Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Kita Gagal Direstu || Cerpen BD

(Sumber gambar: plus.kapanlagi.com)

Aku berpikir pertemuan sel sperma dan sel telur pada ovum merupakan langkah awal dari kebahagiaan kisah kita. Rasanya itu hanya untuk mereka yang telah berjanji di depan altar Tuhan. Narasi cerita kita cukup berbeda. Pertemuan dua sel hidup itu menjadi petaka dari kehidupan kita untuk selanjutnya. Kita saling meratap dan melinangkan air mata penyesalan.  Hal itu tidak akan merubah hidup dengan sekejap, sebab sejarah itu sudah terpatri dengan jelas. Sperma tumpah tidak pada waktunya.

Aku mengenalnya 3 tahun yang lalu sejak kami berseragam putih abu-abu. Ia anak seorang kaya dan aku anak desa yang merajut ilmu di kota. Kami sama-sama saling menyukai dan mencintai. Hp Oppo peninggalan ayah, menjadi alat paling ampuh untuk melampiaskan rindu di saat kata temu menjadi butu. Kami saling chat, video call atau pun telepon sampai berjam-jam. Suaranya begitu adem, membunuh bebanku. Kisah kami diwarnai dengan hal-hal romantis. Kami benar-benar bahagia.


(Baca juga: Tungku Api Ibu || Cerpen BD)


Kami berpacaran, sejak menamatkan pendidikan SMA. Kini, kami sama-sama kuliah di salah satu Kota di Pulau Jawa. Saling mengunjungi Kos merupakan rutinitas kami untuk melepas rindu. Canda dan tawa kian menghiasi di setiap perjumpaan kami.  Entah kenapa di malam itu, aku memintanya untuk bermandi peluh di atas ranjang yang reot di Kosnya. Ia pun mengiakan permintaanku dengan sebait kata dari mulut mungilnya, “Engkau boleh melakukan itu, asalkan engkau mau bertanggungjawab bila nanti terjadi sesuatu.”

Kalimatnya itu memacu neuron dan adrenalinku untuk mencicipi setiap jengkal dan bait pada tubuhnya. Ya, malam itu kebahagiaan milik kami, tak ada yang berani merebutnya. Ia  mendapatkan kepuasan dari setiap permainanku ataukah karena ia terlalu mencintaiku, sehingga ia merelakan kesucian dirinya aku tiduri.

Kami pun melakukannya terus menerus. Entah itu di Kosnya atau di Kosku. Kami melakukan itu di kala cinta dibubuhi hasrat yang terdalam. Peluh memadati tubuh kami. Suara desahan sampai pada sudut-sudut yang paling sunyi. Ia pernah menyuruhku untuk  memakai kondom, namun aku tidak mau. Aku selalu percaya tentang filosofi kran air, bila air mengalir dengan deras pada pipanya dan seketika stop kran dimatikan ada pemberontak yang dahsyat dalam pipa. Air itu pun kembali ke penampungnya. Tidak ada kepuasan di sana. Filosofi ini aku pakai pada persetubuhan kami. Hari dan minggu kian berlalu. Ada tanda kehidupan baru yang akan muncul setelah air itu membasahi tanah. Rahimnya terlalu cepat menumbuhkan benih yang aku tabur. Ia hamil.



(Baca juga: Valentinus Ternyata Seorang Pastor || Cerpen BD)


Ia hamil dari benih yang aku tumpah pada rahimnya. Memang benar kata-kata dalam kitab suci, benih yang jatuh ke tanah yang baik, akan tumbuh dengan subur. Kata-kata ini menjadi nyata dalam kisahku hari itu. Ia menyesal sebab perkuliahannya harus ditunda satu tahun lagi. Demi merawat sabda cinta yang aku balut dalam spremaku, ia mengambil cuti satu tahun. Kami sama-sama enggan menceritakan kepada kelurga kami masing-masing. Kami sama-sama takut. Mungkin tunggu situasi dan momen yang tepat untuk kami ceritakan. Kami tahu juga, ada sekian ribu caci dan makian yang siap kami terima.

Tibalah satu waktu, kami bersepakat untuk pulang ke kampungnya untuk mengurus adat dan pernikahan secara Gereja. Kami juga bersepakat untuk pergi ke kampung halamanku terlebih dahulu setelah itu ke kampungnya. Kami pulang dengan beribu beban yang aku dan dia tanggung.  Aku pergi dengan petuah adat yang kental yakni Lalong bakok du lakon porong lalong rombeng koe du kolen. Petuah ini, kini dileburkan bersama mimpi yang berakhir dengan nahas.

Cita-cita untuk menjadi sarjana muda telah usai bersama Lalong dan  ibunya. Mungkin ini salahku ataukah memang ini takdirku untuk menjadi seorang ayah pada usia yang masih belia. Kisahku semakin tersiar sampai di ujung kampung. Ada sekian banyak orang yang datang menjenguk buah hati kami. Ada sekian banyak yang datang menjenguk namun mereka datang melalui kata cibiran dan makian. Penyesalan selalu datang terakhir di saat segala sesuatu telah usai.


(Baca juga: Narasi Luka dari Seorang Lelaki || Cerpen BD)


Aku dan Natalia, bersama-sama merawat buah hati dengan penuh kasih. Meski banyak orang yang selalu mencibirnya. Orang tua dan saudaraku menerima kehadiran Natalia dengan baik. Mereka selalu berkata, “Nak, nasi telah menjadi bubur. Tidak akan mungkin bisa menjadi nasi lagi. Kami menerima semuanya, meskipun ada rasa marah dan benci. Tetapi mungkin ini kehendak dari Tuhan untuk kalian berdua. Jaga dan rawatlah anak itu, dan ingat kamu telah menjadi orang tua, buktikan itu pada buah hati kalian.” Lalu bagaimana dengan kelurga Natalia, apakah mereka mau menerima aku sebagai anak mantu?.

Setelah menerima kabar tentang Natalia, kedua orang tua mengalami shock berat bahkan mereka mau mencoba untuk bunuh diri.  Aku pun berangkat untuk bertemu dengan keluarga Natalia. Aku pergi tanpa membawa Natalia dan anakku. Karena aku tahu ada kisah Golgotha di sana. Aku tidak mau kisah itu disaksikan oleh Natalia dan anakku. Kedua orang tuanya, tinggal di kota, karena mereka wirausaha yang sukses. Dengan penuh keberanian dan percaya diri, aku berjumpa dengan orang tuanya.

Aku menceritakan segala kisah yang telah terjadi antara aku dan Natalia. Ayahnya tidak menerima itu semua. Tendangan keras dari ayahnya meluncur di pelipis kananku. Aku tidak melawannya. Biarkan ia melampiaskan kemarahannya. Ada sekian ribu makian. Ada sekian banyak tamparan yang datang menghujani pelipis kiriku. Dengan gaya militer ayahnya meluncurkan pukulan-pukulan maut ke seluruh tubuhku. Aku membiarkan itu semua terjadi. Setelah kemarahan ayahnya menyurut. Aku mulai lagi menuturkan kata maaf dengan air mata kepadanya.

Lalu ayahnya berkata, “Bangsat…! Engkau tahu, anakku satu-satunya adalah dia, kenapa engkau merengut di saat ia belum selesai perkuliahannya”. Aku tertunduk lesu, tak ada kata yang keluar dari mulutku. Aku dibungkam dalam sunyi yang kian senyap bersama tetesan air mataku yang kian membasahi kaki ayahnya. Ibunya menangis tersedu di kamar. Pada saat itu, ia juga mengeluarkan kata-kata yang membuatku terluka “Saya tidak akan merestui kalian berdua.  Apa lagi, engkau anak orang miskin yang tidak punya apa-apa. Tidak mungkin engkau mampu menafkahi Natalia dan anak-anak,” sambil menatapku dengan tatapan lirih.


(Baca juga: Menguburkan Mantan dalam Isi Kepala || Cerpen BD)


Cinta tanpa restu orang tua ibarat membangun rumah di atas pasir. Tidak memiliki fondasi yang kokoh dan kuat. Aku pun kembali menemui keluargaku. Aku menceritakan itu semua kepada Natalia dan orang tuaku. Pergolakan batin kian berkecamuk. Hampir mirip cerita Yosef dan Maria, di saat ia mengetahui Maria telah mengandung bukan dari benihnya. Yosef gelisah dan mau menceraikannya secara diam-diam, namun mimpi memberinya jalan keluar.  Aku dan Natalia selalu memikirkan kira-kira apa jalan keluar yang terbaik.

Tibalah suatu waktu, kedua orang tuanya datang untuk menjenguk Natalia dan cucu mereka. Namun, bukan hanya mau menjenguk, ada intensi lain yang harus terjadi sore itu. Mereka meminta Natalia untuk melanjutkan kuliah. Dengan sendirinya ia harus berpisah denganku dan lalong.

Aku menyetujui keputusan itu, biarkan lalong, aku dan orang tuaku yang menjaga dan merawatnya. Ini adalah keputusanku yang salah. Mengapa demikian? Pada dasarnya yang dekat adalah obat yang paling ampuh dari sebuah cinta. Aku dan Natalia berpisah bersama jarak jauh.

Pada suatu sore, aku mendapatkan sebuah amplop surat. Setelah aku membuka, tertulis untukmu,

“Terima kasih telah menjahit cerita di atas kanvas hidupku. Suatu kanvas yang buram nan kusam. Aku sadar aku juga turut andil memuramkan kanvas itu. Terima kasih untuk benih yang engkau pernah tanam dalam rahimku. Aku mencintaimu!. Tetapi, maafkan aku. Hubungan kita biar sampai di sini, sebab membangun keluarga tanpa restu dari orang tua itu sulit. Aku tidak mampu untuk itu. Di sini, aku juga telah jatuh hati dengan seorang laki-laki. Ia juga mau menerima aku apa adanya. Biarkan anak itu, engkau rawat. Aku menitipkan padamu.

Salam, Natalia.

Air mataku tumpah membasahi seluruh isi surat itu. Aku menangis sambil menatap anakku yang sedang berusaha merangkak. Aku menangis, bukan karena aku tidak mampu merawat anak itu, tetapi aku sungguh mencintai Natalia. Kisah romantika sekian tahun bersamanya, kini di senyapkan bersama  tangis yang kian pecah di sore itu.  Jikalau harta yang membuat kita tidak direstu, izinkan aku untuk berjuang mencarinya. Tetapi mengapa engkau akhir cerita kita dengan secepat waktu. Di saat itu juga, aku siap untuk menjawab pertanyaan dari anakku di kala nantinya bertanya, “Ayah, dimanakah ibu?”

*Catatan: Tulisan ini pernah dimuat di media Banera.id. Guna edukasi, penulis memuat kembali pada media ini.

Post a Comment for " Kita Gagal Direstu || Cerpen BD"