Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Pembunuh Bayaran Berdarah Dingin di Balik Mimbar || Cerpen BD

(Sumber gambar: depositphotos.com)

*Oleh: BD - Admin Nerapost.eu.org

Suaranya dengan penuh lantang dari mimbar yang suci. Menyuarakan tentang Tuhan yang maha baik dan maha segalanya. Tentang Dia yang menjadi teladan bagi semua. “Berbuatlah baik, senantiasa tanpa pandang bulu. Saling menolong akan mereka yang membutuhkan,” kata pastor Valen mengakhiri khotbahnya pada perayaan Minggu biasa ke IV. Umat yang hadir tertegun merenung dan meresapi sabda itu dengan sunyi.

Tak ada suara tangisan anak, tak ada bunyi-bunyian gesekan bangku tua. Pagi itu semua orang tunduk penuh  khusuk mendengar sabda dan menjamu Tuhan dengan persembahan diri. Nyanyian paduan suara di sudut dekat mimbar, mengidungkan lagu persembahan dengan meriah. Serah diri dan sesal sambil menimba air dan darah di Altar Tuhan. Perayaan ekaristi telah selesai. Umat pulang dengan membawa benih-benih sabda yang telah ditabur pastor Valen.


(Baca juga: Cinta yang Sepi || Puisi Lia Puka)


Pastor Valen dikenal dengan pengkhotbah ulung. Ia pandai meramu kata dengan diksi yang menarik. Di paroki itu, banyak umat yang datang ke Gereja hanya mau mendengarkan khotbahnya, tetapi kalau pastor tamu yang memimpin perayaan ekaristi, Gereja menjadi sepi hanya anak-anak sekolah saja yang memenuhi bangku paling depan. Itu pun karena mereka dipaksa oleh guru-guru agama di sekolah. Tak ada kesadaran penuh dalam pribadi mereka. Ya, itulah situasi umat di paroki itu. 

Pastor Valen mulai mengambil hati umat dengan gayanya. Jiwa mudanya mampu menggerakkan kaum muda di paroki itu, bahkan sejak kehadirannya OMK menjadi hidup. Paroki itu terkenal dengan paroki yang udik. Umat belum sadar akan kemandirian gereja. Mereka selalu protes tentang uang, bagi mereka pastor hanya bertugas untuk melayani umat. Tahun pertama menjabat sebagai pastor paroki, pastor Valen masih aman-aman saja.




(Baca juga: Tingkatkan Literasi di Masyarakat, Aldi Jemadut Dirikan Rumah Baca di Rembong - Nerapost)


Pelayanan tanpa batas menembus sekat-sekat kehidupan. Mentari belum puas melumat basah, pastor Valen sudah berjalan menyusuri hutan, menyapa umat di stasi-stasi terjauh. Pada petang, ia masih bersantai bersama umat, hingga malam sampai raganya benar-benar lelah. Ia pulang dengan santun, menghantar harapan pada mereka yang belum tersapa. Pelayanan natal tahun itu dibuat cukup unik, Pastor Valen harus merayakan ekaristi 3 kali pada malam dan 4 kali pada hari raya. Ia menjalankan itu dengan sukacita.

Khotbah-khotbahnya bergaya nyentrik yang diselingi dengan cerita-cerita humor. Bagi umat khotbah berjam-jam tidak menjadi soal, intinya ada canda dan tidak garing-garing amat, apalagi khotbah hanya marah-marah umat. Pator Valen sudah dicintai banyak orang. Jika Yesus disoraki di gerbang Yerusalem, pastor Valen juga disambut meriah dengan senyum kebahagiaan oleh umatnya. Caranya mengambil hati umat cukup elegan, pelan tapi pasti.


(Baca juga: Pendidikan dan Tanggung Jawab Sosial - Nerapost)


“Ia seorang pembunuh”, teriak ibu tua yang duduk di kursi paling belakang pada pesta pelindung paroki itu. Teriakan ibu tua ia, memantik mata yang sedang asyik melihat pastor Valen menyampaikan sambutannya. Orang-orang yang hadir mulai terusik. Ibu tua itu menangis histeris sambil melototi Pastor Valen.

Di akhir sambutannya pastor Valen berujar “Mari kita bahu membahu untuk memperbaiki ekonomi keluarga kita,” tandasnya. Umatnya hanya tersenyum, menyimpan sinis pada tingkap-tingkap lelangit kemah. “Omong enak, tetapi hati licik. Ada juga pastor yang berkolega dengan bandit,” gumam seorang babak tua dalam hati.


(Baca juga: Pancacinta dan Rindu Ibu || Kumpulan Puisi Melki Deni)


Aksi pembunuhan itu benar-benar nyata, pelan-pelan tapi pasti. Lima tahun kemudian, pastor Valen sudah mulai berubah. Pelayanannya bukan lagi soal kasih tetapi berorientasi pada uang dan persembahan. Ekaristinya bukan lagi menghantar umat pada keselamatan tetapi pemaksaan diri yang sadis. Uang stipendium dinaikkan dan persembahan harus banyak, mulai dari beras, ayam, bir dan sebagainya.

Setiap umat harus menyiapkan itu. Kalau amplop tipis khotbahnya asal-asal saja. Wejangan rohaninya mulai kering. Lagu-lagu dalam HP-nya juga sudah mulai diganti dengan lagu-lagu cinta. Tren dan gaya hidupnya perubahan total, ia tidak lagi memakai sandal swallow tetapi sudah memakai merek-merek ternama. Pastor Valen benar-benar hilang dari hati umat.


(Baca juga: Cara Mewujudkan Impian Menurut Paulo Coelho - Nerapost)




Puncak keberingasan dari pastor Valen pada saat seorang peneliti dari tanah Jawa datang dan mencoba mencari tahu seberapa besar kandungan emas di salah satu kampung di Paroki itu. Ia diutus oleh penguasa yang rakus. Puluhan tempat ia geruk, dengan janji kesejahteraan masyarakat terjamin. Tetapi hanya pandai mengumbar janji. Setelah ia mengambil sampai habis ia pulang menghidangkan Pitza lezat untuk istri, anak-anak dan koleganya. Ia tak pernah puas dengan kehidupannya. Bagiannya uang adalah segala-galanya. Puluhan rumah mewah, tanah dan juga kendaraan miliaran rupiah berbaris rapi di garasinya.

Ia tetap angkuh, tekadnya hanya ia harus mampu mengambil emas di kampung itu. Peneliti itu datang dengan peralatan canggih, ia mulai mendeteksi dan mengali titik-titik yang dinilai mempunyai kandungan emas yang melimpah. Semuanya tepat di atas rumah-rumah umat yang reot dan miskin. Setelah ia memadati tempat itu dengan menancapkan beberapa kayu diberbagai titik, ia pulang ke tanah Jawa. Umat mulai cemas dengan keberadaan kampung itu. bisa-bisa kampung itu menjadi tempat penambang dari investor itu.

 

(Baca juga: Menguburkan Mantan dalam Isi Kepala || Cerpen BD)

 

Masa jabatannya sebagai pastor paroki tinggal hitung bulan. Pastor Valen mengambil kesempatan itu dengan baik. Ia menerima suapan dari investor itu ratusan juta rupiah. Ia sangat licik meyakini umat di kampung itu. Pada saat pelayanan, ia mulai berkata-kata layaknya TIM BMKG. Ia berkata “Saya kuatir sekali dengan keberadaan kampung ini. Karena tekstur tanahnya sangat tidak bagus, kalau hujan berkepanjangan bisa-bisa kampung ini terbawa longsor.”

Umat mulai cemas apalagi saat itu masih musim hujan. “Kamu perlu waspada bila perlu kamu harus pindah dari sini ke tempat yang lebih nyaman,” tutup pastor Valen. Dua Minggu setelah itu, umat di kampung itu mulai pindah, pastor Valen juga ikut pindah dari Paroki itu ke paroki lain.


(Baca juga: Menilik Perilaku Korupsi Aparatur Negara di Indonesia dalam Terang Ensiklik Sollicitudo Rei Socialis - Nerapost)


 Pada saat yang sama alat-alat berat sudah memasuki kampung itu. Umat mulai heran, ada apa sebenarnya? Setelah mereka tahu, dua meter di bawah permukaan tanah kampung itu mendapat kandungan emas yang melimpah. Umat mulai geram. Mereka hendak mengadu tetapi pastor Valen sudah pindah ke tempat lain.

Pastor juga bisa membunuh kalau bayarannya melangit. Pastor Valen tetap jadi pembunuh kalau ada tempat dan kesempatan. Pelayanan terus diintai oleh darah-darah dinginnya. Mimbar adalah caranya menyekap suara. Tidak ada yang berani kalau ia sudah berdiri di atas mimbar. Itulah cara membunuh umat dengan pelan, tanpa darah namun pasti.


*Catatan: Cerpen ini pernah dimuat di majalah La'at Natas Paguyuban SVD Manggarai Raya-Ledalero, edisi 2023. Guna edukasi, penulis memuatnya kembali di media ini. 

Post a Comment for "Pembunuh Bayaran Berdarah Dingin di Balik Mimbar || Cerpen BD"