Dia Telah Pergi || Cerpen Whyildher Brayikin
(Sumber gambar: plus.kapanlagi.com)
“Jatuh cinta sangat mudah.
Namun, membangun cinta sangatlah sulit”
Jika cinta sudah menembus jantung, maka
akan sulit dilupakan. Ibarat seseorang yang kakinya kena knalpot. Saat pertama,
tentu sakit, panas, dan perih dirasakan. Namun, seiring berjalannya waktu, sakit
itu akan hilang, dan tersisa bekasnya. Bekas ini membutuhkan waktu yang lama
untuk hilang. Begitulah pengalaman
bercinta yang kurasakan.
Aku pernah jatuh cinta dengan seorang
gadis yang sangat cantik, berparas melati dan imut. Aku tak perlu menyebut namanya, biarkan aku dan Tuhan
yang tahu. Namun, aku hanya bisa mengatakan bahwa dia adalah si Bintang Jatuh.
Dia sangat anggun. Dia selalu memancarkan senyuman manisnya, bila menatap aku. Lekukan
pipi lesungnya sontak membuatku tertegun.
“Ahhh…Dia sangat sempurna.
Dia memang pantas untuk diperjuangkan.” batinku.
Jujur, aku sudah mencintainya, sejak aku pertama kali bersua rupa dengannya. Perasaan ini semakin mengakar, ketika aku sering berjumpa dengannya pasca pertemuan pertama kala itu. Aku merasakan ‘kenyamanan’ ketika berada di dekatnya. Rasa nyaman mengungkapkan bahwa telah tumbuhnya benih cinta di sana. Aku sontak berefleksi bahwa mungkin ini yang dinamakan jatuh cinta pada ‘pandangan pertama’.
(Baca juga: Di Palacio Real de Madrid || Kumpulan Puisi Melki Deni)
Aku ingin agar segera
memilikinya. Dia menjadi sosok yang sangat ingin kumiliki. Hal
ini memantik diriku untuk memuntahkan kata-kata cinta yang tertampung dalam
mulutku. Aku tahu bahwa cinta itu tak ada artinya, bila disimpan dalam hati.
Sebab, itu hanya menjadi sampah. Pasalnya, tumpukan sampah di dalam tempat
sampah. Jika sampah tersebut tidak segera dibuang, maka akan busuk dan
menebarkan aroma tak sedap bagi lingkungan sekitar. Begitu pula dengan perasaan
yang menggebu-gebu dalam hatiku. Semuanya tak memiliki arti, jika aku tak
mengutarakannya. Dia menjadi
pemeran utama dalam setiap rapalan doaku kepada sang Pencipta.
Pada tanggal 2 Oktober 2021, aku ingin bertemu dengannya. Waktu
itu, aku mengajaknya ke sebuah taman yang dilengkapi pelbagai jenis bunga
dengan warna yang beragam. Ada warna putih, kuning, merah, biru tua, dan
lain-lain. Sembari
merasakan puputan bayu senja sebagaimana tiupan sang Ilahi, aku memberanikan
diriku untuk menyatakan perasaan suka padanya. Aku menuturkan semua perasaan yang sekian lama terpendam dalam
kalbu ku. Dengan nada halus,
tulus dan penuh keyakinan, aku secara terus terang menyatakan bahwa aku
mencintainya. Akhirnya, kemauan untuk memilikinya sebagaimana sangat
kugandrungi direstui oleh Tuhan. Dia menerima perasaan cintaku. Mulai saat itu,
kami telah menjalin hubungan. Kami berjanji agar tetap menjaga hablun dan
komitmen untuk menua bersama. Bahkan, ia
pernah mengumbar janji untuk selalu bersamaku.
(Baca juga: Magang di Media Indonesia dan Metro TV; Tantangan dan Peluang)
“I will always with you” ucapnya
kala itu.
Kata-kata itu telah
memberikan harapan bahwa hubungan kami akan langgeng sampai maut
memisahkan. Aku tak pernah berpikir
bahwa hubungan yang sedang kami jalani tidak akan berakhir. Sebab, kata-katanya
menjadi power yang menguatkanku untuk merawat benih cintaku padanya. Kami
sering menghabiskan waktu luang kami untuk bersama. Bahkan,
mengabarinya menjadi suatu kewajiban yang tak pernah kulupakan sebelum Sang
Surya terbenam. Aku sering mengabarinya via Facebook, WhatsApp, dan Instagram.
Aku hanya ingin memastikan bahwa dia sedang baik-baik saja. Sebab, Aku
sangat menyayanginya dan
tak mau kehilangan dirinya.
Putaran jarum jam begitu cepat. Tak terasa kami sudah menjalin hubungan selama tujuh bulan. Akan
tetapi, entah kenapa realitasnya berbeda sekarang. Semuanya telah berubah sekejap. Semua kisah cinta yang
selama ini dibangun serentak hilang lenyap ditelan oleh waktu. Dia
telah pergi. Dia meninggalkanku. Aku kesepian. Kepergiannya menyedihkan daku. Aku
diliputi rasa gundah gulana. Aku tak bisa menceritakan betapa pilunya aku,
ketika dia meninggalkanku kala itu. Aku
bungkam. Aku hanya bisa menceritakan betapa pilunya hatiku lewat kata-kata yang
menjelma menjadi mata air di mataku. Ini menjadi realitas yang sulit kuterima.
Kenapa kita harus dipertemukan jika memang pada akhirnya kita tidak akan pernah mampu untuk dipersatukan? Kenapa aku harus mencintai seseorang yang nyatanya telah menjadi milik orang lain?
(Baca juga: Sumarto dan Impiannya yang Dipaksa Mati || Cerpen BD)
Masalah perasaan saat ini tentu tidak
hilang begitu saja. Dilema dan konflik batin senantiasa memberontak dalam
kalbuku. Terbiasa dalam kebersamaan dan tak bisa kubayangkan bagaimana aku tanpamu.
Mengingat sosok dirimu membuat aku rindu. Malam menghadirkan sosok bayang
tentang dia yang tersayang. Paras cantiknya tergambar jelas, senyum simpul
menghias. Senyum terukir, tak terasa air mata mengalir. Meskipun semua impian
yang mengalir, sungguh pun
kutak
ingin semuanya berakhir. Tapi, apalah
daya, aku tak bisa melawan takdir. Aku tak tahu caraku menyikapi
hal ini. Haruskah aku melumpuhkan ingatanku tentang dirimu?
Teruntuk kamu yang telah pergi. Terima kasih telah mengisi sebagian hidupku yang dulunya masih rumpang. Banyak kisah yang telah kita ukir bersama. Kisah yang dibentuk di siang hari, bahkan terbawa mimpi di malam hari. Namun, Kini semuanya hanya menjadi puing-puing kenangan terindah dan sulit dilupakan.
* Whyildher Brayikin, Mahasiswa IFTK Ledalero
Post a Comment for "Dia Telah Pergi || Cerpen Whyildher Brayikin"