Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Ketika Kita sedang Mencari Jati Diri, Tuhan: “Aquí Estoy!” - Nerapost


(Dokpri Melki Deni)


Oleh: Melki Deni


Bacaan 1: Yesaya, 58:7-10

Bacaan 2:1 Kor. 2: 1-5

Bacaan Injil: Matius 5:13-16

1.     Kita adalah garam dunia [Mat. 5:13]. Asin adalah identitas khas yang dimiliki oleh garam. Kalau asin‒identitas khas dari garam sudah tawar, dengan apakah garam diasinkan/ditemukan kembali identitas khasnya itu? Ketika garam kehilangan identitas khasnya, garam itu tidak berguna lagi baik bagi dirinya sendiri maupun bagi yang lain, dan karena itu, dalam Bahasa Injil, dibuang dan diinjak orang.

Pada Matius 5:13, Yesus mengumpamakan identitas kita seperti garam. Kalau identitas kita menjadi kabur, dengan apakah identitas itu ditemukan, diperjelas dan dipertegas kembali? Ketika kita kehilangan identitas diri, kita kehilangan harga diri. Tetapi kalau kita percaya dan membangun kembali persekutuan dengan Yesus, kita tidak akan kehilangan harga diri.


2.   Identitas mengandaikan harga diri. Identitas kita membuktikan siapa kita, apa yang kita buat, dan bagaimana kita menjaga, memperjuangkan, dan meningkatkan kualitas harga diri kita. Kalau kita berani menyebut diri sebagai yang beriman kepada Yesus Kristus, dengan berani pula kita meneladani hidup Yesus. Semakin kita meneladani Yesus, semakin jelas identitas kita sebagai murid dan sahabat Yesus.

 

 

 

(Baca juga: Hampa Dapur Ibu || Puisi Ani Taur)

 

3. Nama adalah tanda, seperti juga beragama katolik adalah tanda. Kalau mendengar sebutan nama Yesus, pikiran dan perasaan kita langsung terarah pada sikap, perkataan, perumpamaan, perbuatan, ramalan, penyembuhan dan segala sesuatu yang berkaitan dengan Yesus yang dikisahkan dalam Kitab Suci, penjelasan dalam tradisi gereja dan dokumen-dokumen gereja, tanda-tanda alam, pengalaman orang lain, khotbah/homili/renungan, dan pengalaman personal-subjektif. Kalau kita menyebut diri sebagai yang katolik, kira-kira apa yang menjadi gambaran identitas kekatolikan kita? Tidak hanya katolik, kita juga adalah yang satu, kudus, dan apostolik.

Kita memiliki nama masing-masing dengan arti dan makna yang terkandung di dalamnya. Kalau nama saya memiliki arti dan makna yang sama dengan orang lain karena saya suka menyalin-menempel identitas orang lain lain, apakah yang menjadi kekhasan makna dan arti dari nama saya? Kalau saya hidup hanya untuk menyalin-menempel identitas orang lain ke dalam hidup saya, saya akan mudah terpengaruh oleh pelbagai pengaruh dari luar, karena saya tidak berakar dalam identitas personal saya.

Kalau saya tidak berakar dalam identitas saya, saya mudah terombang-ambing di tengah ketidakpastian hidup. Ketika saya selalu hidup dalam ketidakpastian, bagaimana saya bisa menemukan kembali identitas dan jadi diri saya? Di sini identitas menentukan jati diri.

 

(Baca juga: Ketika Mantan Jadi Pastor || Cerpen BD)

 

4.  Jati diri tidak bisa disalin dari kehidupan orang lain, kemudian ditempelkan ke dalam diri kita. Jati diri lahir dari, oleh, dan untuk diri kita sendiri. Apabila kita memiliki jati diri yang baik, kita akan memiliki harga diri yang baik. Akan tetapi, apabila jati diri kita menjadi kabur, atau dalam bahasa Injil, tawar, dengan apakah jati diri itu ditemukan dan dihidupkan kembali?

Pada bacaan pertama dari Yesaya 58:7, Allah menegaskan jati diri anak-anak-Nya, yakni: “membagi-bagikan rotimu … dan membawa ke rumahmu orang-orang miskin …, dan memberikan dia pakaian, dan tidak membunyikan diri terhadap saudaramu sendiri!” Allah menghendaki supaya kita berbagi/memberikan kekuatan, menolong/memberikan keteduhan, memberikan pakaian/kehangatan, dan tidak menyembunyikan diri/terbuka terdadap sesama.

Sikap tidak menyembunyikan diri/terbuka terhadap sesama tidak hanya untuk orang yang tidak punya makanan, rumah atau pakaian, tetapi juga bagi orang yang punya makanan, rumah, atau pakaian. Kalau kita tertutup dan kikir, kita akan dipermiskinkan. Sebaliknya, kalau kita terbuka, kita akan diperkaya, dan “pada waktu itulah terangmu akan merekah laksana fajar, dan luka-lukamu akan pulih dengan segera” [Yesaya 58:8]. Kalau kita terbuka untuk diperkaya, harga diri kita akan semakin tinggi dan berkualitas.

 

5. Harga diri itu mahal sekali. Harga diri melekat erat dalam jati diri. Jati diri adalah identitas personal, otonomi, otentik, khas, dan unik. Rasul Paulus mengatakan dirinya tidak mewartakan kesaksian imannya akan Allah dengan kata-kata indah. Tetapi dengan jati diri kemuridan yang teguh, Rasul Paulus mewartakan kesakian imannya akan Allah.

Kelemahan, ketakutan dan gemetar tidak membuat Rasul Paulus tidak mewartakan Yesus Kristus yang disalibkan, karena ia memiliki iman dan keyakinan akan kekuatan Roh Kudus. Keyakinan itu membuat Rasul Paulus lebih takut kepada Allah daripada manusia, seperti yang dikatakannya: “Imanmu jangan bergantung pada hikmat manusia, tetapi pada kekuatan Allah [I Kor. 2:5]”. Di sini Rasul Paulus menegaskan identitas dan jati diri kemuridannya; ia tidak bergantung pada kata-kata indah atau hikmatnya sendiri, tetapi kekuatan Allah. Kekuatan Allah, seperti kata Pemazmur, adalah “Firman-Mu itu pelita bagi kakiku dan terang bagi jalanku [Mazmur, 118:105]”.

Kebergantungan atau penyerahan diri Santo Paulus kepada kekuatan Allah tidak hanya menunjukkan jati diri kemuridannya, tetapi juga meningkatkan kualitas harga dirinya. Harga diri kemuridan tidak memaksakan pengakuan, apresiasi atau penghargaan dari orang lain, sebab ia tulus. Harga diri itu memancarkan terang bagi sesama.

 



(Baca juga: Pacar Kontrak di Tempat KKN || Cerpen BD)

 

6.  Kita adalah terang dunia (Mat. 5: 14).  Pada bacaan pertama dari Yesaya 58:9-10, Allah mengingatkan: “Apabila engkau tidak lagi mengenakan kuk kepada sesama, … tidak lagi menunjuk-nunjuk orang dengan jari dan memfitnah, … engkau menyerahkan kepada orang lapar apa yang kauinginkan sendiri, dan memuaskan hati orang yang tertindas, maka terangmu akan terbit dalam gelap, dan kegelapanmu akan seperti rembang tengah hari”. Sebaliknya, buah-buah dari kegelapan ialah mengenakan kuk/menciptakan masalah dalam hidup orang lain, menuduh dan memfitnah, tidak membagi apa yang diinginkan sendiri, tidak membantu orang yang tertindas, dan tidak terbuka untuk diperkaya oleh orang lain dan Friman Tuhan.

Tetapi apabila kita hidup dalam terang, dan membawa terang kepada sesama, seperti yang dikatakan Yesus dalam bacaan Injil, “Hendaknya terangmu bercahaya di depan orang, supaya mereka melihat perbuatanmu yang baik dan memuliakan Bapamu yang di surga [Mat.5:16]”, maka “kebenaran menjadi barisan depanmu (kita) dan kemuliaan Tuhan berisan belakangmu (kita) [Yesaya, 58:8].

 

7.       Dalam kehidupan sehari-hari, krisis harga diri dan jati diri seringkali disebabkan oleh kurangnya pengakuan, apresiasi, dan penghargaan dari orang lain—terutama orang-orang yang dicintai. Pengakuan, apresiasi, dan penghargaan oleh diri sendiri tidak cukup untuk menyeimbangkan perjalanan hidup, dan menjamin kebahagiaan, kenikmatan serta kebebasan. Apabila kita kehilangan harga diri, kita akan kehilangan jati diri, dan segala-galanya. Itulah sebabnya kita bersusah payah untuk menjaga, memperjuangkan, dan meningkatkan kualitasnya.Kalau kita sedang krisis identitas diri, harga diri, dan jati diri, kita harus mencari dan menemukannya kembali pada sumber dari semuanya itu, yakni Allah Tritunggal Mahakudus. Kita membangun relasi dan persekutuan yang intim dengan-Nya, dan dari-Nya, kita akan mendapatkan kembali apa yang menjadi identitas diri, harga diri, dan jati diri kita yang sesungguhnya.Namun kita tidak hanya bertugas menjaga, memperjuangkan, dan meningkatkan kualitas harga diri dan jati diri kita sendiri, tetapi juga harga diri dan jati diri orang-orang di sekitar melalui pengakuan, apresiasi dan penghargaan atas pengalaman, pengetahuan, kinerja, perkataan, dll.Itulah nilai-nilai Injili yang mesti kita perjuangkan dalam hidup kita, supaya pada waktu kita “memanggil Tuhan dan Tuhan akan menjawab; engkau akan berteriak minta tolong, dan Tuhan akan berkata, ‘Ini Aku!’ (Bahasa Spanyol: Aquí Estoy) [Yesaya, 58:9]”.

Madrid, Sabtu 4 Februari 2023

Post a Comment for "Ketika Kita sedang Mencari Jati Diri, Tuhan: “Aquí Estoy!” - Nerapost"