Salib vs Absurditas - Nerapost
(Dokpri P. Tarsy Asmat, MSF)
Oleh: P. Tarsy Asmat, MSF
"Apa yang membuat
seorang romo bisa bunuh diri?" Pertanyaan ini dilontarkan oleh kolega saya
ketika mendengar berita seorang pastor di salah satu keuskupan meninggal karena
bunuh diri. Beberapa hari yang lalu, di belahan bumi lainnya, saya juga membaca
bahwa 9 imam di Brasil telah bunuh diri karena beban pekerjaan yang terlalu
banyak.
Rupanya kasus bunuh
diri ini tidak hanya terjadi pada mereka yang awam dengan diskusi mengenai
moralitas hidup, tetapi juga terjadi pada kelompok sosial yang dianggap sebagai
juru kunci dan pemangku ajaran moralitas di tengah masyarakat. Dengan demikian
kita menempatkan bunuh diri sebagai fenomena umum di tengah masyarakat. Terjadi
pada siapapun.
Namun, fenomena ini
sangat menarik untuk direnungkan lebih-lebih karena seorang pastor bunuh diri.
Mengapa? Bunuh diri juga adalah sebuah keputusan rasional yang paling kejam
sembari mempertanyakan tesis teologi agama atau iman bahwa kematian hanya
Keputusan Tuhan. Umumnya, konsep agama manapun, pasti menganggap bunuh diri
adalah sebuah perbuatan yang menantang dan memberontak kepada Tuhan sebagai
pemegang hak tunggal atas keputusan mengakhiri nyawa manusia. Namun fakta bunuh
diri di kalangan tokoh agama menjadi sebuah refleksi serius dari filsafat
manusia: apakah hidup manusia memiliki tujuan? Dan apakah manusia otonom atas
hidupnya?
(Baca juga: La Korrida de Toros: Pertarungan Memecahkan Kemustahilan - Nerapost)
Seringkali juga kita
mendengar selentingan, wah ini hidupku, bukan urusanmu yah! Tetapi kalau serius
kita memikirkan, memangnya hidup itu sendiri milik manusia, kapan dan dimana
ada perusahan memproduksi manusia? Apakah ada suku cadangnya, dll?
Rumusan agama khususnya
kristiani adalah awal dan akhir hidup ada di tangan pencipta. Namun berhadapan
dengan fenomena bunuh diri, rumusan itu seperti digugat dan perlu menjadi
refleksi yang serius.
Kita akan diantar oleh
sosiolog Emile Durkheim untuk melihat alasan sosial terjadinya kasus bunuh
diri. Menurutnya bunuh diri adalah fakta sosial. Fakta sosial adalah cara
bertindak, berpikir dan berperasaan yang memperlihatkan ciri-ciri tertentu yang
berada di luar kesadaran individu.
Sebagai fakta sosial,
tindakan bunuh diri disebabkan oleh tekanan dan ketegangan antara individu
dengan sistem nilai, moralitas dan norma-norma yang berlaku di masyarakat.
Dengan kata lain, bunuh diri bukan disebabkan oleh disorder psikis, atau kuat
dan lemahnya iman, tetapi tekanan besar
dari luar terhadap individu atau seseorang.
(Baca juga: Content Creator, Servin Indra Meraup Puluhan Juta Per Bulan - Nerapost)
Dengan tesis seperti
itu, Durkheim mengelompokkan beberapa alasan kenapa seorang bisa bunuh diri?
Pertama,
bunuh diri egoistik disebabkan oleh melemahnya integrasi sosial. Masyarakat
yang kental dengan keakraban dan tradisinya tiba-tiba menjadi masyarakat
individualis, apatis, kompetitor sehingga membawa kebingungan.
Kedua,
bunuh diri anomali, yaitu bunuh diri disebabkan oleh tidak adanya pengaturan
untuk aspirasi individu. Norma-norma dalam agama dan masyarakat, lemah dan
kabur sehingga menyebabkan seorang individu kebingungan dan tak memiliki
pegangan hidup. Sehingga ia selalu hidup dalam ketegangan dan tidak punya
fondasi lagi.
Ketiga
bunuh diri altruistik, disebabkan oleh menguatnya sistem nilai dan doktrin
sosial sehingga seorang pribadi
mengidentifikasikan hidupnya pada aturan sistem tersebut. Misalnya seorang tentara
mati di medan perang karena membela ideologi negaranya.
Keempat
bunuh diri fatalistik, karena norma-norma di masyarakat terlalu berlebihan.
Aturan-aturan agama, aturan-aturan masyarakat dan sebagainya terlalu banyak
sehingga dianggap beban dan membuatnya tak berdaya atau ia menyerah dengan
keadaan.
(Baca juga: Optimalisasi Peran Kaum Muda dalam Digital Talent Guna Menanggulangi Resesi Ekonomi Indonesia)
Namun Albert Camus
menerangkan lebih lanjut bahwa tindakan bunuh diri merupakan hasil dari konflik
nilai di mana kenyataan hidup yang diangankan tidak sesuai dengan kehidupan
real yang dilakoni seseorang. Misalnya orang mengharapkan kemudahan-kemudahan
dalam hidup, tetapi ia tidak menemukan kenyataan hidup yang sesuai dengan
angannya itu.
Camus mau mengatakan
bunuh diri sebagai pilihan karena melihat absurnya kehidupan. Tetapi bagaimana
iman kristiani melihat bunuh diri itu? Kenapa nilai-nilai hidup kristiani tidak
terinternalisasi dan menjadi katalisator bagi kecendrungan bunuh diri, bahkan
terjadi pada seorang pastor pengkhotbah moralitas hidup? Dimanakah
spiritualitas Salib Kristiani dalam menghadapi keterpurukan hidup?
Tidak gampang menjawab
persoalan pelik ini. Namun kita perlu menempatkan ini sebagai kasus. Kasus
salah satu atau pengecualian dalam keadaan
yang normal atau biasa. Artinya kematian karena bunuh diri merupakan sebuah
realitas yang terjadi di tengah kehidupan manusia meskipun ada moralitas agama
atau kristiani sebagai salah satu bentengnya.
Absennya moralitas
kristiani dalam hidup si pembunuh diri sendiri yang memahami dan mengajarkan
iman kristiani adalah sebuah kesempatan bagus bagi kita untuk merenungkan dan
bahkan menggugat penghayatan iman kristiani kita sendiri.
(Baca juga: Ketika Mantan Jadi Pastor || Cerpen BD)
Apakah basis nilai
kristiani serentak menjadi nilai hidup para pengikut Kristus? Apakah dengan
menjadi suster, pastor, uskup dan sebagainya sudah dengan sendirinya menjiwai spiritualitas
salib dan sabda bahagia di atas bukit?
Kematian bunuh diri
seorang imam menjadi alert bahwa apakah formasi pendidikan imam mampu menjawab
perubahan-perubahan jaman yang begitu cepat? Seperti ketegangan yang disodorkan
oleh Durkheim? Semangat kristiani kesederhanaan, kesetiaan, pengorbanan salib,
pertobatan dan formasi kemanusiawian perlulah menjadi perhatian utama. Namun
nilai-nilai iman kristiani tersebut lah yang justru sekarang dikepung oleh
realitas palsu, keindahan semu, oleh praktik hedonisme dan sebagainya.
Mengutip pendapat Camus
dan Durkheim di atas, maka bisa saja orang kristiani bahkan pastor itu sendiri
terjebak pada kebingungan moral yang akhirnya secara permisif melihat kehidupan
secara naif-absurd. Camus melihat dan menyodorkan dengan jelas tantangan jaman sekarang dengan
nilai kristiani. Sebab bunuh diri adalah pilihan karena hidup dipandang absurd
dan tak bermakna lagi,
Menyikapi itu, kita
insan pencinta hidup, perlu mencegahnya dengan memberi makna tujuan hidup kita
sendiri, bila tidak ingin terjerembab ke dalam jalan buntu dimana hidup yang
kita jalani sama sekali tak punya makna, tak nilai apresiatif dan keindahannya.
(Baca juga: Setelah Sidang Skripsi, Sophie: “Frater, Tetap Langgeng dengan Panggilanmu ya!”
Kita perlu punya
katalisator dengan bermula dari konsep diri bahwa tujuan hidup itu bermakna.
Makna hidup itu harus start sari kesadaran
jika kehidupan itu sebuah gift atau rahmat. Rahmat hidup itu harus
disyukuri melalui perbuatan-perbuatan cintakasih dan kebaikan. Atau kata lain
hidup itu bermakna jika berjalan pada garis relasional dengan ciptaan-ciptaan
lain. Sebaliknya kematian relasional, kemandekan dan perspektif vegetatif bahwa
hidup untuk dirinya sendiri
Kesadaran akan makna
hidup mendorong kita agar secara aktif seseorang terlibat dalam garis
relasional dengan orang lain. Profesi atau panggilan hidup merupakan sebuah
jalan untuk kita memaknai gift atau rahmat hidup.
Artinya panggilan hidup
religius atau pun panggilan hidup lainnya harus sampai pada merasakan dan
menemukan makna hidup kita sendiri. Jika proses hidup kita tidak sampai ke
situ, apapun jenis panggilan hidup kita hanya akan membawa kita pada penemuan
akan absurditas-jawaban akhir dari kehidupan kita yaitu hidup tanpa makna.
Maka baiklah kita
dengan cara yang positif merenungkan apa makna hidup yang kita ingin gapai dari
profesi dan panggilan hidup kita? Daripada merenungkan bunuh diri yang memberi
pesan absurditas. Tindakan alternatif dari kebekuan hidup dan kenyataan
pahit yang kita jumpai adalah dengan
menerima lapang dada spiritualitas salib. Spiritualitas salib adalah
spiritualitas cinta, pengorbanan dan penderitaan bagi mereka yang memiliki
tujuan hidup. Spiritualitas salib juga adalah spiritualitas pertobatan dan
penebusan bagi penemuan diri manusia yang penuh dosa dan naif. Maka hemat saya,
Salib adalah apologi yang tepat untuk absurditas hidup manusia.
Di bawah salib, margin
bawah hidup manusia menjadi temuan atau inspirasi baru.
Pratista, Bandung 19-2-2023.
Post a Comment for "Salib vs Absurditas - Nerapost"