Penantian yang Pilu || Cerpen Susana N. Kelen
(Sumber gambar: www.istockphoto.com)
Bias cahaya rembulan malam itu begitu indah dipandang
mata. Langit sedang santai, sedangkan bulan mulai berdendang rindu pada
tingkap yang paling sunyi. Rembulan itu sungguh indah, sebenarnya ia pandai
menawar hati yang resah, namun tidak untuk seorang gadis manis yang berparas
elok, berambut panjang, berlesung pipi itu. Gadis itu namanya Clara. Ia adalah
sosok yang mampu memikat banyak orang layaknya sang rembulan malam.
Malam
itu menjadi malam yang pilu bagi Clara. Gadis desa yang elok itu harus menerima
kenyataan bahwa air matanya dipaksa mengalir dari kedua bola matanya. Ia harus
berpisah dengan kekasihnya yang bernama Felix. Felix pandai menebarkan hati
Clara dengan perhatiannya. Ia juga sangat tampan layaknya Superhero.
(Baca
juga: Pembunuh Bayaran Berdarah Dingin di Balik Mimbar || Cerpen BD)
Felix
sang pujangga hati harus membuat suatu pilihan yang teramat berat dimana ia harus
meninggalkan Clara dalam waktu yang cukup lama. Entah berapa purnama yang akan
dilaluinya tanpa Clara. Ia belum bisa memastikan itu.
Felix
menerima sebuah kontrak pekerjaan yang mengharuskan dirinya untuk meninggalkan Indonesia
dan berangkat keluar negeri. Itu berarti Ia akan meninggalkan rembulan
hatinya untuk berapa purnama lamanya. Ini juga sebuah pilihan penting dalam
hidup guna menata massa depan mereka berdua.
Meski
itu berat Felix dan Clara. Mereka harus bersikap dewasa dan bijak dalam menerima
keputusan ini. Hati siapa yang tidak sakit berpisah dengan kekasih hati dalam
waktu yang cukup lama. Namun mereka menerima kenyataan itu demi massa depan.
Mereka berdua memutuskan untuk membangun komitmen yang pasti.
Mereka
harus siap menjalin hubungan jarak jauh, yang akrab dikenal LDR. Mereka bermodalkan
cinta dan kesetiaan akan mampu melalui semua ini meskipun jarak dan waktu yang
seolah-olah menjadi penghalang. Mereka yakin akan ada rindu yang selalu
terselip di antara jarak dan waktu itu. Bagi mereka ruang rindu itu akan selalu
hadir di kala hati dan rasa selalu terjaga.
(Baca
juga: Berpastoral hingga Tuntas: Ziarah Pelayanan Dua Katekis di Tuwa Paroki Datak - Nerapost)
Malam
itu menjadi perpisahan yang begitu menyedihkan dan sungguh memilukan hati
kedua. Hari ini Felix benar-benar pergi.
Mereka begitu berat untuk saling melepaskan, tetapi keyakinan dan kesetiaan
akan meyakinkan mereka bahwa kelak mereka akan bertemu di suatu purnama yang
telah mereka janjikan.
Hari-hari
setelah keberangkatan Felix ke luar negeri, rasa rindu Clara selalu memuncak. Namun
apa boleh buat Clara tak boleh ego. Ia
harus bisa memberi kesempatan itu untuk Felix meraih mimpinya. Clara tidak
membiarkan titel sarjana Felix mati dan tak berguna. Apalagi ia hanyalah seorang
gadis desa yang hanya menamatkan pendidikan di bangku SMA. Ia paham betul tentang
arti mimpi dan cita-cita, karena selain cinta Felix juga harus meraih mimpi dan
cita-citanya.
Bagi
Clara hari-hari tanpa Felix itu ibarat malam tanpa purnama, begitu hampa,
kosong dan gelap. Apa boleh buat Clara harus bisa melalui malam tanpa purnama
itu. Cinta berarti mampu berkompromi untuk setiap keputusan. Cinta bukan
membuat orang menjadi egois tapi cinta adalah sebuah seni mengikhlaskan hati.
Clara tetap yakin dalam penantiannya bahkan dalam seribu purnama pun Clara tetap
setia.
(Baca
juga: Laksana Penjaga Menantikan Fajar || Cerpen Whyildher Brayikin)
Waktu
terus bergegas pergi. Hari meninggalkan bulan sedangkan bulan mendatangkan
tahun. Kira-kira sudah setahun Clara lalui tanpa Felix, tapi rindu di balik
purnama itu selalu tersimpan indah untuk sang kekasih hati. Tahun pertama
berlalu Felix masih lancar dan sering menghubungi Clara melalui via telepon. Di
setiap purnama yang mereka janjikan Felix selalu memberi kabar lewat handphone hanya untuk bersua dengan Clara
dalam rindu di balik purnama itu.
Seperti
dalam kontrak kerja yang ditandatangani Felix bahwa massa kontrak kerja itu
selama lima tahun, itu berarti setelah tahun kelima berakhir, Felix baru akan
datang dan menyudahi penantian Clara. Clara masih tetap menanti dengan rindu dan
cinta yang sama, dengan purnama dan rembulan yang sama. Dia masih setia
menanti dan akan terus menanti hari itu.
Hari
ini adalah hari dan tanggal terakhir di tahun kelima itu berarti sebentar lagi
sang kekasih hati akan datang dan mereka pasti akan bersua dalam purnama yang
telah mereka janjikan.
Penantian
ini akan berakhir di bawah purnama yang mereka rindukan. Hari-hari penantian
itu terasa begitu indah, Clara selalu melewatinya dengan debaran-debaran hati
yang tak menentu. Apakah ini tanda dari sebuah kisah yang akan diabadikan?
Tentunya
Clara pasti berharap demikian, seperti janji Felix hari ke-10 di tahun ke-6 dia
akan datang dan mengakhiri penantian sang jelita hati. Hari itu tak seperti
biasanya Clara berdandan begitu cantik elok nan rupawan, karena sebentar lagi
nama yang selalu dirindukan dalam setiap purnama itu akan datang dan menggenggam
erat tangannya dan sambil berbisik merdu di telinganya “Will you marry me?” Harapan Clara terlampau indah.
(Baca
juga: Pesan Ibu dari Seberang Pada Anak Gadisnya || Puisi BD)
Dan
tiba-tiba di tengah khayalan Clara itu terdengar suara langkah kaki dan bunyi
ketukan pintu. Kaki dan jantung Clara berdetak semakin kencang. “Oh mungkin itu
felix?” gumam Clara dalam hati yang sudah diselimuti perasaan bahagia. Clara membuka
pintu dan berharap di balik pintu akan ditemui senyuman yang ia rindukan selama
lima tahun ini. Clara membuka pintu itu sambil memejamkan mata indahnya sambil
berkhayal dengan keyakinan bahwa di depanya itu adalah Felix. “Maaff….apakah
benar ini rumah nona Clara?” Clara tiba-tiba kaget dan membuka matanya karena
dia tahu suara itu bukan suara yang dia nantikan selama lima tahun ini. Suara
itu ternyata suara seorang tukang pos yang sambil menyodorkan sebuah paketan.
Clara
semakin bingung karena dia tak pernah memesan barang dan dari mana serta siapakah
pengirim paketan ini? Pak Pos itu menyodorkan paketan itu ke arah Clara dengan
perasaan ragu Clara mengambilnya. Clara sedang
tidak menunggu sebuah paket, tapi hari
ini adalah hari dimana Clara sedang menanti sang kekasih hati.
Dalam
kebingunganya Clara perlahan membuka paketan itu, ia juga penasaran apa isi
paketan itu. Tiba-tiba saja Clara bingung sendiri ternyata isi paket itu adalah
sebuah amplop besar berwarna coklat dan begitu tebal. Perlahan Clara membuka
isi amplop itu dan didapatinya sepucuk surat dan sebuah album foto yang begitu
tebal. Clara penasaran dan membuka album itu, seketika itu juga mata indah
mulai berkaca-kaca, mulutnya membungkam seribu bahasa dan kakinya seakan tak
mampu lagi tu melangkah.
“Tuhan inikah jawaban dari penantianku,” teriak Clara penuh histeris saat melihat album foto Felix yang bergandeng mesra dengan seorang wanita cantik bergaun pengantin.
(Baca
juga: Optimalisasi Peran Kaum Muda dalam Digital Talent Guna Menanggulangi Resesi Ekonomi Indonesia)
Apakah
ini yang aku nantikan?
“Felix,,,,tidak,
aku tak percaya kau telah memilih Clara lain di hatimu,” gumam Clara. Dengan perasaan
hancur Clara membuka lembar-demi lembar album foto itu dan lebih terkejutnya
lagi Clara mendapati sebuah album dengan pose seorang bayi perempuan yang
begitu imut di dalam pelukan Felix dan perempuan itu.
Clara begitu hancur dan teramat hancur. Clara melempari album foto itu dan mengambil sepucuk surat yang terselip dalam album foto itu dengan mata yang berkaca, tangan yang gemetar dan hati yang teramat hancur Clara membaca surat itu, beginilah isi surat yang membuat Clara menitikkan butiran-butiran air mata dari bola matanya.
(Baca
juga: Marla dan Kota Metropolitan || Cerpen BD)
“Kusudahi
Penantianmu”
Rembulan
malam ini begitu indah, akupun berharap kau masih indah dan manis layaknya
rembulan malam ini, dari mana dan bagaimana aku mengutarakan semua ini, aku
sendiri tak tahu.
Clara yang
kusayangi, kucintai dan kumimpikan. Aku harap
kamu mau membuka lembaran suratku ini. Aku tahu kalau hari ini kau sudah
berdandan begitu cantik, bahkan lebih cantik dari rembulan malam. Aku tahu
pasti kamu telah membuka album foto itu.
Clara
cintaku, jangan menutup suratku ini sebelum kamu membacanya. Hari ini adalah
hari dimana lima tahun lalu kita mengikat janji di bawah purnama malam itu. Aku
yakin kamu masih mengingatnya, bahkan aku tak sedikitpun melupakan janji itu.
Clara,,,,,!
Aku tahu sudah begitu banyak purnama yang kamu lalui hanya untuk menanti
kepulanganku, mungkin beribu rindu itu
kau selipkan di setiap purnama yang kita janjikan.
Maaffffff
,,,,, beribu maaf atas purnama yang kau lalui dengan segudang rindu itu. Aku tak
pantas saat menulis surat ini.
Namun, aku
akan lebih tidak pantas lagi kalau aku tak berkata jujur kepadamu, kepada
cintamu,, kepada penantianmu dan kepada setiap purnama yang kau lalui demi
menunggu diriku.
Clara,,,,!
Cintaku dan kesetianku bukan untukmu lagi .
Aku telah
jatuh dan terpikat pada bola mata lain yang saat ini telah menjadi pendamping
hidupku dan telah dipercayakan Tuhan untuk menjadi ibu dari putriku. maafff dan
hanya maaff dariku Clara.
Andai kau
tahu aku pun begitu berat untuk berkata jujur, tapi itu harus aku lakukan. Hari
ini Claraku,,,, KUSUDAHI PENANTIANMU. Maaf jika aku harus menyudahi penantianmu
dengan cara yang amat sakit.
Aku telah
mengikat hatiku pada janji suci di depan altar Tuhan setahun yang lalu, dan juga
telah dipercayakan Tuhan seorang putri cantik seperti yang kau lihat di dalam
album foto itu. dia putriku dia secantik dirimu.
Sekali lagi maaf Clara,,, merindulah pada purnama untuk Felix
lain yang mungkin lebih pantas untukmu. Aku dan keluargaku mohon maaf Clara. Kami
memang tak pantas untuk mendapatkan maafmu. Jaga diri dan hatimu, karena aku
yakin kamu akan mendapatkan yang lebih baik dariku.
Salamku
sekeluarga
“Felixxx”
(Baca
juga: Tingkatkan Kapasitas Diri, Fand Wasa Terjun ke Dunia Blog)
Seketika
Clara terjatuh lemas di tempat tidur. Dia tak berkata apa-apa yang ada hanyalah
air mata yang mengalir begitu derasnya dari kedua bola matanya. Clara merasa
seisi dunianya menjadi gelap tak berwarna. Dimanakah purnama itu? Clara menangis
dalam kepasrahannya dan membiarkan hatinya berdamai dengan kenyataan pahit itu.
Hari
terus berlau, Clara hanya bisa menangis dan meratapi nasibnya. Clara memutuskan
untuk mengirim surat balasan untuk Felix. Clara menulis demikian:
(Baca
juga: Rute Penerbangan || Cerpen No Eris)
“Ku Terima dalam
Luka dan Sakitku”
Purnama itu
seakan menghilang seketika dan rindu itu seakan membunuhku, sudah berapa
purnama yang kulalui tanpa dirimu. Aku pun
tak pernah menghitungnya, karena bagiku cintaku bukanlah sebuah tolak ukur yang
akan ku ukur dengan setiap purnama yang kulalui. Kau tahu itu Felix.
Aku
menangis dalam lukaku. Aku pasrah. Aku tahu
tak ada yang abadi dalam sebuah relasi. Tak ada cinta yang abadi selain cinta
TUHANKU.
Aku memang
menangis dengan luka yang teramat dalam, purnama menghilang dan tak akan
kembali kepadaku lagi. Lima tahun aku menjajaga purnama dan rindu itu hanya
untukmu. Aku tak tahu ternyata kau telah
terpikat pada bola mata lain yang lebih indah dari diriku. Aku tak berhak menghakimimu.
Aku sadar itu adalah pilihan Tuhan untuk dirimu dan diriku, tapi sebagai wanita
yang mencintaimu, aku terluka dan menangis.
Tapi
sudahlah jangan kau pikirkan lukaku, karena seperti kataku aku tak berhak
menghakimimu dan keluarga kecilmu, jangan kau pikirkan lukaku. Suatu hari nanti
seiring berjalannya waktu Tuhanku akan menyembukan lukaku. Pikirkanlah keluarga
kecilmu, gereja yang telah Tuhan percayakan untuk engkau pimpin, untuk bahtera
yang TUHAN percayakan engkau nakodai. Jika ada badai yang datang dalam bahtera
itu ingatlah dan hadirkan selalu TUHAN dalam badai itu sehingga Tuhan meredakan
angin ribut itu. Jadikan Nuh sebagai inspirasimu dalam menakhodai bahtera rumah
tanggamu.
Aku mencintaimu,
tapi sekarang cinta itu sudah tak pantas ku utarakan. Biarlah cintaku berakhir
bersama purnama yang selalu aku rindukan. Cintailah dia yang telah menjadi tulang
rusukmu, bahagiakan dia dan jangan pernah kau sakiti hatinya.
Doakanlah
aku supaya luka dan sakit ini cepat berakhir dan aku kembali menanti rindu serta
purnama lain yang mungkin kelak Tuhan berikan untukku. Aku menitip salam pada putri cantikmu itu, dia amat manis
seperti ibunya.
Salamku
“Clara”
(Baca juga: Setelah Sidang Skripsi, Sophie: “Frater, Tetap Langgeng dengan Panggilanmu ya!”
Setelah mengirim surat balasan kepada Felix, Clara sedikit merasa lega. Kini Clara memilih menyibukkan diri dengan berbagai kegiatan di desanya. Ia mulai memberi diri untuk menjadi ketua orang muda katolik di paroki tempat tinggalnya. Clara tak ada luka yang tak sembuh tak ada kisah yang tak berakhir. Luka, kecewa, sakit, itu adalah cara Tuhan mencintai dirinya dan juga ia mampu melalui itu semua dengan lapang hati. Di balik itu semua, Clara percaya Tuhan telah menyiapkan sesuatu yang lebih untuk dirinya. Mungkin TUHAN mau melihat sejauh mana Clara berharap dan berserah dalam nama-Nya. Hal inilah yang membuat Clara berhasil bangkit dari titik terendah itu.
*Susana N. Kelen, penikmat tulisan-tulisan sastra. Saat ini ia bekerja sebagai pengajar di SMK Bina Karya Larantuka.
Sukses terus Fr
ReplyDeleteUntk tulisan tulisanya
Tetap selalu semangat untuk berkarya... ๐๐๐๐๐๐ช๐ช๐ช
ReplyDelete