Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Surat Itu || Cerpen Aldi Jemadut

Surat Itu || Cerpen Aldi Jemadut

(Sumber gambar: pixabay.com)

Suatu sore lelaki tua duduk di depan pintu rumahnya sambil menikmati secangkir kopi. Mulut mungilnya masih  asyik menghisap rokok SAGA kesukaannya, sembari menikmati secangkir kopi. Pikirannya tidak tenang memikirkan anak sulung yang  merantau dan tak kunjung pulang.  Di saat ia asyik duduk depan teras rumah, anak bungsu datang kepadanya. “Ayah, bolehkah aku masuk biara?” tanya anak bungsu padanya.

Lelaki tua itu diam seribu bahasa, bingung entah apa yang harus dibuat. Ketika Ia mendengar permintaan dari anak bungsunya matanya pun mulai berkaca-kaca. “Ayah, bisakah engkau menjawabku?” Anak bungsu bertanya kembali kepada sang ayah. Lelaki tua itu tetap diam. Ia bangkit berdiri dan langsung ke kamar menggantikan pakaiannya lalu ke kebun. Di kebun pun ia tidak bisa bekerja memikirkan anak sulung yang tak kunjung pulang dan anak bungsu yang ingin masuk biara. Pikirannya menjadi kacau.

Beberapa bulan kemudian, anak bungsunya  diam-diam test masuk biara. Kebetulan ada beberapa orang frater dari sebuah biara yang datang ke sekolahnya. Anak bungsu tersebut semakin semangat ketika melihat frater-frater berjubah putih dan terpampang rapi dengan indah salib merah pada dadanya.




(Baca juga: Resti dan Narasi-narasi yang Gagal || Cerpen BD)

 

Lonceng berdering, tanda semua anak kelas XII di sekolah tersebut untuk berkumpul pada sebuah ruangan. Semuanya duduk rapi dalam kelas. Para frater mulai mempromosikan biaranya. Kelihatannya anak itu sangat tertarik dan ingin sekali masuk biara. Ia tertarik karena biara yang dipromosikan oleh para frater tersebut adalah bagian melayani orang sakit. Tepat pada pukul 11.15 WITA, mereka mulai test aqiu sebagai persyaratan utama masuk pada biara tersebut. Yang test lebih dari sepuluh orang. Ia pun mulai mengerjakan soal dengan semangat tanpa beban. Tidak memikirkan lagi tentang sang ayah yang enggan menjawab permintaannya untuk masuk biara.

Sesampainya di rumah ia selalu membayang ketika kelak ia menjadi misionaris. Salib merah pada dada para frater tadi sangat bermakna. Apakah itu lambang dalam pelayanan biara tersebut? suara dalam hatinya. Begitu banyak pertanyaan tentang salib merah pada dada sang frater. Menjadi imam berarti harus siap melepaskan segalanya, termasuk kedua orangtuanya. Di situ ia mulai tidak tenang. Ia bangkit berdiri dari rebahan dan ambil handphonenya yang sedang cas.

 

(Baca juga: Pesona Bukit Wolobobo, Cocok Healing Bareng Ayang Maupun Mantan - Nerapost)

 

“Selamat malam adik, proficiat kamu lolos masuk biara. Selamat bergabung,” demikian pesan masuk pada WhatsApp-nya. Ia pun lompat kegirangan. Di meja makan keluarga pun ia tersenyum sendiri. Kedua orangtua dan saudarinya merasa aneh dengan tingkah anak bungsunya tersebut. Sebelumnya tidak seperti itu. Kedua orangtua dan saudarinya mencari tahu ada apa sebenarnya dengan anak bungsu tersebut. Kebetulan nama anak bungsu tersebut namanya Geradus.

Geradus bangkit berdiri dari meja makan dan lari ke kamarnya ambil sebuah amplop yang berisikan surat penerimaan masuk biara. “Amplop apa itu?” tanya saudarinya sambil minum segelas air putih. Ibunya juga bertanya, “Surat apa itu nana?” Sang ayah langsung memotong pertanyaan ibunya, “mungkin undangan pesta sekolah dari tetangga sebelah.” Geradus diam dan tidak berbicara, ia meneteskan air matanya. Hampir 15 menit lamanya ia enggan berbicara. Semua di meja makan diam, tidak satu pun berbicara.




(Baca juga: Catila; Wanita Bajingan di Balik Layar HP || Cerpen BD)

Geradus menyodorkan amplop itu kepada orangtuanya, menyuruh mereka untuk membaca. Karena orangtuanya tidak tahu membaca, lalu menyodorkan amplop itu kepada saudarinya yang baru selesai kuliah pada Universitas ternama di pusat kotanya. Saudarinya membuka dan membaca perlahan. Orangtuanya penasaran dengan isi surat-surat tersebut. Orangtuanya melihat air mata menetes pada pipi mungil anak perempuan mereka. Lalu perempuan tersebut mengatakan demikian, “Bapa, mama, Geradus masuk biara dan dia lolos”. Semuanya diam. Geradus hanya tertunduk, mungkin sebagai tanda minta restu dari orangtuanya.

Beberapa minggu kemudian kedua orangtuanya menyetujui keputusan Geradus untuk masuk biara. Ayahnya memanggil, “Geradus, sini dulu.” “Iya bapa bagaimana?” tanya Geradus kepada bapaknya. “Geradus, bapa dan mama sangat setuju apabila kamu masuk biar,” suara serak dari bapanya sambil meneteskan air matanya.

Dua bulan kemudian, tibalah saatnya Geradus masuk biara. Hingga kini Geradus merasa nyaman di biara, sebentar lagi ia akan ditahbiskan pada ordo pelayan orang sakit itu yang pada dada mereka terpampang rapi sang salib merah.

Post a Comment for "Surat Itu || Cerpen Aldi Jemadut"