Ah Tuhan || Cerpen Safry Dosom
(Sumber gambar: pikiran-rakyat.com)
Kini hari-hariku telah berubah. Semuanya serba sepi aku kesal, benci padanya. Sesunguhnya aku
tak ingin tinggal bersamanya. Dulu, aku sering menghindarinya. Nyatanya apa
yang aku benci akan menjadi tempat dan teman yang nyaman untukku saat ini. Sepi
yang menjadi teman untuk mendengarkan semua isi hatiku. Sekarang, aku suka
padanya. Percaya semua yang dikehendakinya. Aku tak berhenti untuk bercerita
kepadanya. Sekarang aku mengerti di balik sepia ada sesuatu Yang Lain. Yang
Lain adalah orang yang mengatakan siapa aku seharusnya, tetapi bukan siapa aku
sesungguhnya.
“Jika memang ini yang terbaik untuk hidupku aku akan
melakukannya sepenuh hati,” Sambil aku menatap
potretnya di dinding kamarku. Dia hanya diam. Dan mungkin dia hanya
memilih untuk diam. Aku tak peduli entahkah ia tidak menjawabku. Aku terus
bertanya kepada-Nya. Aku tahu, Dia menderita hanya karena cinta-Nya yang
begitu besar kepada manusia.
Mungkin hidupku telah ditakdirkan seperti ini. Hatiku beku.
Tak mampu berkata-kata. Menjawab dan menghadapi dunia yang tidak memihak padaku.
Tak tahu bagaimana. Aku hanya diam. Dan tetap diam. Aku tidak bias membohongi
diriku dan niatku sudah bulat. Aku hanya ingin pergi dan berjalan bersama-Nya.
(Baca
juga: Janji dan Menghapus Jejakmu || Kumpulan Puisi Safry Dosom)
Bagiku suara hatikulah yang menentukan kehidupanku. Tuhan
hadir di situ. Aku lebih memilih pilihanku. Bagiku pilihanku itu akan menentukan suatu kebahagian yang terbesar
yang tidak dapat dibandingkan dengan apapun.
Aku terinspirasi oleh jawaban Bunda Maria. Aku ingin
menjadi sepertinya. Bersedia menjadi hamba yang baik, renda hati dan menerima
tugas Allah dengan tulus hati. Dia sungguh baik dan aku tertarik pada jawabanya.
“Terjadilah padauk menurut kehendak-Mu.”
Jawaban Bunda Maria inilah yang membuat hatiku kuat dan
kembali ke masa laluku. Melihat kembali semua yang telah
aku pikirkan di masa kecilku. Aku ingin memulainya lagi.
Berusaha untuk tetap kuat. Menghadapi situasi dan realitas yang tidak memihak
padaku. Aku harus berdiri dalam pendirianku. Mungkin inilah jalanku. Aku harus berusaha
untuk melakukannya.
Namun, aku kesal. Lagi-lagi mereka tidak menghiraukan
pilihaku. Mereka tidak mengetahui maksudku. Dengan mati-matian mereka membantah
pilihanku. Air mata tak mampu aku bendungkan. Mengalir tanpa henti.
“Ah Tuhan mungkin ini bukan jalanku.”
(Baca juga: Halte di Kota Ruteng || Cerpen BD)
Namaku adalah Rio. Sekarang usiaku sudah 19 tahun.
Aku adalah anak sulung dari ketiga
bersaudara. Anak kedua namanya Sasi dan anak ketiga namanya Enjel. Aku
dilahirkan dan dibesarkan dalam keluarga katolik. Sejak kecil aku dan adikku
selalu diajar dan dilatih layaknya seorang katolik. Kami selalu
diajarkan juga untuk selalu berdoa dan membantu sesama. Mereka selalu
mengatakan bahwa Tuhan hadir lewat orang lain. Hidup harus melayani bukan untuk
dilayani. kalimat inilah yang selalu mereka ajar dan tekankan kepada kami.
Kedua orangtuaku memiliki pekerjaan yang berbeda. Ayah
seorang pengusaha yang cukup sukses dan ibu seorang dokter yang mempunyai
jabatan tinggi di rumah Sakit. Di tengah kesibukan pekerjaan, mereka tidak
peranah melupakan semua kegiatan-kegiatan di paroki. Mungkin mereka pasutri
yang sangat semangat dalam mengikuti semua kegiatan-kegiatan di paroki. Seperti
paduan suara, katekese umat dan lain sebagainya. Mereka juga selalu aktif dalam
kegiatan amal. Memberikan sebagian dari hasil usaha dan kerja mereka untuk
membantu orang lain.
Suasana di Rumah hari ini tidak seperti biasanya lagi. Hari-hari
sebelumnya kami saling membagikan pengalaman-pengalaman yang telah kami lalui.
Suka dan duka kami selalu rasakan bersama. Canda dan tawa selalu hadir di dalam
hidup kami. Ayah dan ibu juga turut hadir dalam moment yang bahagia itu.
Makanan yang ada diatas meja tak mampu aku makan.
Semuanya terasa hambar. Teh hangat dan roti panggan yang menjadi menu favoritku sejak kecil pun tak bias aku minum dan aku makan.
Aku hanya diam. Melihat mereka yang masih membahas soal
pilihanku. Mereka tidak menghiraukan apa yang telah aku putuskan. Bagi mereka
mungkin itu pilihan yang keliru. Mereka hanya ingin pilihan hidupku hanya
mereka yang bias putuskan entah kemana aku harus pergi. Tetap saja aku tidak
mau.
(Baca
juga: Berkali-kali Ditolak Frater, Sophie: Lebih Baik Menabrak Matahari dan Memeluk Dingin!
“Aku berhak untuk menentukan pilihanku!”
“Ini bukan soal pilihan, ibu hanya memikirkan
masa depanmu!”
“Kamu harus berpikir lagi, tentang pilihanmu
itu,” sambung Ayah lagi.
“Pokoknya kamu harus kuliah di UGM, ada teman Mama
di sana dan mama sudah kontak mereka supaya kamu daftar di fakultas kedokteran.”
Suasananya semakin hening.
“Kamu itu satu-satunya yang bias untuk
melanjutkan bisnisnya Bapa”
Dengan suara yang lantang dan mata yang tajam Ayah
terus menatapku. Aku hanya tunduk. Berusaha untuk tidak mendengar dan
mengalihkan semua pikiran.
“Dan kamu juga sebagai penerus keturunan dari
keluarga kita!” sambungnya lagi.
Sejak kecil aku tak mau seperti mereka yang memiliki
usaha yang sukses dan pekerjaan yang baik. Entahkah itu pilihanku. Aku tidak mau
disegani oleh orang lain. Aku ingin terbuka. Melihat orang lain sebagai sesuatu
yang sama. Tanpa perbedaan. Itulah cita-citaku. Aku ingin keluar dari hidupku
saat ini. Mencari sesuatu yang baru dan cara hidup yang baru.
Oma Marta hanya melihat dan mendengar. Karena ia tahu Ayah
satu-satunya anak yang paling keras. Ia sangat iba melihatku, tetapi ia tidak bias berbuat apa-apa. Ia juga ikut menangis ketika aku tidak bisa menahankan air mata.
Serentak aku berdiri dan meninggalkan mereka.
“Rio kamu harus mendengarkan Mama dulu, ini
penting na!”
Aku terus berjalan.Tanpa melihat mereka sedikit pun. Aku
terlanjur kaku. Aku sangat marah pada mereka. Mengatur aku seperti anak kecil.
(Baca
juga: Alasan Seorang Frater tidak Sulit Tinggalkan Kekasihnya – Nerapost)
setiap hari pun aku jarang keluar kamar. Berusaha untuk
menenangkan diri. Setiap hari aku tak menghiraukan ayah dan ibu lagi. Meskipun
itu sulit, tetapi aku berusaha untuk melakukanya.
Aku merasa terluka. Mendengar keputusan mereka. Aku
berusaha untuk tetap kuat. Namun, tidak bias aku lakukan. Aku mengerti apa yang
mereka inginkan. Mereka sangat mencintaiku. Tetapi aku telah mencintai apa yang
telah aku pilih. Meski keputusan itu aneh bagi mereka.
Satu-satunya orang yang masih memihak dan mendukung pada
pilihanku adalah Oma Marta. Dia selalu memberikan aku motivasi agar aku tetap kuat.
“Ikutilah mimpimu, ubah hidupmu, ambilah jalan yang
membawamu kepada Tuhan, dan jadilah orang yang bertanggungjawab.” Katanya.
Aku merasa kuat mendengar ucapanya ini. Aku selalu
bersyukur kepada Tuhan, karena ia masih menitipkan orang yang terbaik di dalam
hidupku dan selalu memihak padauk.
(Baca
juga: Setelah Sidang Skripsi, Sophie: “Frater, Tetap Langgeng dengan Panggilanmu ya!”
Cita-cita untuk menjadi seorang imam telah muncul sejak
kecil. Muncul ketika aku sudah mulai bergabung dalam semua kegiatan di Gereja.
Saat itu aku mulai aktif menjadi putra altar (misdinar). Dari situ aku merasa
ada sesuatu yang lain di dalam hatiku. Aku kagum mendengar khotbah yang dibawakan oleh seorang Pastor. Kata-katanya sangat bijak. Ia tidak
hanya pandai dalam berkata-kata tetapi dengan cintanya juga ia selalu membantu
umat Paroki dalam segala kesusahan. Sungguh tugasnya sangat mulia.
Sejak saat itulah benih panggilan itu muncul. Tanpa berpikir
Panjang aku ingin masuk seminari dan mau menjadi seorang imam. Entahkah itu cara
Tuhan memanggilku. Namun, niat itu hanya
sia-sia. Kedua orangtuaku tidak merestukan pilihanku. Dengan begitu banyak
alasan dan akhirnya niatku itu batal.
Aku merasa kecewa dan terluka. Setelah itu aku masuk sekolah menengah biasa
yang cukup terkenal di kota kelahiranku. Semenjak saat itu niatku sudah perrlahan memudar.
(Baca
juga: Bangkitnya Seorang Penyair || Cerpen Bung Donttel (BD)
Hari ini aku tidak keluar kamar. Aku hanya diam. Aku sedikit
marah pada-Nya. “Mengapa engkau memanggilku lagi, atau engkau senang melihat
aku menderita? Aku tidak ingin terluka untuk kedua kalinya,” sahutku. Sambil aku
menatapnya di dinding kamarku.
“Mengapa engkau hadir kembali disaat hatiku mulai sembuh.
Aku ragu untuk melakukan untuk kedua kalinya, karena aku tak ingin menderita
lagi.” Aku menatapnya terus.
“Tuhan bantulah mereka agar mereka bisa merelakan
kepergianku. Aku sudah terlanjur mencintaimu. Dan memutuskan untuk memilih-Mu.
Tinggal bersama-Mu”
“Rio buka pintunya, Mama ingin berbicara
dengan kamu.”
“Aku hanya ingin tinggal sendiri dulu Ma.”
“Rio apakah kamu tidak mencintai ibu lagi?”
Segera aku bergegas turun dari tempat tidur
dan membuka pintu. Ternyata mereka semua ada di sana. Mereka memelukku.
“Kami tidak bisa menghalangi niatmu. Jika itu memang pilihanmu
pergilah.”
“Ingat jika itu bukan panggilanmu cepat kontak
Mama, karena Mama ingin punya cucu,” sahut Mama sambil tertawa.
Sekali lagi aku memeluk mereka. Terima kasih Tuhan untuk semua rencanamu.
(Baca
juga: Pastor dan Sahabat Pemabuknya- Nerapost)
Setelah sekian lama aku di seminari, kini tiba saatnya aku
menerima rahmat tahbisan diakon. Rahmat ini sungguh luar biasa bagiku. Keluargaku
pun ikut bahagia bersamaku. Kesedihan telah menjadi kebahagiaan.
“Nak maafkan ayah dan ibu yang telah melukai hatimu,
cinta dan rencana Tuhan sungguh luar biasa bagimu”.
Mereka memeluku dengan erat. Suara tangisanku terus
menggema di dalam kapela seminari. Aku tak bisa menahanya lagi. Mereka juga pun demikian. Kini saatnya aku
merasa bebas. Menjalani kehidupan di dalam dunia baruku.
“Terima kasih ayah dan ibu untuk kerelaan kalian memberikan
anak yang sangat kalian cintai untuk tinggal dan berkerja di dalam rumah Tuhan.”
Suasana pun semakin haru. Mereka semua yang hadir untuk
menyaksikan rahmat tahbisan diakon ini semuanya menangis. Keluargaku pun sangat
bangga. Mereka yang dulu tidak merestuiku kini telah berbahagia bersama aku.
(Baca
juga: Pedagogi Kritis Henry Giroux dan Terang Kebangkitan Literasi di NTT)
Aku sering tersenyum sendiri ketika aku mengingat kembali
semua pengalaman yang terjadi pada diriku dang keluargaku. Dari situlah aku
mulai menyadari bahwa panggilan Tuhan sungguh indah pada waktunya. Rahmat
tabisan ini sangat mendorong aku untuk
mencintai Tuhan yang lebih dalam lagi. Aku juga harus mempelajari semua yang
bisaku pelajari dari semua pengalamanku. Suka maupun duka. Dengan itu aku
semakin bebas menerima dan menjawabi panggilan Tuhan.
“Tuhan, kuatkanlah hatiku. Ajarkanlah aku agar biasa melayani semua orang melalui cintaku. Biarkanlah aku menjadi alat-Mu untuk melayani dan membagikan cinta-Mu kepada semua orang. Terima kasih juga untuk kebahagiaanku yang telah aku dapat. kebahagiaanku menjadi kebahagiaan-Mu juga dan bagi mereka yang membutukan penghiburan melalui kebahagiaanku itu”. Terima kasih Tuhan
Post a Comment for "Ah Tuhan || Cerpen Safry Dosom"