Bahasa Menguasai Panggung
(Sumber gambar: www.merdeka.com)
Oleh: Aldi Jemadut*
Dalam
dunia demokrasi bahasa adalah salah satu alat yang digunakan untuk beretorika.
Hal ini sangat sering dilakukan di tengah pekiknya demokrasi, terutama ketika
menuju pemilihan umum atau pemilu. Untuk melancarkan segala hal yang berkaitan
dengan kemajuan dari politisi maka bahasa sangatlah penting karena itu sebagai
satu-satunya kekuatan dasar yang digunakan oleh para calon, baik eksekutif
maupun legislatif saat beretorika di tengah masyarakat. Kekuatan bahasa menjadi
sebuah garda terdepan dalam mencapai suatu tujuan yang efektif terutama dalam
menarik perhatian masyarakat. Begitu
banyak para calon yang ingin merebut kekuasaan di kursi pemerintahan dengan
mengalihkan berbagai janji kepada masyarakat. Adapun janji-janji yang
disampaikan terutama berkaitan dengan suatu tujuan kedepannya dalam membangun
atau menata dalam menjemput perubahan.
Antara bahasa dan kekuasaan dalam dunia demokrasi sangat seiring dan sejalan
sesuai dengan konsep yang sudah lahir dari para calon yaitu ingin menjadikan
bahasa sebagai satu-satunya dalam menarik perhatian masyarakat, agar masyarakat
dengan mudah percaya kepadanya. Bahasa pun menjadi suatu fungsi yang amat
penting.
(Baca juga: Polemik Pendidikan Daring di Tengah Pandemi Covid-19)
Melalui
coretan singkat ini penulis mencoba membongkar stigma yang sering digunakan
oleh para calon dalam menarik perhatian masyarakat dengan menggunakan bahasa
sebagai alat untuk merebut kekuasaan. Bahasa yang sering digunakan oleh para
calon adalah bahasa kebohongan dengan kata-kata yang menarik dengan memberikan
berbagai janji untuk menarik perhatian para pemilih yaitu masyarakat.
Kekuatan
Bahasa dalam Merebut Kekuasaan
Bahasa
merupakan elemen komunikasi yang esensial. “Bahasa mencuat dalam arus yang
mengalir dashyat, yang dengan gerakannya secara perlahan melicinkan permukaan
batu yang ada di dasarnya, arus yang menggerakan roda kelincir”, demikianlah
Boris Pasternak mengungkapkan kekagumannya pada kekuatan bahasa. Mungkin dengan
sebuah ungkapan dari Boris Pasternak ini, para calon legislatif atau pun
eksekutif berpelan-pelan menggunakan bahasa sebagai pelicin dalam beretorika
dengan kata-kata menarik dan menyentuh hati pemilih atau masyarakat. Banyak
narasi yang hendak disampaikan oleh para calon, itu semua demi mencapainya
sebuah tujuan yang sudah direncanakan dan pelan-pelan dipraktikkan. Karena
tanpa bahasa dan kata-kata yang menarik para calon pun merasa dirinya kurang
percaya dalam beretorika dan Ia sudah menyiapkan semuanya jauh hari sebelum hari
tiba. Sehingga daya dashyat bahasa pun menjadi tombak dalam perjuangan untuk
mencapai cita-cintanya dalam menjadi pemimpin. Ungapan makna yang dituangkan
melalui bahasa telah ditentukan yang lebih banyak dan yang bersaku tebal.
Bahasa juga dapat mengungkapkan relasi kekuasaan dalam masyarakat. Dalam konteks bahasa dan kekuasaan ini, bahasa adalah salah satu alat komunikasi yang sering dipelintir oleh para calon dengan menggunakan kata-kata yang menarik dan indah seakan itu sudah nyata. Hal ini sebagai media cengkraman dalam manipulasi politik dengan menyebarkan berbagai persoalan atau berbagai janji yang sangat menarik. Misalnya menyampaikan janji-janji kepada masyarakat jika ia akan terpilih menjadi pemimpin, maka semua permintaan masyarakat akan dilaksanakan. Sehingga masyarakat mudah percaya kepadanya, karena janji-janjinya yang begitu menebarkan ditengah kehidupan masyarakat tersebut. Untuk mendukung janji ini maka satu-satunya hal yang diperlukan adalah politik uang (money politic), dan begitu banyak para calon yang sudah mengalokasikan dana untuk membayar atau membeli suara secara rahasia.
Hal ini tentu sangat berpengaruh dalam perpolitikan yang murni dan bersih. Apabila seorang ingin terpilih dalam sebuah pemilihan, maka ia harus bersaku tebal karena untuk mendapatkan suara tertinggi dan banyak adalah suatu hal yang tidak mudah dan mestinya harus berjuang. Untuk melancarkan semuanya maka salah satu hal yang perlu dan penting bagi para calon dan para elit atau para pendukung lainnya adalah dengan memberikan pelicin kepada masyarakat secara rahasia yaitu dengan memberikan atau mengedarkan uang. Sehingga hal ini, kalau kita amati bahwa uang dan bahasa adalah suatu alat yang saling bekerjasama dalam merebutkan atau mendapatkan kekuasaan, serta sebagai media penghubung untuk menarik perhatian atau kepercayaan masyarakat.
(Baca juga: Kabar Duka dari Pulau Seberang || Cerpen BD)
Langkah
para politisi busuk dalam sebuah demokrasi mesti dijegal, sebab jika tidak akan
menjadi suatu persoalan dan menjadi pembusukan politik. Pembusukan politik ini
menjadi persoalan yang mengkwatirkan dalam demokrasi yaitu dengan mengedarkan
sejumlah uang kepada para pemilih agar para pemilih tertarik padanya. Untuk melancarkan
aksi dalam pemilihan, maka bahasa satu-satunya yang digunakan baik oleh para
calon atau pun oleh tim elit lainnya yang dipercaya yang bertujuan untuk
menarik perhatian masyarakat. Sehingga mulai nampak kepercayaan dalam diri para
calon, bahwa ia akan terpilih karena ia sudah mendatakan atau mengitung
sejumlah uang yang diedarkan. Hal ini tentu menimbulkan suatu praktik yang
tidak terpuji jika ia akan terpilih nanti, yaitu dengan melakukan korupsi atau
penyelewengan kekuasaan agar dengan mudah mengembalikan semua uang yang
diedarkan kepada masyarakat pada sebelumnya. Mungkin ini salah satu dampak
kemiskinan dan rendah kwualitas kesejahteraan dalam suatu negara karena
kekuasaan yang tidak bertanggung jawab dan hanya mementingkan kepentingan
pribadi, keluarga ataupun kelompok-kelompok tertentu. Demi melancarkan aksi
dalam merebutkan kekuasaan dalam kursi pemerintah adalah dengan mengalihkan
suatu tindakan yang tidak terpuji, sehingga merusakkan citra kepemimpinan dalam
berkuasa. Untuk mendapatkan kekuasaan dalam kursi pemerintahan tentu tidaklah
mudah dan mesti penuh perjuangan, apalagi jika lawan dalam sebuah politik
adalah orang-orang yang selalu konsisten dalam berpemipin.
Berkaitan bahasa dan kekuasaan yang sering digunakan, terutama dalam sistem demokrasi memiliki hubungan yang akurat. Dalam demokrasi bahasa adalah satu-satunya media sebagai orasi dalam menunjangkan kekuatan kekuasaan, hal ini menjadi dasar dan tolok ukur dalam melancarkan suatu aksi yang digunakan. Hal ini juga menunjukan suatu perpolitikan yang tertutup dan tidak terbuka kepada publik atau umum, karena tentu melibatkan suatu praktik yang tidak terpuji. Oleh karena itu, bahasa dalam demokrasi adalah suatu alat yang sangat penting dalam merebut kekuasaan dengan berbagai kata-kata yang menarik guna untuk menarik daya perhatian masyarakat. Bahasa sebagai kekuatan dasar dalam merebut kekuasaan.
*Aldi Jemadut, mahasiswa STFK Ledalero, Maumere.
Post a Comment for "Bahasa Menguasai Panggung "