Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Pohon Lontar Tumbuh di Atas Kepala || Cerpen BD

(Dokpri Bung Donttel)


Anton menarik nafas, setelah kakinya cukup letih memanjat pohon lontar di belakang rumahnya. Tinggal beberapa meter lagi ia akan mencapai buahnya. Kakinya mulai gemetar. Anton tak cukup kuat, ia berhenti sejenak sambil mengumpulkan tenaganya. Keringatnya mulai membasahi bajunya lusuh yang penuh dekil. Wajar saja, setiap kali pulang dari kampus, ia selalu bermain dengan tungku api, pohon lontar dan kayu bakar. Asap mulai mengepul sebagai tanda untuk kehidupan hari itu. Ia pun sampai pada buah pohon lontar tersebut. Ia mengambil air nira dari buah lontar lalu mengambil sebilah pisau tajam melukai buahnya dan menadanya menggunakan jerigen bekas.

Kehidupan memang harus seperti itu, tunggu dilukai dulu baru tumbuh harapan baru. Di balik jalan, mobil fortuner hitam laju dengan kencang. Ia melihat anak orang kaya melemparkan bungkusan jajan di pinggir jalan. Ia menatapnya dalam-dalam sambil melihat tetesan air lontar jatuh ke dalam jerigen itu. “Enak juga memiliki kehidupan seperti mereka. Tinggal duduk di meja sambil main HP, tiba-tiba pelayan datang membawa makanan,” gumam Anton dalam hati. Sekitar 30 menit ia berada di atas pohon lontar. Matanya terus bernyala menyaksikan kehidupan yang tidak adil.

 

(Baca juga: Nunduk Manggarai: Renggerai Eros - Nerapost)



 

“Nak turun. Itu sudah angin kencang,” teriak ibunya dari dalam dapur. Tangga bambu itu mulai berbunyi. Angin pada siang itu sudah mulai nakal. Bambu yang sudah sedikit lapuk mulai bergesek dengan pohon lontar. Mereka mungkin sedang beradu kuat. Tentang siapa yang harus bertahan dari amukan angin kencang. Anton cepat-cepat turun sambil membawa jerigen sadapan air lontar yang isinya hampir penuh. Ia bergegas menuju pondok tua yang letaknya tidak terlalu jauh dari dapur. Di sana ia menyuling hidup dengan periuk tanah peninggalan ayahnya. Kayu api yang berserak dalam gubuk serta dua buah bambu diikat rapi. Jerigen jumbo berbaris di sudut pondok itu. Setiap kali mengambil air sadapan lontar, ia selalu menampung pada jerigen-jerigen tersebut. semakin lama ia menyimpan maka, kualitas araknya semakin baik.

Sore itu, ia membuat arak lagi. Hidupnya bisa terbilang untung-untungan. Arak itu sebagai penyambung kehidupan keluarganya. Ia anak semata wayang dari pasangan yang amat sederhana di kampung itu.  Beberapa tahun lalu ayahnya meninggal karena serangan jantung. Kini yang tersisa hanya ia dan ibunya. Satu hari ia mampu menghasilkan beberapa botol arak . Satu botol kecil ia jual dengan harga 40 ribu. Araknya amat laris di kampung itu dan juga beberapa orang-orang dari luar mulai berlangganan dengannya.

 

(Baca juga: Berpastoral hingga Tuntas: Ziarah Pelayanan Dua Katekis di Tuwa Paroki Datak - Nerapost)

 

Tempat penyulingan itu peninggalan berharga dari ayahnya. Ayahnya hanya meninggalkan harapan dalam pondok tua itu. Anton selalu berpikir tentang kehidupan ibunya yang sering sakit-sakitan. Perlahan, senyumannya kembali terbit setelah tetesan arak mengalir ke dalam botol. Araknya sangat jernih dengan kadar alkohol yang tinggi. Orang selalu berkesan dua seloki dari araknya mampu melenyapkan saraf sadar. Apalagi kalau sudah minum sampai satu botol, itu sudah tak tahu diri lagi. Ia tak suka mengemis kepada keluarganya yang kaya terutama berkaitan dengan biaya kuliahnya. Ia terus merapal mantra bahwa harga diri adalah urusan hidup mati yang tak bisa ditawar. Mending hidup miskin punya harga diri dari pada hidup kaya hasil korupsi. Pohon lontar itu terus berakar kuat dalam kepala Anton. Usianya sudah menua. Buahnya pun mulai tak lebat seperti dulu. Mungkin karena kurang air atau apa. Entahlah.

Anton tetap menunggu penyulingan arak sampai tuntas. Sesekali ia keluar dari pondok dan duduk di bawah pohon lontar. Sambil menepuk batang pohon lontar ia berkata “Hidup sampai nanti ya. Jangan mati lebih dulu. Ingat aku dan ibu.” Ekor matanya selalu tertuju pada ibunya di balik dinding dapur. Suara batuk ibu semakin berat. Api dalam tungku hampir-hampir padam. Sedangkan air lontar dalam periuk tanah tinggal sedikit. Ia bergegas melihat ibunya yang terbaring di atas pelepah bambu. “Ibu kambuh lagi,” tanya Anton dengan suara penuh kasihan. “Tidak nak, ibu baik-baik saja kog,” jawabnya sambil menyembunyikan lukanya. Ia tahu uang tabungan Anton diperuntukkan untuk registrasi biaya kuliah semester ini. Ia pura-pura baik di hadapan Anton sementara tubuhnya sudah dikuasi oleh penyakit yang sudah menyerangnya beberapa tahun yang lalu.




(Baca juga: Resti dan Narasi-narasi yang Gagal || Cerpen BD)


Anton menghela nafas dalam-dalam. Ia menatap ibunya sambil meneteskan air mata. Tangan ibunya mulai bergerak dan mengusap air mata Anton. “Ibu, ayo kita ke rumah sakit. Kesehatan ibu lebih penting. Jangan memikirkan uang kuliahku. Aman saja, selagi pohon lontar di tumbuh  di atas kepalaku. Semuanya pasti aman-aman saja,” kata Anton sambil memegang pipi ibunya. “Nak kehidupanku cukup seperti ini saja. Engkau harus selesaikan kuliah tepat waktu. Biar kita rayakan bersama di bawah pohon lontar itu. Aku memukul jerigen tua itu dan ayah menari sambil memegang tungku dari surga,” kata ibunya. Hati Anton serasa adem mendengar kata-kata ibu. Ia tanpa henti memeluk ibunya. Sambil melirik ke arah pondok  Anton bergumam dalam hati “Tuhan terima kasih, Engkau masih meninggalkan dua hal yang amat berharga bagiku, ibu dan pohon lontar itu.”

Kesehatan ibunya sudah mulai membaik. Ia tetap menjadi mahasiswa semester akhir dari program manajemen. Ia juga dikenal sebagai mahasiswa yang berprestasi. Beberapa kali ia menjuarai perlombaan ekonomi kreatif yang diselenggarakan oleh Wali Kota. Ia membuat tas, sandal topi dari ayaman daun lontar. Ia menjualnya dengan harga yang cukup murah. Kuliah manjemannya tidak sia-sia. Ia pandai membaca peluang. Namanya semakin dikenal di kota itu. Namun, Anton hanya membuat itu pada saat event-event besar. Ia tidak mau pohon lontarnya kehabisan daun. Bisa-bisa pohon lontarnya mati dan tak akan tumbuh lagi di kepalanya. Sekarang ia hanya fokus membuat arak. Hasil penjualan araknya bisa terbilang lumayan. Apalagi sekarang ia menjadi mahasiswa semester akhir. Arak dan lontarnya terus tumbuh bersama materi kuliah yang ia dapat dari kampus. Ia tak gengsi menjual arak di pinggir jalan.

 

(Baca juga: Menunggu Versi Terbaik dari Tuhan || Cerpen Erlin Efrin)

 

Moto hidupnya sederhana “Selagi halal untuk apa malu.” Kekuatan komitmennya sangat kentara di saat anak-anak muda seusianya mulai mengejeknya. Mereka sering mengejeknya dengan sebutan “Ana Arak”, tetapi Anton selalu dibawai santai. Ia tidak peduli dengan ejekan itu. kehidupan Anton memang seperti itu, mengapa harus malu.  Pohon lontar itu tumbuh bersama kehidupan di atas kepalanya. Ia menjadi pemuda pembuat arak yang amat santun. Kehidupannya mulai dipandang oleh tetangga. Hanya dengan arak ia mampu mencapai semester akhir perkuliahannya. Itu luar biasa. Pemuda-pemuda di kampungnya enggan berkuliah dengan alasan biaya. Namun, Anton membalikkan kenyataan itu dengan botol-botol Aqua berisi arak berjejer rapi di dalam rumahnya. Araknya sangat jerih sama persis kehidupannya nanti. Ia membunuh gengsi dan rasa malu sedini mungkin. Itulah caranya sampai ia bertahan. Hingga akhirnya pohon lontar itu tetap tumbuh sumbur di atas kepalanya.

Catatan: Cerpen berjudul "Pohon Lontar Tumbuh di Atas Kepala" pernah ikutserta dalam perlombaan cerpen tingkat nasional yang diselenggarakan oleh kampus IFTK Ledalero dan mendapat juara 2. Guna untuk edukasi dan inspirasi bagi kaum muda serta atas persetujuan dari panitia penulis memuatnya di dalam blog ini.

1 comment for "Pohon Lontar Tumbuh di Atas Kepala || Cerpen BD"