
kesetaraan gender bagi umatnya. Keberadaan perempuan perlu dihormati bukan
sebagai objek penindasan dalam keluarga.
Daftar
Pustaka
Afandi, Yahya. “Teologi Pembebasan: Gerakan Feminisme Kristen
dan Pendekatan Dialog Martin Buber”. Jurnal Teologi Amreta, Vol. 1, No.
2, Malang: April, 2018.
Andi Almustagfir Syah, Ahsan Hidayat Setiadi dan Nahdatunnisa
Nahdatunnisa. "Roko Molas Poco”Tradisi Membangun Suku Manggarai Dalam
Upaya Pelestarian Artefak Adat”. Jurnal Pengabdian Masyarakat Fakultas
Teknik UN Kendari, Vol. 01, No. 01, Kendari: Desember, 2022.
Archileus K, Prisarto, Nua Sinu Gabriel dan Fransina A.
Ndoen. “Upacara Roko Molas poco dalam suku bangsa Manggarai di Desa Compang
Laho Kecamatan Poco Ranaka Kabupaten Manggarai Timur.” Jurnal Sejarah. Vol. 16, No. 1, Kupang: Juni
2019.
Barekama Tukan, Paulus, dkk. “Beragam Sisi Tilik Kaum Feminis
tentang Allah,” (Manuskrip: Dalam materi presentasi kelompok V Teologi Feminis,
Instutut Filsafat dan Teknologi Kreatif Ledalero, 30 April 2025).
Eko Setiawan, David. “Menjembatani Injil dan Budaya dalam
Misi Melalui Metode Kontektualisasi”. Fidei:
Jurnal Teologi Sistematika dan Praktika, Vol. 3, No. 2, Tawangmangu:
Desember, 2020.
Garus, Feranda. “Sebanyak 13 Kasus Kekerasan Terjadi di
Manggarai Timur 2023”. dalam rri.co.id, 23/11/2023,
https://www.rri.co.id/daerah/454320/sebanyak-13-kasus-kekerasan-terjadi-di-manggarai-timur-2023
Haerussaleh, Kintan Amellia Agustin, Pankrasius De Alfa
Nasario dan Fitakhu Khoirul Ilmiah. “Kajian Etno-Feminisme Siri Bongkok dalam
tradisiroko Molas Poco Pada Masyarakat Timur Desa Benteng Kuwu Nusa Tenggara
Timur”. Alfabeta: Jurnal Bahasa, Sastra,
dan Pembelajarannya, Vol. 5, No. 2, Surabaya: 2022.
I Nyoman Suarsana, Falensia Fitria Nggias dan Ni Made Wiasti.
“Peran Kaum Perempuan Desa Wudi dalam Upacara Roko Molas Poco”. Journal of
Anthropology, Vol. 7, No. 2, Denpasar: September, 2023.
Ika, Anastasia. “Memutus Siklus Kekerasan terhadap Perempuan
dan Anak, Menggalang Asa di Rumah Singgah St. Theresia”. dalam floresa.co,
23/09/2023, https://floresa.co/-reportase/mendalam/56598/2023/09/29/memutus-siklus-kekerasan-terhadap-perempuan-dan-anak-menggalang-asa-di-rumah-singgah-st-theresia, diakses pada 11 Mei 2025.
Izarman. “Roko Molas Poco: Penghormatan terhadap Perempuan
dan Keharmonisan Hidup dengan Alam.” dalam Patrolipost.com,
08/02/2023, https://patrolipost.com/roko-molas-poco-penghormatan-terhadap-perempuan-dan-keharmonisan-hidup-dengan-alam/,
diakses pada 05 Mei 2025.
Janhotner Saragih, Adi Haryono Sianturi dan Zulkarnain
Siagian. “Manusia Sebagai Gambar Dan Rupa Allah”. Innovative: Journal Of
Social Science Research, Vol. 3, No. 2, Palembang: 2023.
Jaya, T. Adrianus. “Membaca Ritual Roko Molas Poco di Antara
Upaya Mempertahankan Keseimbangan dengan Alam.” dalam Obortimur.com, 22/04/2024, https://www.obortimur.com/daerah/1784563544/-membaca-ritual-roko-molas-poco-di-antara-upaya-mempertahankan-keseimbangan-dengan-alam,
diakses pada 05 Mei 2025.
Jebarus, Adrianus, Maksimilianus Jemali, Rudolof Ngalu.
“Tradisi Roko Molas Poco dalam Hubungan dengan Penghargaan Terhadap Martabat
Perempuan Manggarai.” Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan Missio,
Vol. 9, No. 2, Ruteng: Juni 2017.
Marbun, Pardomuan “Implementasi Peranan Suami Istri
Berdasarkan Efesus 5:21-33 di Kalangan Jemaat”. Logia; Jurnal Teologi
Pentakosta, Vol. 1, No. 2, Batam: Juni 2020.
Maria Titik Windarti, Fransiska Angela Sampouw dan Tonny
Andrian Stefanus. “Relevansi Budaya dan Adat Indonesia Terhadap Teologi
Kristen”. Jurnal Silih Asuh: Teologi dan Misi, Vol. 2, No. 1, Bogor:
2025.
Natalia, Desy. “Kasus Kekerasan terhadap Perempuan dan Anak
di Manggarai Meningkat”, dalam rri.co.id, 05/02/2025, https://www.rri.co.id/daerah/1304903/kasus-kekerasan-terhadap-perempuan-dan-anak-di-manggarai-meningkat, diakses pada 11 Mei 2025.
Pius, Pandor dan Hyronimus Ario Dominggus. “Menyibak Dimensi
Ekologis dan Dimensi Humanis Dalam Upacara Roko Molas Poco dan Ensiklik Laudato Si’ Artikel 89- 92”. Titian: Jurnal Ilmu Humaniora, Vol. 6,
No. 1, Malang: Juni, 2022.
Wiriantari, Frysa dan Heribertus Ran Kurniawan. “Tradisi Siri
Bongkok Pada Rumah Adat Mbaru Gendang di Desa Todo Kabupaten Manggarai –Ntt”. Jurnal
Anala, Vol. 7, No. 2, Denpasar: September, 2019.
Yogi Mahendra,Naftali Untung dan Priskila Issak Benyamin.
“Inkulturasi Liturgi Gereja Bethel Indonesia”. Thronos; Jurnal Teologi Kristen,
Vol. 2, No. 2, DKI Jakarta: 2021.
Yuven Atabau, Paskalis. “Studi Feminis dalam Agama : Melintas
Batas dan Mendobrak Tradisi Agama Patriarki”. Sukacita: Jurnal Pendidikan Iman Kristen, Vol. 2, No. 2, Ledalero:
April 2025.
[1] Nua Sinu
Gabriel, Fransina A. Ndoen dan Archileus K. Prisarto, “Upacara Roko Molas poco
dalam suku bangsa Manggarai di Desa Compang Laho Kecamatan Poco Ranaka
Kabupaten Manggarai Timur,” Jurnal Sejarah, 16:1 (Kupang: Juni 2019),
hlm. (tidak ada halaman)
[2] Maksimilianus
Jemali, Rudolof Ngalu, dan Adrianus Jebarus, “Tradisi Roko Molas Poco dalam
Hubungan dengan Penghargaan Terhadap Martabat Perempuan Manggarai,” Jurnal
Pendidikan dan Kebudayaan Missio, 9:2 (Ruteng: Juni 2017), hlm. 85.
[3] Ibid.,
hlm. 86.
[4] Ibid.,
hlm. 87.
[5] Ibid.
[6] Ahsan Hidayat
Setiadi, Nahdatunnisa Nahdatunnisa dan Andi Almustagfir Syah, “"Roko Molas
Poco”Tradisi Membangun Suku Manggarai dalam Upaya Pelestarian Artefak Adat”, Jurnal
Pengabdian Masyarakat Fakultas Teknik UN Kendari, 01:01 (Kendari: Desember,
2022), hlm. 22.
[7] Falensia Fitria
Nggias, Ni Made Wiasti dan I Nyoman Suarsana, “Peran Kaum Perempuan Desa Wudi
dalam Upacara Roko Molas Poco”, Journal of Anthropology, 7:2 (Denpasar:
September, 2023), hlm. 71.
[8] Fransiska
Angela Sampouw,Tonny Andrian Stefanus dan Maria Titik Windarti, “Relevansi
Budaya dan Adat Indonesia Terhadap Teologi Kristen”, Jurnal Silih Asuh:
Teologi dan Misi, 2:1 (Bogor: 2025), hlm. 35.
[9] David Eko Setiawan,
“Menjembatani Injil dan Budaya dalam Misi Melalui Metode Kontektualisasi”, Fidei: Jurnal Teologi Sistematika dan
Praktika, 3:2 (Tawangmangu: Desember, 2020), hlm. 170.
[10] Falensia Fitria
Nggias, Ni Made Wiasti dan I Nyoman Suarsana., loc. cit.
[11]Kintan Amellia
Agustin, Pankrasius De Alfa Nasario, Fitakhu Khoirul Ilmiah dan Haerussaleh,
“Kajian Etno-Feminisme Siri Bongkok dalam tradisiroko Molas Poco Pada
Masyarakat Timur Desa Benteng Kuwu Nusa Tenggara Timur”, Alfabeta: Jurnal
Bahasa, Sastra, dan Pembelajarannya, 5:2 (Surabaya: 2022), hlm. 11.
[12] Ibdi.,
hlm. 13.
[13] Ahsan Hidayat
Setiadi, NahdatunnisaNahdatunnisa dan Andi Almustagfir Syah, op. cit.,
hlm. 19
[14] Ibid.
[15] Hyronimus Ario Dominggus dan
Pius Pandor, “Menyibak Dimensi Ekologis dan Dimensi Humanis Dalam Upacara Roko
Molas Poco dan Ensiklik Laudato Si’
Artikel 89- 92”, Titian: Jurnal Ilmu
Humaniora, 6:1 (Malang: Juni, 2022), hlm. 26.
[16] Desy Natalia,
“Kasus Kekerasan terhadap Perempuan dan Anak di Manggarai Meningkat”, dalam rri.co.id,
05/02/2025, https://www.rri.co.id/daerah/1304903/kasus-kekerasan-terhadap-perempuan-dan-anak-di-manggarai-meningkat,
diakses pada 11 Mei 2025.
[17] Anastasia Ika,
“Memutus Siklus Kekerasan terhadap Perempuan dan Anak, Menggalang Asa di Rumah
Singgah St. Theresia”, dalam floresa.co, 23/09/2023, https://floresa.co/-reportase/mendalam/56598/2023/09/29/memutus-siklus-kekerasan-terhadap-perempuan-dan-anak-menggalang-asa-di-rumah-singgah-st-theresia,
diakses pada 11 Mei 2025.
[18] Feranda Garus,
“Sebanyak 13 Kasus Kekerasan Terjadi di Manggarai Timur 2023”, dalam rri.co.id,
23/11/2023,
https://www.rri.co.id/daerah/454320/sebanyak-13-kasus-kekerasan-terjadi-di-manggarai-timur-2023.
[19] Paskalis Yuven Atabau, “Studi
Feminis dalam Agama : Melintas Batas dan Mendobrak Tradisi Agama Patriarki”, Sukacita: Jurnal Pendidikan Iman Kristen,
2:2 (Ledalero: April 2025), hlm. 93
[20] Siri bongkok merupakan salah satu tiang yang
sakral dari semua tiang yang ada di rumah adat (mbaru Gendang) masyarakat
Manggarai sebagai penyanggah di
mana tiang-tiang yang
lain bertumpu. Tiang yang kuat
dan kokoh tegak lurus
dari tanah hingga bubungan
juga melambangkan relasi
yang kuat dengan
Sang Pemilik Semesta tanpa selaan
dari balok lain,
berkisah tentang kelurusan
hati, niat dan
budi manusia. Tiang induk rumah
adat yang berada
di tengah rumah
adat ini digantung gendang dan
gong. Pada tiang
induk tersebut pemimpin
adat bersandar saat
memimpin upacara-upacara
adat atau peristiwa
penting lain yang
berhubungan dengan warga kampung. Bdk. Heribertus Ran Kurniawan
dan Frysa Wiriantari, “Tradisi Siri Bongkok Pada Rumah Adat Mbaru Gendang di
Desa Todo Kabupaten Manggarai –Ntt”, Jurnal Anala, 7:2 (Denpasar:
September, 2019), hlm. 8.
[21] Izarman, “Roko Molas Poco:
Penghormatan terhadap Perempuan dan Keharmonisan Hidup dengan Alam,” dalam Patrolipost.com, 08/02/2023, https://patrolipost.com/roko-molas-poco-penghormatan-terhadap-perempuan-dan-keharmonisan-hidup-dengan-alam/, diakses pada 05 Mei 2025.
[22] Adrianus T. Jaya, “Membaca
Ritual Roko Molas Poco di Antara Upaya Mempertahankan Keseimbangan dengan
Alam,” dalam Obortimur.com,
22/04/2024, https://www.obortimur.com/daerah/1784563544/-membaca-ritual-roko-molas-poco-di-antara-upaya-mempertahankan-keseimbangan-dengan-alam, diakses pada 05 Mei 2025.
[23] Adi Haryono
Sianturi, Zulkarnain Siagian dan Janhotner Saragih, “Manusia Sebagai Gambar Dan
Rupa Allah”, Innovative: Journal Of Social Science Research, 3:2
(Palembang: 2023), hlm. 10303.
[24] Pardomuan
Marbun, “Implementasi Peranan Suami Istri Berdasarkan Efesus 5:21-33 di
Kalangan Jemaat”, Logia; Jurnal Teologi Pentakosta, 1:2 (Batam: Juni
2020), hlm. 66.
[25] Yahya Afandi,
“Teologi Pembebasan: Gerakan Feminisme Kristen dan Pendekatan Dialog Martin
Buber”, Jurnal Teologi Amreta, 1:2 (Malang: April, 2018), hlm. 66.
[26] Naftali Untung,
Priskila Issak Benyamin dan Yogi Mahendra, “Inkulturasi Liturgi Gereja Bethel
Indonesia”, Thronos; Jurnal Teologi Kristen, 2:2 (DKI Jakarta: 2021), hlm.66.
[27] Paulus Barekama
Tukan, dkk “Beragam Sisi Tilik Kaum Feminis tentang Allah,” (Manuskrip: Dalam
materi presentasi kelompok V Teologi Feminis, Instutut Filsafat dan Teknologi
Kreatif Ledalero, 30 April 2025).
Post a Comment for "Menafsir Ulang Ritus Roko Molas Poco Masyarakat Manggarai dalam Perspektif Teologi Feminis - Nerapost"