Pnete Alep || Cerpen Elis Sulaona
(Sumber Gambar: lontar.ui.ac.id)
Tidur malamku belum
juga usai, belum sempat pula aku menutup mimpiku, tiba-tiba suara parau yang
berat terdengar di telingaku, “Oa ina, bangun sudah, siap kara dan obor. Kita berangkat
lebih awal.” Perlahan-lahan aku membuka mata dan menengok sebentar ke arah jam
dinding tua pemberian bapak tepat di atas pintu kamarku. Waktu menunjukan pukul
03:03 dini hari. “Masih terlalu gelap di luar sana,” protesku dalam hati. Meski
demikian, dengan mata yang masih mengantuk, aku mulai menyibak selimut lalu
melangkah ke arah dapur, mengikuti wanita tua paruh baya itu.
Dia itu ibuku, seorang
wanita yang sejak muda telah dididik menjadi wanita yang tangguh dengan ikut
melakukan pekerjaan-pekerjaan sebagai ibu rumah tangga, salah satu pekerjaan
yang paling ia gemari adalah pnete.
Pekerjaan itu dilakoninya dengan tanggung jawab dan penuh pengabdian. Meski
umurnya sekarang sudah mulai tua, tetapi semangatnya untuk pnete masih saja seperti masa mudanya. Dengan cekatan ia mulai mengambil beberapa
potongan kulit ikan paus lalu mengaturnya di dalam kara (bakul).
(Baca juga: Skripsi dan Gadis yang Gagal Menunggu || Cerpen BD)
Selanjutnya beberapa
ikan terbang yang sudah dibelah dan dikeringkan selama beberapa hari sebelumnya
serta sekantong garam yang sudah dihalusi dengan cara manual. Ia mengatur
semuanya dengan rapi agar mudah untuk membawanya nanti. Sejenak dia melirik
padaku yang masih terdiam melihatnya melakukan semua itu. Seperti terhipnotis,
aku malah membisu memperhatikannya. “Ayo atur barang-barangmu, setelah itu kita
makan lalu jalan”. Perlahan-lahan aku pun mulai mengatur barang-barangku
sebagaimana seperti yang dilakukannya tadi. Hanya saja kara yang aku gunakan lebih kecil. Selesai mengatur semuanya, kami
berdua pun sarapan seadanya lalu berangkat. Hanya berbekal obor, aku dan ibuku berjalan ke arah
Utara, menyusuri lorong-lorong kampung yang masih gelap dan sepi.
Perjalanan itu ditempuh
dengan jalan kaki ke daerah-daerah pedalaman di bagian Utara kampung Lamalera.
Perjalanannya cukup melelahkan, sebelum sampai di kampung pedalaman tersebut.
Sesampainya di tempat atau kampung yang dituju suasana pagi sudah mulai terang,
aku dan ibuku mulai melakukan barter dengan orang-orang di kampung pedalaman
tersebut. Hasil dari laut ditukar dengan hasil kebun seperti pisang, jagung,
kelapa dan lain sebagainya. Semuanya berjalan dengan lancer. Ibuku melakukan
tawar menawar dengan cukup baik. Alhasil sebelum siang semua barang bawahan
kami habis dibarter dan sebagai penggantinya kini, di dalam kara kami sudah terisi hasil-hasil
kebun.
(Baca juga: Pohon Lontar Tumbuh di Atas Kepala || Cerpen BD)
Aku cukup puas dengan
hasil semuanya itu: “Lain kali, ina juga harus ikut tawar menawar e. siapa tahu
nanti dapat jodoh,” canda ibuku sambil mengatur semua hasil barter tersebut ke
dalam kara kemudian membungkusnya
dengan kain. Aku hanya tersenyum manja sambil mengangguk mendengar kata-kata
ibuku itu. Setelah semuanya selesai, kami pun pulang. Ternyata maksud ibuku
untuk jalan lebih awal agar pulangnya jangan terlalu kesiangan. Selain itu,
hasil barternya lumayan baik dan banyak. Perjalanan pulang waktu itu awalnya
lancar dan aku masih bisa menahan beratnya bawaan. Akan tetapi, ketika hampir
memasuki kampung Lamalera, kebetulan ada jalan menurun yang cukup curam dan bebatuan.
Tepat di pertengahan jalan menurun itu, tiba-tiba batu yang menjadi pijakan
kakiku terlepas.
Aku pun tidak bisa menahan keseimbangan tubuhku dan bawaan ku , aku pun jatuh terguling sekitar 2 meter ke arah samping kiri jalan. Kara yang aku bawa pun terpental ke arah depan. Ibuku seketika berteriak sambil menurunkan kara dari kepalanya lalu berlari ke arahku dan memelukku. Dengan sangat cekatan ibu mulai mengeluarkan beberapa biji kacang tanah dari karanya lalu mengunyah sebentar dan menempelkannya di luka pada bagian lutut kiri dan lengan kanan atas. Aku hanya meringis kesakitan. Tanpa berlama-lama di jalan ibuku mengajakku untuk secepatnya sampai di rumah biar langsung ditangani dengan baik. Barang bawaanku dikurangi sedikit oleh ibuku dan kami pun meneruskan perjalanan ke kampung dengan perlahan-lahan.
(Baca juga: Perjamuan Suci di Meja Hidang || Puisi BD)
Dan ternyata luka itu kini, tertinggal menjadi sebuah kenangan manis di saat aku begitu merindukan ibu dan pnete. Kini ibu sudah terlalu tua untuk melakukannya lagi. Sedangkan aku, lebih memilih untuk melanjutkan pendidikanku. Bukan karena aku tidak mencintai pekerjaan itu. aku sangat bangga dan merasa berharga sebagai seorang perempuan Lamalera yang dinamakan “Ina Pnete alep” ketimbang menjadi seorang sarjana yang belum tentu mempunyai pekerjaan yang benar. Aku akhirnya memilih untuk melanjutkan pendidikanku agar bisa mewujudkan cita-citaku sendiri dan membantu pendidikan anak-anak di kampungku nantinya.
Tentu semua pilihan itu baik yang terpenting adalah bagaimana kita menjalaninnya dan menjadikan pilihan itu setidaknya bermanfaat bagi orang lain. Ibuku seorang pnete alep, yang telah berbakti kepada keluarga sepanjang hidupnya. Maka aku pun ingin berbakti dengan caraku. Hari Sabtu kan hari ini? Ya hari Sabtu kala itulah aku mendapatkan bekas luka ini. Perlahan-lahan aku mengelus bekas luka di lutut dan lengan tanganku sambil berbisik dalam hatiku: “Aku Rindu.”
Maukaro, 28 April 2022
Pelita pe gantiro ma Obor mungkin lbih tepat ema
ReplyDeleteSiap. Terima kasih
Delete