Perjamuan Suci di Meja Hidang || Puisi BD
(Sumber gambar: selisip.com)
Wajah lusuh berlumur
getah-getah suci,
Menggiringnya ke tempat pembantaian
yang keji.
Kata mereka; itulah janjinya di
hadapan Pilatus.
Bukan Aku yang berkata demikian,
engkau sendirilah.
Lalu, mereka berkata; ia menghujat
Sang agung kita.
Bukankah Aku Sang agung itu.
(Baca juga: Lentera Tuhan || Puisi Nadya A. S. Banggur)
Lalu, Berjalan menyusuri kerikil
keji hasil rerimbun jejak sang pendosa.
Pada resah dan pasrah yang kesekian
waktu.
Biarkan cawan ini berlalu, itu
kehendakKu.
Jika boleh. Sebab usiaKu terlalu
dini melayat dan melumat pasrah.
Pengkianatan Yudas dengan 30 dirham
menjual jengkal tubuhKu.
Apakah Aku semurah itu?
Aku bukan sang lacur yang kamu
sisip sepeser,
Lalu kamu tiduri seenaknya.
(Baca juga: Golgota || Puisi Nadya A. S. Banggur)
Aku sudah seumur detak waktu.
Kira-kira 33 tahun lebih tua dari
belia dan lebih muda dari Sang Guru.
Saban hari, Aku pergi dengan gegas
sambil memikul palang hina,
Pintu gerbang di buka, sekiranya
hatimu juga layak dibuka.
Ah, terlalu pahit anggur dari Sang
Bapa
Terlalu masam cuka dari sang ibu.
(Baca juga: Patah Pada Kacamata Dunia Maya || Kumpulan Puisi Sarina Daiman)
Layakah, Aku dibantai seperti ini.
Menyikapi sunyi di balik biasan
cahaya mentari.
Seakan Aku pergi dengan euphoria
semu dari jeruji paling suci.
Aku pergi dengan mencicipi sepiring
pagi pada meja hidang ekaristi.
Katanya; terlalu khusyuk mencintai-Nya,
ibu.
Sehingga Aku tidak sadar, perjamuan
itu terlaris di pasar mimbar.
Cambukan, Cacian, dan diludahi.
Sarapan terlaris sepaginya.
(Baca juga: Salib vs Absurditas - Nerapost)
Raga-Nya tak mampu memintal tubuh
sang suci dengan anggur asin buatan Farisi.
Cukup kentara, bukan!
Ia yakin di ladangnya sedang
ditunggui Sang Nabi Agung.
Untuk menggandakan sebakul roti,
dan sebotol minyak.
Meski sang suci berpaling muka, ibu
pas-kah saatnya.
Sang ibu memaksa, Nak sudah
saatnya.
Sekian banyak tamu, tak minum
anggur dari sang tuan.
Biarkan anggur-Mu dicicipi pada
mereka.
mereka tak sadar, anggur itu darah-Ku terlaris dari meja suci hidangan tuan pesta.
(Baca juga: Ketika Kita sedang Mencari Jati Diri, Tuhan: “Aquà Estoy!” - Nerapost)
Aku tidak persoalkan itu.
Yang aku persoalkan mereka mabuk
sampai tidak sadar,
Bahwa Akulah pengiris anggur yang
mereka seduh.
Sapu tangan. Handuk dan kebaya
kumal,
Air mata tangisan wanita, menghiasi
stasi suci.
Hei,,,jangan tangis aku!. Tangislah
anak-anakmu,
Serta suami yang pandai mencebur
diri pada wanita simpanan.
Lalu, mereka menjarah Jubah
dekil-Ku, serta diundi di antara sang bengis.
Lagi, siapa yang pantas untuk
mendapatkannya?
(Baca juga: Menabung Rindu || Cerpen Stefan Raharjo)
Apakah sang ibu?
Ataukah kita yang merasa mencintai-Nya?
Sekali, tidak. Bukan ibunya dan
bukan juga kita.
Ataukah Simon yang setia memanggul
derita-Nya sampai nafasnya terputus.
Lantaran cambukan dosa dari sang
bengis. Bukan juga, lalu siapa?
Yang pantas, kita yang mencintainya,
sampai mengais pasir di bawah salib,
lalu memalingkan muka dan berkata; Tuhan hanya ini yang aku punya.
Post a Comment for "Perjamuan Suci di Meja Hidang || Puisi BD"