Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Luka di Balik Jubah Putih || Cerpen Ama Kolle Tokan


Luka di Balik Jubah Putih || Cerpen Ama Kolle Tokan

(Sumber gambar: puriningsih.wordpress.com)

“Jangan mengagung-agungkan sebuah senyuman, sebab engkau tidak tahu berapa banyak luka yang tersembunyi di sana.”

 Itulah sepenggal kalimat yang tertulis pada beranda story WA. Hampir selama 10 tahun, ia mengukir senyuman demi senyuman tanpa ia sadari luka pun tumbuh perlahan. Luka yang selalu mengganggunya di waktu tidur malam, dan menyiksanya di siang hari. Luka yang merusak pikirannya dan mengelabuinya untuk menggapai masa depannya. Luka yang membuatnya takut untuk memilih bertahan atau berhenti dari jalan panggilan. Berhenti dan bertahan dari sebuah jalan yang bagi hampir semua orang adalah jalan yang mulia dan indah. Indah bagi mereka yang benar-benar memberikan hidupnya untuk menjalaninya. Tapi dia. Dia yang sudah memilih menjalani bertahan tapi ingin berhenti, berhenti tapi masih ingin bertahan. Berhenti? Atau bertahan? Hanya ada sebuah alasan.

 

(Baca juga: Puisi - Persimpangan Jalan)

 

Kelas 3 SD

            Kesepian yang paling tersiksa adalah di saat dia masih belajar untuk mengenal kerasnya dunia, ia sudah ditinggalkan kedua orangtuanya pergi ke tanah rantau. Semenjak itu, ia berusaha hidup mandiri dengan tidak bergantung pada siapa pun termasuk orangtuanya. Ia harus menjadi ojek air dengan gerobak. Ia melayani siapa pun yang membutuhkan air dan ia akan dibayar. Ia menjalani masa kecilnya di sekolah dan sepulang dari sekolah ia akan mencari uang. Ia akan menangis ketika melihat kehidupan teman-temannya bersama dengan orangtua mereka. Tapi ia bersyukur karena bersama seorang kaka perempuan (Saudari kandung Bapanya) dan kedua anaknya yang begitu menyayanginya. Melalui kerasnya hidup itu, saat itu ia berjanji untuk tidak menyusahkan orangtuanya lagi. Itulah secuil luka yang belum seberapa.


(Baca juga: Pesan Ayah kepada Anak Wanitanya)

 

Kelas 3 SMP

            Pada saat ini, ia sudah tinggal bersama ibunya lagi sedangkan ayahnya masih terus mencari rejeki di tanah rantau. Tapi ia  masih saja membantu orangtuanya untuk mencari uang. Setiap pulang sekolah ia menjadi buruh dan kondektur. Janji yang pernah ia buat tetap tertanam bahwa ia tidak akan menyusahkan orangtuanya. Di tahun ini, ia akan mengakhiri masa sekolahnya di tingkat SMP. Ia tahu pada jenjang SMA akan membutuhkan banyak uang apalagi dia memilih sekolah di kota dan tinggal di kost. Maka ia sempat berpikir untuk tidak sekolah lagi dan memilih untuk kerja. Tapi pada sebuah kesempatan, di sekolahnya ada kunjungan dari anak seminari. Ia menjadi tahu bahwa dana untuk sekolah di seminari lumayan besar tapi sangat membantu orangtuanya karena proses pembayarannya bertahap. Apalagi dia akan tinggal di asrama seminari, itu akan sangat meringankan orangtuanya. Ia ingin ketiga adiknya bisa bersekolah dengan baik dan tidak terlalu membebankan orangtuanya.




 

(Baca juga: Diam Itu Luka || Cerpen Adryan Naja)

 

Kelas 3 SMA Seminari

            Waktu hadir seperti setan, begitu cepat dan membuatnya harus memilih lanjut atau berhenti. Dukungan penuh dari keluarga khususnya ibu justru membuatnya beban dan tertekan. Berhenti dan tidak kuliah? Atau lanjut dan kuliah tapi semakin memberikan harapan yang besar bagi keluarga. Tapi karena ia tahu ada sebuah biara yang membiayai setiap anggotanya untuk kuliah dengan tanggungan dana yang kecil dari masing-masing orangtua, maka ia memilih masuk biara itu. Tapi mungkin dalam pikiran keluarganya bahwa ia sungguh-sungguh terpanggil padahal tidak sama sekali.

 

(Baca juga: Mery dan Seorang Frater Kekasihnya || Cerpen Christin De Simnia)

 

2 Tahun Masa Pembinaan

            Ia sangat membenci waktu karena semuanya terasa begitu cepat tanpa ia sadari. Akhirnya, pada saatnya ia harus memutuskan untuk bergabung menjadi anggota dari biara itu karena semakin besar dukungan dari keluarga. Ia seperti tidak tega untuk merusak harapan dan semangat dari keluarga untuk jalan panggilan yang ia jalani ini.

3 Tahun Masa kuliah

            Keputusan untuk menjalani panggilan ini sangat meringankan orangtuanya. Itu membuatnya sangat bahagia. Tapi bahagia yang juga menyiksanya. Bagaimana tidak, ia sendiri merasa tidak ada panggilan dalam dirinya. Sedangkan dukungan dan harapan keluarga semakin besar. Terkhusus ibunya yang begitu yakin dan berharap bahwa ia harus dan pasti bisa. Ini terbukti ketika ia pulang libur dan orang-orang bertanya pada ibunya apakah ia bisa menjadi seorang terpanggil nanti? Ibunya pasti menjawab dengan yakin: “Ya pasti bisa dan harus, mengapa tidak?” Jawaban ini, membuatnya semakin tersiksa. Bahkan pada sebuah kesempatan melalui chat whatsApp, ia memberanikan dirinya untuk bertanya pada ibunya: “Ibu. Seandainya nanti aku keluar, apakah ibu dan keluarga masih menerimaku?” Jawaban ibu membuatnya sangat terpukul dan tersiksa. “Jangan aneh-aneh! Kamu harus lanjut!” Bahkan semenjak obrolan singkat ini, ibunya tidak menghubunginya untuk beberapa waktu. Ia tidak mungkin mengundurkan diri. Maka ia mulai hidup malas-malasan di biara dan di kampus. Sehingga beberapa mata kuliah yang ia tempuh belum ada nilai. Dia berpikir dengan begini suatu saat pasti dia akan dikeluarkan. Impiannya untuk menempuh kuliah dengan baik sudah sirna.


 

(Baca juga: Unit St. Agustinus Mengudara: Juara 1 dan 2 Lomba Koor Virtual Seminari Tinggi St. Paulus Ledalero - Nerapost)

 

Tahun Ke-4 Kuliah

            Sudah tidak terasa masa kuliahnya akan habis di tahun ini dan kalau dia memilih untuk lanjut maka ia akan menjalani masa TOP (Tahun Orientasi Pastoral). Tapi sampai detik ini, ia tidak merasakan benih-benih panggilan dalam dirinya. Ia mulai hidup bermalas-malasan, beberapa nilai mata kuliah yang tidak ada, skripsi pun masih belum dikerjakan. Seluruh waktunya dipenuhi ketakutan, ia stress sehingga sering tidak tidur malam, tidak makan. Ia tidak tahu bagaimana harus bertindak. Ia merasa beban. Ia terus mengukir senyuman untuk semua orang tapi sedang menimang air mata luka yang semakin ribut. Apakah ia harus memilih lanjut dan membahagiakan keluarga dan mengorbankan kebahagiaannya? Atau apakah ia memilih berhenti, mengecewakan keluarga dan mungkin tidak diterima oleh keluarganya lagi?

            Malam tidak tampak sebagai malam, siang pun hadir tapi seperti malam. Gelap, punah, entah, kabur, dan tidak jelas. Sedangkan waktu terus saja datang menagih sebuah kepastian. Raga terus tampak kuat tapi dalamnya luka menyiksa. Entah masih saja duduk menyeruput secangkir kopi, mungkin ada sebagian luka yang pergi sesaat.           


1 comment for "Luka di Balik Jubah Putih || Cerpen Ama Kolle Tokan"

  1. Rancanganmu bukanlah RancanganKu, Jalanmu bukanlah JalanKu

    ReplyDelete